Rabu, 25 Agustus 2010

8.Jangan Lelah Untuk Jujur

“ Jangan pernah lelah untuk menjadi manusia yang jujur.”

Itulah nasihat dari Ghisa yang telah tertancap kuat di hati Sabila. Hingga dengan sekuat tenaga  Sabila terus berusaha untuk menjadi manusia yang jujur. Meski harus di bayar dengan harga yang sangat mahal. Karena kejujuran memang sangat berharga.

Sekarang Sabila sedang mengerjakan soal ulangan semester genap, mata pelajaran yang Sabila kerjakan adalah kewarganegaraan. Dan Sabila memang benar-benar siap menghadapi ulangan semester ini. Dua bulan sebelum ulangan di mulai, Sabila sudah membagi jadwal mata pelajaran yang akan dia hapal. Misal minggu pertama  Sabila konsentrasi menghapal Matematika, lalu minggu depannya bahasa Inggris dan selanjutnya. Dan lihatlah sekarang, Sabila berangkat ke sekolah tanpa membawa sehelai kertaspun. Yang dia bawa hanya pensil dan bolpoint.  Sabila berangkat ke sekolah berbekal kepercayaan diri dan otak yang masih Fresh dan siap pakai. Sebisa mungkin  Sabila tidak pernah menghapal 10 menit sebelum ulangan di mulai karena hal itu bisa membuat otaknya lelah duluan sebelum di pakai. Hingga akhirnya hal ini membuatnya di kenal sebagi murid paling santai di sekolah.

Tapi, sekarang ketenangan  Sabila terusik oleh kebisingan yang di lakukan teman-teman sekelasnya. Banyak sekali trik-trik mereka agar sukses dalam mencontek, kebanyakan sich masih pake adat lama seperti bikin catetan kecil, menulis jawaban di meja, buka catatan, nanya ke teman dan lain-lain. Sabila jadi greget sama guru pengawas di ruangannya. kok dia bisa fine-fine saja, padahalkan sekarang tindakan maksiat sedang merajalela di ruangan ini.

Oh ya! Pantesan dia diem aja, kan sebelumnya udah di sogok duluan sama teman-temanku dengan sebotol Fanta dan makanan. 

“  Bil, Sabila!” bisik Marco dari belakang. “ Mau amal dikit nggak lo!?”

“ Apa Co?” Tanya Sabila tanpa menoleh sedikitpun pada Marco.

“ Kasih tau nomer 1 dong, gue belum nulis satu hurufpun nich…”

“ Oh tentang undang-undang korupsi dan contoh tindak korupsi  ya?”

“ Ho-oh, ho-oh!!” Marco mengangguk kegirangan.

“ Kenapa harus nanya ke gue, sekarang kan lo lagi korupsi Cuy!?”

“ HAH!! Gue lagi korupsi? Korupsi apaan?”

“ Ya apalagi yang di korupsi’in kalo bukan ilmu temen lo hehehe…!”

Dan Marco cuma  bisa manyun seperti siput mendengar ucapan Sabila barusan.

Tidak terasa satu-persatu soal sudah Sabila selesaikan. Sementara waktu masih belum habis, Sabilapun mengeluarkan buku gambarnya dan dengan isengnya dia menggambar berbagai aktivitas contek-mencontek yang di kerjakan teman-temannya. Inspirasi bisa datang kapan saja dan di mana saja. Lalu Sabila   memberi judul  gambarnya : Olimpiade nyontek tingkat  nasional.”

***

SREETT!!!

Di hari kedua ulangan semester  ini,  anak-anak kelas XI IPS 1 di kagetkan dengan suara sobekan kertas. Yang di sobek tidak lain adalah kertas ulangan  Marco. Marco ketahuan menyontek oleh  pak Imron, guru pengawas di ruangan Sabila yang terkenal killer. Bahkan suguhan menggiurkan yang udah di sediakan teman-teman Sabila saja dia langsung buang ke tong sampah.

“ INI ADALAH SUAP! DAN SUAP ITU HARAM!!!”

Kembali pada insiden Marco, dia tidak berkutik sama sekali di depan pak Imron.

“ Dengan berbangga hati saya mempersilahkan anda keluar.”

“Ta- tapi pak???”

“Keluar!!” teriak pak Imron sambil mengacungkan telunjuknya keluar.

“ Dan kalian semua, saya ingin setelah kalian pulang ke rumah, tolong tulis dalam diary kalian bahwa, berbeda dengan hari lainnya hari ini atas pengawasan pak Imron dan pengawasan Allah SWT, pada ulangan matematika saya tidak menyontek.”

Pak Imron… saya suka gaya bapak.

***

 Saat-saat yang sangat Sabila tunggupun telah tiba, pembagian raport. Sabila berdoa Mudah-mudahan posisinya tetap bertahan seperti semester kemarin. Juara 1. Karena hal itu bisa memudahkannya untuk mendapatkan beasiswa di sebuah PTN. Sabila sudah nazar kalau sekarang di kelas 2 dia mendapat ranking satu dan juara umum lagi, Sabila akan puasa selama tiga hari berturut-turut.

“ Sabila, aku yakin kamu pasti ranking 1 lagi.” Ucap Sahdam.

“ Amin… doakan aja.”

“Kita liat aja nanti!” ketus Marco.

Sebelum pembagian rapor di lakukan, pertama-tama di umumkan terlebih dahulu siapa saja yang mendapatka ranking di kelas XI IPS 1 ini dari urutan 10 sampai 1. Dada Sabila berdebar-debar saat Ibu Hera wali kelasnya membacakannya satu-persatu. Sabila benar-benar seperti menunggu sebuah Vonis hukuman penjara saja.

“ Ranking 3 di raih oleh Sahdam, ranking 2 di raih oleh… Sabila dan ranking 1 diraih oleh… Marco. “

 Suasana di kelas mennjadi hening. Mereka  semua diam membisu.

“ Maaf ibu, apa itu benar? Marco ranking 1??” Tanya Sahdam meminta penjelasan.

“ Kenapa Sahdam, kamu keberatan? Lihat dong Sabila, dia biasa-biasa saja mendengarnya. Kalah menangkan biasa, betulkan Sabila?”

“I-Iya bu…” Sabila mengangguk pelan.

“ Makanya Bil, contoh dong Marco, meskipun pinter tapi gak pelit contekkan.” Ledek Tono. Dan hal itu mengundang gelak tawa teman-taman sekelas Sabila yang lain. Terkecuali Sahdam. Sementara  Marco tersenyum puas.

“ Aku heran,  si raja nyontek dan peraih nilai do re mi terbanyak di kelas ini dapat ranking satu? “ ucap Sahdam heran.

***

   Selesai shalat Dhuhur, Sabila duduk sebentar di tangga masjid. Sesaat kemudian duduk pula di sampingnya pak Imron yang juga telah selesai menunaikan shalat Dhuhur.

“Tidak adakah kegiatan yang lebih bermanfaat selain melamun anak muda?”

“ Oh bapak, saya kira siapa?”

“ Bapak ucapkan terima kasih atas usaha keras kamu untuk tidak mencontek tadi.”

“ Itu memang sudah jadi kewajiban saya pak.”

“Satu hal saja yang ingin bapak pesankan sama kamu Sabila, kalau  kamu ingin memperbodoh dirimu silahkan mencontek sesuka hatimu.”

Sabila menanggapi ucapan Imron dengan senyuman.

“ Ada satu hal yang telah hilang dari bangsa ini Bil.”

“ Apa itu pak?”

“Kejujuran.” Pak Imron menatap Sabila lekat.” Bangsa Indonesia miskin juga bukan karena orang-orang kaya di Indonesia sangat sedikit. Tapi karena krisis kejujuran telah melanda bangsa ini. Jumlah orang kaya di Indonesia sangat banyak, tapi di luar negeri lebih banyak lagi.”

“Memang betul pak, kejujuran telah terkikis habis di negara ini. Sehingga membuat bangsa ini meraih rekor sebagai negara terkorup di dunia. Dan Negara yang koruptornya paling rentan dengan penyakit karena selalu sakit tiap mau di adili.”

Tawa Imron pecah mendengar ucapan Sabila barusan.

 “ Saya dengar, kamu semester ini tidak dapat ranking satu lagi?”

“ Betul pak. Hmmmh kalau saja…”

“Berhenti berandai-andai anak muda! Besar kecil nilai, ranking, predikat juara umum, pandai matematika dan tetek bengek lainnya bukanlah ukuran kecerdasan seorang pelajar. Semua itu hanya ukuran kepintaran berdasarkan angka-angka dan bukan ukuran kecerdasan yang sesungguhnya. Cerdas itu adalah jenius dalam bidang yang kamu kuasai dan kamu sukai. Orang yang jenius tidak harus cerdas dalam semua bidang. Albert Einstein dia bukan anak yang brilian di sekolahnya, tapi dia jenius dalam dunia Matematika hingga akhirnya dia menjadi ilmuwan terbesar hingga sekarang. Kau tahu kenapa? Karena di sudah mengetahui sejak awal Matematikalah dunianya. Dan kamu? Apakah kamu sudah tahu dalam hal apa kamu  dapat menemukan kejeniusanmu Bil?”

Senyum Sabila mengembang, ada secercah harapan dan semangat yang kembali tumbuh dan bergemuruh di dadanya.

“ Teruslah asah bakatmu, dan jangan lupakan satu hal. Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya bukan untuk meminta sebanyak-banyaknya. Berikanlah kebanggaan sebanyak-banyaknya pada  orang tua, sekolah dan pada dirimu sendiri. Dengan memberi sebanyak-banyaknya prestasi. Karena itulah perananmu sebagai pemuda Indonesia.”

Sabila pulang dengan membawa hati yang lapang,

Betul apa yang di ucapkan pak Imron tadi, aku harus tahu dalam hal apa aku bisa menemukan kejeniusanku.

Saat Sabila melewati  sebuah ruang kelas, samar-samar Sabila mendengar suara seorang wanita dan lelaki.

“ Gimana Marco, uangnya  udah di transfer ke rekening saya?”

“ Jelas dong bu…Marco, gitu. apa sih yang Marco nggak bisa.”

“ Jumlahnya seperti yang udah kita sepakati kan?”

“ Dua puluh juta! Betulkan?”

“ Ssst…jangan keras-keras Marco!”

“ Marco bener-bener berterimakasih banget sama ibu, karena ibu Marco di kasih mobil sporty sama papa.”

Tubuh Sabila lemas seketika. Bibirnya tak mampu berkata apapun. Ini benar-benar sangat keterlaluan. Dimana nilai mata pelajaran sudah berani di perjualbelikan. Sabila ingin marah, tapi ini tidak mungkin dia lakukan. Nanti malah runyam ceritanya.

Transaksi antara ibu Hera dan Marcopun selesai. Sabilapun segera mendekati ibu Hera dan sebisa mungkin meminta penjelasan padanya.

“ Ibu, maaf saya mengganggu.”

“ Ada apa Sabila, kamu ada perlu sama saya? Aduh maaf ya saya harus buru-buru pulang.”

“ Saya…saya mendengar obrolan ibu dan Marco tadi.”

Ibu Hera terkejut dan menatapku tajam.

“ Kamu tahu semuanya??”

“ Ya! Semuanya.” Ucap Sabila tegas

“ Syukurlah kalau begitu, silahkan saja laporkan tindakan saya itu pada siapa saja. LSM, kepala sekolah, surat kabar atau KPK sekalipun!” ucap Ibu Hera sinis.

“ Asal kamu tahu ya Sabila, hal seperti ini, di negara ini bukan rahasia umum lagi, dimana saja kapan saja semua orang bisa dengan mudah melakukannya. Di sekolah ini saja toh bukan saya saja yang doyan melakukan …apa yah? Oh KORUPSI. Silahkan laporkan dan sebagai konsekuensinya, nama baik sekolah ini akan tercemar gara-gara kamu dan  kamu sendiri akan di keluarkan dari sekolah ini.”

“Ibu…?”

“Hmmm…lagian salah kamu sendiri sich gak bayar uang rapor, uang ulangan  dan uang kenang-kenangan sama ibu. Jadi dengan berat hati ibu gak nempatin kamu di ranking satu.”

 Sabila berdiri mematung di tempatnya. Di terus memperhatikan wali kelasnya itu berlalu meninggalkannya hingga bayangannya hilang dari penglihatan Sabila.

“Kalau aku jadi ketua KPK baru tau rasa lo!” Sungut Sahdam.

“Sahdam…kamu ngagetin aku terus ah!”

“tenang Bil…toh masih ada akhirat kok!”

Selasa, 24 Agustus 2010

7. Panggil Aku Sabila, Bukan Jessica

Para peserta upacara pembukaan LDKS OSIS SMA Negeri 1 Bandung membubarkan diri dari barisannya. Seiring berakhirnya upacara, Sabila yang saat itu bertugas sebagai pemimpin upacara berjalan terhuyung-huyung setelah lebih dari setengah jam berdiri tegap diantara teriknya sinar matahari siang itu. Tapi tidak perlu kawatir, karena Sabila memang sudah terlatih dengan keadaan seperti itu. Yang tidak seberapa bila dibandingkan dengan pengalamannya sebagai anggota Paskibraka tingkat propinsi. Ilmu kepalang merahan yang dikuasainyapun membuat Sabila bisa tetap kuat dan fit setiap menjalankan tugas lapangan. Kecintaannya terhadap organisasi, kebijaksanaannya dalam mengambil keputusan, kecakapannya dalam memimpin dan kemulyaan akhlak yang menghiasi dirinya, membuat dia dipercaya oleh seluruh Siswa SMA Negeri 1 Bandung untuk menjadi ketua OSIS. Tak ada niatan lain dalam  hati Sabila, selain menggunakan jalur organisasi sebagai ladang dakwah, menebar kebaikan dan ibadah kepada Allah SWT .

Sabila tidak merasa bahwa kini dia telah kehilangan sebagian ruang dalam hidupnya sebagai seorang gadis berusia 17 tahun. Yang seharusnya sudah tertarik pada lawan jenis. Yang seharusnya tahu banyak hal tentang hal baru, bukan tenggelam dalam berbagai aktivitas yang menyita waktu.

Dalam  hati Sabila, ada keyakinan yang siapapun tak dapat menggoyahkannya bahkan gemerlap dunia sekalipun. Ikhlas hatinya melakukan semua ini, berorganisasi, melakukan berbagai aktivitas social, menjilbabi rambutnya dan menutupi auratnya. Sabila membiarkan semua orang  memandangnya sebagai wanita yang tidak bersyukur karena tidak mau memperlihatkan keindahan fisik yang telah di berikan sang pencipta. Terserah!! Yang penting Sabila bisa menjadi wanita yang baik menurut Allah. Sabila bisa menjaga diri adalah ujian terberatnya saat ini. Namun Sabila percaya, pasti ada hikmah yang bisa dia petik. Sabila membiarkan dirinya meninggalkan cinta di masa remajanya. membiarkan dirinya tidak merasakan  pengalaman yang di alami oleh teman-teman sebayanya. Tentang kisah cinta di masa remaja mereka, tentang rasa dosa yang  selalu tarasa  manis. Seperti gadis-gadis seusianya yang terus-menerus mengulang cerita yang sama tentang pengalaman pacaran.

Sabila sendiri  sudah lebih dari tahu  bagaimana rasanya pengalaman itu. Tapi sekarang dia sudah tidak mempedulikan hal itu lagi dan meninggalkannya.  Bukan karena  dia begitu fanatik dan punya predikat santri. Semua ini semata-mata  karena dia tidak ingin mengganti cinta Allah dengan cinta  yang lain.

            Sabila duduk berteduh sendirian di bawah pohon bungur. Sambil mendengarkan suara samar-samar  di perutnya yang sudah keroncongan. Sengaja dia tidak mengisi perutnya dengan jajanan warung seperti yang gemar dilakukan oleh teman-temannya yang lain. Karena hari ini, Sabila sedang menjalani puasa Nabi Daud as. Sabila merenungi nasibnya yang tiga tahun ini hampir menjalani kehidupannya sendirian, tanpa keluarga, dan tanpa saudara-saudaranya. Ia memutuskan pergi menjauh dari semua yang pernah dekat dengannya. Karena tak ada yang berpihak padanya. Ya, Sabila telah  menghijrahkan dirinya dengan bermukim di pondok pesantren karena sudah tidak tahan menerima perlakuan semena-mena keluarganya yang tidak menyetujui keislamannya.   Bila diingat kembali, semua terasa menyesakkan dada. Tak ada peluk dan cium penuh kasih sayang di pipi Sabila, menjelang kepergiannya.

            “Astagfirullah hal adziem!” Sabila tersadar dari lamunannya ketika  sebuah tangan menepuk punggungnya.

            “Assalamualaikum” Sapaan salam yang lembut keluar dari lisan seorang pria dewasa  berkaca mata minus yang tiada lain adalah  pak Imron, guru Sabila di pesantren juga guru bahasa Inggrisnya di sekolah.

            “Wa’alaikum salam, Hu-uh bapak bikin aku kaget aja.” Sungut Sabila sambil membetulkan posisi duduknya.

            Pak Imron memperhatikan wajah Sabila yang semakin gelap akibat sengatan sinar matahari. Tatapan mata Sabila yang sayu dan bibirnya yang mengering semakin menambah keprihatinan pak Imron pada muridnya yang satu ini.

            “Bapak sangat kecewa sama kamu Bil, kamu benar-benar pembangkang. Kamu mengacuhkan peringatan bapak, kamu abaikan larangan bapak untuk tidak menjadi pemimpin upacara. Padahal kamu ini kan baru pulang dari rumah sakit, terus sekarang kamu puasa ditambah lagi dengan…”

            “Dengan penyakit Tumor otak yang aku idap, betulkan pak!?”  potong Sabila.

             Sesekali Sabila menyeka butiran hangat yang mengalir di pipinya. Namun tiba-tiba Sabila merasakan rasa sakit yang teramat sangat di kepalanya, gadis  itu mengerang kesakitan di depan pak Imron.

            “ Akhhh…, ya Allah sakkit.”

            “Sabila bapak mohon jangan kau siksa dirimu seperti ini. Bapak tidak kuat melihatnya. Puasanya batalin aja ya Bil!” pinta pak Imron.

            “Enggak mau!!” tolak Sabila.

            “ Sabila…, jangan dipaksain.”

            “Sekali enggak tetap enggak!” Sabila tetap bersikeras.

            “ SABILA!!!” pak Imron terpaksa memperlihatkan ketegasannya pada Sabila yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.

            “ Apakah bapak bisa menebak kapan Allah mencabut nyawa Sabila, Surga atau neraka tempat yang akan Sabila huni di akhrat nanti, timbangan amal Sabila yang baik atau buruk yang mendapat bobot paling berat?” Tanya Sabila. Mendengar pernyataan Sabila, pak Imron hanya bisa menggelengkan kepalanya.

            “ Itu di luar jangkauan bapak. Dan bapak tidak mugkin bisa menjawabnya, hanya Allah yang tahu.”  Mendengar jawaban pak Imron , Sabila berpaling sambil berkata.

            “Kalau begitu silahkan bapak tinggalkan  Sabila. Biarkanlah  Sabila menghadap Allah yang menciptakan  Sabila dalam keadaan lapar yang teramat  sangat ini.”

            Pak Imron terdiam kagum melihat kecerdasan dan keimanan Sabila. Ia hanya bisa memandang Sabila berlalu dari hadapannya. Sungguh gadis yang masih muda belia itu telah memiliki harta yang sangat mahal harganya yaitu tauhid yang kuat. Sakitnya Sabila  sebenarnya sudah terasa dari tadi pagi. Tapi semangatnya tidak pernah mengendur. Ia tetap menjalankan aktifitasnya sebagai ketua OSIS. Tetap memberikan pengarahan dan pengawasan dalan setiap kegiatan. Meski hanya berupa intruksi singkat saja. Karena Pembina OSIS menyuruhnya demikian. Bila tidak, mungkin Saat ini Sabila sudah tergolek tak sadarkan diri di UKS. Rekan- rekan sesama senior OSIS sampai heran melihat kondisi Sabila yang demikian. Padahal sewaktu masih sehat, hari-hari Sabila tidak pernah kosong dari jadwal kegiatan belajar dan organisasi. Sabila tidak pernah merasa capek sedikitpun. Namun didukung oleh rasa sayangnya  kepada sang pemimpin, teman-teman Sabila tetap memberikan perhatian padanya.

            Sabila tampak lunglai, wajahnya pucat pasi. Sampai berdiri saja dia tidak bisa. Dalam hitungan detik rasa sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi. Dunia seakan- akan menjadi gelap. Sampai akhirnya Sabila tidak sadarkan diri.



 ***

            Sabila tersadar dari pingsannya. Lalu teman-teman Sabila tak terkecuali pak Imron, memaksa  Sabila untuk berbuka puasa, tapi tetap saja Sabila menolak karena beralasan belum saatnya berbuka. Semakin dipaksa, Sabila malah semakin keras kepala. Melihat keadaan Sabila yang sangat menghawatirkan itu, pak Imron dengan berat hati terpaksa membohongi Sabila bahwa waktu berbuka telah tiba. Barulah setelah upaya itu dilakukan, Sabila mau makan. Kesehatannyapun bertambah pulih. Sabila mulai bisa bercengkrama dan mengobrolkan banyak hal.

            “ Teman-teman, aku pernah punya salah gak sama kalian?”

            Semuanya terdiam, suasana di ruang UKS menjadi hening. Tak ada seorangpun yang menjawabnya bagi mereka Sabila adalah sosok pemimpin yang nyaris tanpa cela.

            “ Maaf Sabila, terus terang kita bingung harus ngomong  apa. Yang tahu  baik buruk manusia itu kan cuma Allah.” Ucap Sahdam.

            “Hallou… udah dech jangan sampai waktu kalian kebuang sia-sia hanya karena bengong ngeliat keadaanku yang seperti ini. Kalian pengin aku sembuh kan?”  Sabila memecah keheningan.

            “ Eh, I-iya. OK, OK”  Ikbal mengiyakan.

            “Duch, sorry gue udah gangguin istirahat lo Bil” Tere minta maaf. “ Tapi apelnya kayaknya enak tuch!” lanjut  Tere sambil mengelus-elus perutnya yang buncit.

            “ Iya nich, boleh minta gak?” Ikbal tidak mau kalah.

            “ Boleh.”

            “ Gue juga yach!”

            “ Udah-udah kalau  kalian mau ambil aja semua” sungut Winnie. Sementara Sabila hanya bisa tersenyum simpul.

            “ Mikum…”

            “ Wa’alaikum salam.” Jawab Sabila. “ Teman-teman!” Panggilan Sabila membuat  langkah mereka terhenti. “ Kalian jangan terlalu mencemaskan aku. Bentar lagi aku bakal  sehat kok.”

             

***

            Sama halnya dengan Sabila, pak Imron juga sedang melaksanakan puasa Daud. Pak Imron berbuka di sekolah. Karena  ba’da maghrib, Ia akan memberikan materi kepemimpinan  bagi para peserta LDKS OSIS. Setelah adzan maghrib berkumandang, pak Imron segera berbuka puasa. Seperti biasa, ia hanya berbuka dengan meminum segelas air putih, dan sedikit ta’zil.

            “ Bapak lagi buka puasa ya?”

            Pak Imron menunda suapan terakhirnya dan menoleh pada sumber suara. Ternyata seorang gadis bermukena dengan sejadah berwarna hijau terselip di lengannya, tengah berdiri di belakang Imron sedari tadi.

            “ Jadi, bapak udah ngebohongin Sabila ya!?”

            “ Sabila!!”

            Sosok Sabila yang dilihatnya saat ini berbeda dengan Sabila yang di lihatnya tadi siang. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa Sabila  sempat pingsan karena penyakitnya. Pak Imron mendekati Sabila  setengah tidak percaya.

            “Bapak terpaksa melakukanya, karena sesungguhnya Allah menjanjikan kemudahan bukan kesukaran.”

            Sabila memperhatikan lelaki pemilik seulas wajah yang menyenandungkan kesahajaan itu. Dalam masa-masa menuntut ilmu di SMA, Pak Imron telah menyapukan dan memberikan gurat warna dalam kanvas kehidupan Sabila.  Sebagai guru, pak Imron telah memberi cipta rasa edukasi dan membekas hingga ke relung hati.

            Pada dasarnya setiap manusia tidak pernah bisa lepas dari kesalahan. Tapi beliau nyaris tanpa cela di mata Sabila. Begitu berwibawa, sederhana, teduh, optimistis, semangatnya tinggi, perasaannya hidup, dekat dengan murid-muridnya karena karismanya, murah senyum, di cintai dengan segala ketinggian budi pekertinya.

            Dari keningnya, seakan terpancar cahaya yang terang berkilauan, begitu terangnya sampai memancar kuat, menyusup kedalam hati Sabila yang terasa kotor.

Ya Allah mungkin itulah keadaan seorang ahli ibadah.

            Bilamana ada yang memuji, Pak Imron sering menyangkal bahwa dirinya bukanlah seorang ustadz. Ya, beliau memang bukan seorang ustadz. Tapi bagi Sabila beliau adalah seorang manusia biasa berakhlak ulama.

            Mungkin ini adalah salah satu tanda dekatnya kiamat. Dimana orang yang benar dianggap batil. Mengenai hal itu, beliau pernah berkata pada Sabila.

            “ Allah tidak melihat rupamu, tapi langsung ke hatimu. Lebih baik kita di jauhi daripada harus  di cap jahat oleh Allah.”

            Tak terhitung jumlahnya sudah berapa kali butiran hangat mengalir dengan deras di mata Sabila setiap dia mendengar nasihatnya. Dan sekarang Sabila yakin,  sangat yakin, beliaulah sahabatnya, beliaulah sahabat sejatinya yang dia cari-cari dalam hidupnya. Seorang sahabat yang apabila dia dengar perkataannya, maka  bertambahlah ilmunya. Seorang sahabat yang segala tingkah lakunya selalu mengingatkan Sabila akan kehidupan akhirat. Seorang sahabat yang telah mendekatkan kembali  jaraknya yang begitu jauh dengan Allah SWT.



            “Bapak…terimakasih karena bapak udah ngebantu Sabila untuk sekolah di sini. Terimakasih karena bapak udah mau nerima Sabila menuntut ilmu di pesantren yang bapak pimpin. Terimakasih karena bapak udah membuat Sabila kembali berani bermimpi. “

            “Ucapan terimakasih yang terindah itu hanya pantas bermuara pada Allah nak. Sabila, setelah Bila lulus nanti, akan sulit bagi bapak nemuin anak seperti Bila. Kamu rajin bertanya, Senang baca, rajin ibadah, tegar menghadapi masalah, kebiasaan jangan ditinggalkan. Diamanapun kamu berada, tetaplah  menjadi seorang Sabila yang dulu.”

Meleleh, lagi-lagi airmata Sabila kembali meleleh, kali ini air matanya terasa panas di pipinya. Tubuhnya bergetar terbawa oleh  dadanya yang bergemuruh.

            Sekarang…Sabila adalah Sabila. Aku  ingin semua orang mengenalku sebagai Sabila Afiah Jessica. Bukan Jessica Maria Agustin.

6. The Next Disturber Boy

“Bil, ajarin aku cara ngerjain PR bahasa Inggris ini dong!” pinta Ina.

“Eh, gue udah datang lebih dulu! Ngantri dong!!” ketus Ikbal

“Haduh, yang mana dulu nih??” Sabila tampak kebingungan.

Tiba-tiba Sahdam muncul dengan nafas tersengal-sengal, seperti biasa dia datang kesiangan lagi.

“Euy, permisi dong Bal, aku mau duduk!”

“Lo duduk aja dulu di bangku gue.” Tawar Ikbal

Merasa di acuhkan, Sahdam lalu menggebrak meja.

“Eh, minggir, minggir, minggir semua!!!! Aku mau curhat nih sama Bila! Minggir!”

“Ugh dasar borokokok!” sungut Reza

“Siapa suruh ngerjain PR di sekolah!?” balas Sahdam.

            Semua teman sekelas yang mengerumuni Sabila langsung angkat kaki.

            “ada apa sih Dam, pagi-pagi udah bikin heboh?” Tanya Sabila

“Ada seorang adik kelas yang telah jadi korban kekerasan mamanya. Namanya Hani. Orangtuanya bercerai. Hani benar-benar tersiksa  dan dia nekat menyileti pergelangan tangannya sampai berdarah bahkan sampai masuk rumah sakit.”

            “Astaghfirullah…

            “Hani bingung mau pergi kemana, makanya aku mau ajak dia ke pondok Pesantren untuk sementara.”

            “Dia sekolah gak hari ini?”

            “Ya”

            “Ayo!!”

            “Kemana?”

            “Ya ke kelasnya cuy!! Bengong aja lo ah.”

            Sabila mengikuti Sahdam dari belakang karena Sabila paling tidak suka berjalan beriringan dengan cowok. Sangat-sangat tidak mau. Akan tetapi…secara tidak sengaja Sabila melihat punggung Sahdam yang tegap dan bidang dari belakang. Baru pertama kali Sabila melihatnya.

Aduh –aduh Sabila kemana aja kamu selama ini.

 Sabila cepat-cepat mengalihkan pandangannya saat secara tiba-tiba Sahdam menoleh ke belakang.

            “Tuh anaknya”

            Sahdam mengarahkan jari telunjuknya pada seorang gadis yang sedang duduk sendirian sambil memegang pergelangan tangannya yang diperban. Wajah gadis itu memang manis tapi sedikit kusut dan tidak bersemangat. Kelopak matanya bengkak. Sabila tahu kalau semalaman dia pasti menangis.

            “Assalamualaikum…” ucap Sabila seraya mendekatkan dirinya pada Hani.

            “Hani, ini kak Sabila. Dia sahabatku yang sering kuceritakan itu.”

            Sabila mematung.

 Sahabat??? Sahdam mendeklarasikan diriku sebagai sahabatnya sementara selama ini aku masih menganggapnya hanya sebatas teman sebangku.

            Hani mengangkat wajahnya, dia menatap wajah Sabila sayu dan mencoba memberikan senyumnya pada Sabila.

Ugh! Mulai deh aku menghadapi satu hal yang sangat aku benci selama ini. Airmata dan tangis haru tanpa ada ijin resmi dariku sudah mengalir begitu saja.

 Sabila duduk berdampingan dengan Sahdam. Sahdam cuma bisa tersenyum melihat tingkah laku mereka berdua. Sementara dari kejauhan Sabila merasakan keberadaan seorang lelaki yang paling menyebalkan yang pernah dia kenal. Dia sedang memperhatikan Sabila dan Sahdam. Lelaki  itu Marco.

***

            “Gimana selama dia tinggal sementara di pesantren, kalau nggak salah tiga hari ya Bil?”

            “Gak kok seminggu, anaknya baik banget, ramah dan sopan sama orang …pokoknya sayang banget ya kalau sampe mamanya nyiksa anak sebaik Hani.”

            “Trus kamu ngomong apa aja ke dia?”

            “Intinya dia harus milih antara tinggal sama mamanya atau papanya. Saranku dan anak-anak santri  sih dia lebih baik tinggal sama papanya. “

            Saat Sabila bicara Sahdam terdiam dan menatap mata Sabila lekat-lekat. Tapi selama bicara dengan Sahdam, Sabila hanya mengalihkan pandangannya ke  mana saja. Sabila tersadar kalau jarak mereka sekarang bisa dibilang sangat dekat.

            “Aku harus pulang, banyak kerjaan.”

            “Udah mau pulang…?”

            “Ngantuk nih mau tidur!”

            “Dasar tukang molor….!!!”

***

            Sabia tidak menyangka kalau ternyata teman sebangkunya  yang dia kenal aneh, pikun, suka tidur di kelas, males bin lemot itu bukan cowok biasa. Buktinya selama ini banyak banget cewek yang kepincut terus nembak Sahdam.

Sahdam di tembak banyak cewek!!!??? Kok bisa?

            Minggu kemarin di tembak Ajeng, terus kemarin di tembak  Anggi dan sekarang dia di tembak Hani.

Kok Hani ikut-ikutan nembak juga. Segitu juga yang aku tahu, belum yang lain. Gazwat! Si Sahdam kayaknya ngasih perhatiannya kebangetan nih. Aku jadi capek sendiri ngedengerin cerita dia soal cewek –cewek itu. Terus aku peduli gitu? ya jelas harus peduli lah kita kan… sahabatan.

            Tapi benarkah di mata Sabila Sahdam adalah seorang sahabat. Lalu  kenapa Sabila selalu membuang muka bila melihat Sahdam berdekatan dengan cewek lain. Kenapa juga Sabila harus jutek bila teman-temannya yang lain menyanding-nyandingkan Sahdam dengan cewek lain. Mengapa Sabila jadi punya hobi baru memandangi punggung Sahdam dari belakang. Mengapa Sabila jadi tidak sabaran untuk menghadapi hari esok lebih cepat. Mengapa nama Sahdam tidak pernah absen di sebut-sebut dalam diary Sabila.

Why Sabila? What the reason about it?

            I’m so confuse, is Sahdam the next distruber boy?

cowok selanjutnya yang akan mengganggu Sabila, yang akan menajdi cowok yang sangat menyebalkan dan sangat Sabila benci. Setelah Allah menghadirkan  Raya, Bram, dan  Kak Ghisa

            I think your only my examination Sahdam.

Sabila harus menyempurnakan perjuangannya dalam menghadapi ujian ini. Memang terlalu banyak jumlahnya para pemuda pengganggu yang hadir dalam hidup Sabila. Tapi Sabila berusaha untuk bertahan.

 I must survive, I must survive…

            Meski seribu pemuda pengganggu hadir kembali dalam hidup Sabila. Seganteng apapun mereka, sepintar apapun mereka, sebaik apapun mereka. Apapun yang terjadi, Sabila tetap harus bertahan. Karena dia tahu,

 now its time for me to look for science, not time for me to look for love.

            Hati Sabila masih terlalu sakit, sangat letih dan masih terlalu lelah untuk mengulang semuanya kembali. Sabila masih mencintai mimpi-mimpinya dan dia harus mewujudkannya.  

***

“Kak Sabila!”

Sabila menoleh ke arah sumber suara

“Hani?”

Hani mendekati Sabila dan wajahnya terlihat sangat sumringah tidak seperti hari-hari sebelumnya. Syukurlah, mungkin gadis ini sudah menemukan kebahagiaannya. Meskipun Sabila tidak bisa berbohong kalau sekarang dia sedikit tidak merasa nyaman bila melihat Hani. Lebih tidak nyaman lagi kalau dia melihatnya dengan Sahdam.

“Kakak punya waktu?”

“Sebenarnya sekarang aku mau ngerjain tugas matematika sama Sahdam.”

Please kak, aku mohon…” Hani memelas

“Ok dech.”

Merekapun duduk di depan lab IPA.

“Ini tentang  aku dan kak Sahdam…”

Dari topik pembicaraannya saja pasti bisa membuat Sabila mendengarkan cerita Hani tanpa minat.

“Aku sudah mengutarakan perasaanku pada kak Sahdam beberapa kali tanpa ada kata menyerah. Sampai akhirnya aku menemukan cara jitu agar kak Sahdam mau menerimaku.”

Perasaan Sabila mulai semakin tidak nyaman. Lalu Hani memperlihatkan perban yang melilit pergelangan tangannya. Lalu melepaskan gulungan perbannya. Lukanya yang menganga terlihat dengan jelas. Dan sekarang Sabila kembali dihadapkan pada ketakutannya melihat darah atau apapun yang berbau kekerasan. Mendengar kata menggorok atau memotong urat nadi malah membuat Sabila langsung mual dan ingin muntah.

“Cukup dengan memutuskan urat nadi tanganku di depan mata kepala kak Sahdam.” Ucap Hani menatap mata Sabila tajam.

“Dan hasilnya lihatlah ini.”

Sabila melihat sebuah bulatan emas dengan satu permata yang berbinar-binar terpasang di jari manis Hani.

“Esoknya kak Sahdam langsung menyematkan cincin ini di jari manisku. Kak Sabila tahu ini artinya apa? Itu artinya aku cuma ingin kak Sabila tahu bahwa pengorbananku untuk mendapatkan cinta kak Sahdam jauh lebih besar di banding cewek-cewek itu termasuk kak Sabila. Rasa cintaku untuk kak Sahdam jauh lebih besar di banding kalian semua. Akulah gadis itu kak, akulah gadis yang telah menyebabkan kak Sahdam menolak banyak cewek. Akulah gadis yang telah menyebabkan kak Sahdam menutup hatinya untuk cewek lain termasuk kak Sabila. Akulah gadis spesial itu. Dan aku rasa kak Sabila nggak usah memupuk perasaan kakak untuk kak Sahdam. Karena di hati kak Sahdam sudah ada Hani!”

“Jadi?”

“Ya, diam-diam aku sudah membaca semua isi yang ada dalam diary cengengmu itu saat aku tinggal sebentar di pesantren. Dan mulai sekarang aku sudah menyatakan perang terbuka denganmu kak Sabila. Selama ini aku selalu mengawasi cewek-cewek mana saja yang selalu mendekati kak Sahdam dan memberikan sedikit peringatan yang cukup berarti untuk mereka.  Dan ternyata mereka semua pengecut. Satu persatu diantara mereka mundur begitu saja. Jujur ya kak, di bandingkan dengan mereka kau adalah cewek yang sangat mudah di lumpuhkan. Karena kau tidak punya  keberanian untuk mengucapkan perasaanmu pada kak Sahdam. Itu artinya kak Sabila jauh lebih pengecut dari mereka. Kak Sabila pecundang besar!”

PLAK!PLAK!!

Kedua pipi Hani memerah, Hani meringis kesakitan oleh tamparan Sahdam yang keras, bahkan kalau mau mungkin Sabila bisa meninjunya.

“Dengar ya gadis istimewa, aku ini bukan seorang pecundang besar seperti yang kamu katakan. Aku tidak mengatakan perasaanku bukan karena aku pengecut. Tapi karena aku masih punya rasa malu, aku menghargai Sahdam sebagai sahabatku dan karena aku masih punya harga diri.

Mau tahu dimataku kau seperti apa? Kau tak lebih dari seorang cewek kesepian yang rela mati konyol demi mengemis-ngemis cinta seorang laki-laki yang menerimamu dengan terpaksa. Yang seorang pengecut dan pecundang itu kamu! Karena tidak mau menerima kenyataan.

Kalau kamu pengin Sahdam, ambil saja. Aku gak butuh. Tapi camkan satu hal. Kau bisa memiliki Sahdam tapi kamu gak akan pernah bisa memiliki hatinya.”

“Kak Sahdam…” tiba-tiba Hani berlari dan bersembunyi di balik punggung Sahdam yang tanpa Sabila sadari sudah ada di hadapannya.

“Hani…pipimu memerah.”

“Hani gak tahu, bagaimana bisa wanita sebaik dia bisa melakukan ini padaku…”

“Siapa?”

Hani menyembunyikan wajahnya dan airmata palsunya dalam dekapan Sahdam. Lalu menunjukan jari telunjuknya kearah Sabila.

“Sahdam ini gak…”

“Maaf  Sabila, aku mohon tinggalkan kami.”

“Tapi…”

“Sabila…”

“Tapi Sahdam?”

“Pergi” bentak Sahdam.

Ini benar-benar bukan Sahdam. Ini bukan Sahdam. Orang yang sekarang ada di depan Sabila adalah orang lain. Sahdam tidak pernah bersikap seperti ini. Sahdam yang  Sabila kenal adalah Sahdam yang perhatian, hangat, penyayang dan selalu tersenyum padanya. Sahdam yang Sabila kenal selalu menjaga jaraknya dengan cewek dan tidak sampai sedekat itu. Hati Sabila berontak, dan darahnya tak berhenti bergolak. Melihat Hani berada dalam dekapan Sahdam, melihat tidak adanya jarak diantara mereka, apalagi melihat isak tangis penuh kepalsuan Hani malah membuat Sabila seakan ingin muntah. Kalau bukan karena adanya suatu ikatan sakral yang telah menjalin mereka. Tidak mungkin Sahdam mau sedekat itu dengan Hani.

Hati Sabila terkoyak-koyak dan hancur. Karena tidak bisa menerima kenyataan ini. Sabila berlari sekencang mungkin. Sabila muak melihat pemandangan itu.

***

            Hari ini aku harus tetap sekolah. Don’t look back, look the future!

Ikhtiar Sabila untuk menuntut ilmu tidak boleh terganggu oleh hal remah temeh bertema cinta. Hari ini juga Sabila mengambil sebuah keputusan besar.

            “Marco, kamu pindah kedepan dan kamu Sabila, kamu pindah ke tempat duduk Sabila. Saya kira dengan duduk di depan kamu bisa merubah sikap bandel kamu itu Marco.” Ujar pak Wahyu wali kelas X1 IPS 1.

            Sahdam menatap Sabila melongo. Terhenyak mendengar ucapan pak Wahyu barusan. Sahdam terus memperhatikan Sabila dari awal dia berdiri hingga duduk di tempat duduk yang baru.  Ternyata skenario yang Sabila susun berjalan lancar dan pak wahyu dapat memahaminya. Sabila dan Sahdam tidak duduk sebangku lagi dan selesai sudah.

            Saat bel tanda pelajaran usai  berbunyi, Sabila seperti orang yang diburu waktu dan langsung menggendong tas punggungnya untuk segera pulang. Kejadian itu telah membuat Sabila jadi ingin cepat-cepat pulang ke ponpes. Sabila jadi lebih sering melaksanakan shalat dlhuha di Ponpes sebelum berangkat sekolah. Agar kekecewaan demi kekecewaan itu tidak terulang lagi. Sabila baru sadar kalau selama ini dia telah menyalah artikan sikap Sahdam padanya.

Aku salah…aku salah, sangat salah.

***

            “Kau sudah tahu kira-kira perasaan apa yang menjangkiti hatimu sekarang?” Ghisa merangkul pundak Sabila. Itulah kebiasaan yang sering di lakukan kakak angkatnya ini.

            “Gak tahu…tai kucing sama apapun menyangkut perasaanku.”

            “Jangan ngomong kayak gitu Bil..kamu tuh suka sama Sahdam atau mungkin cinta  sama dia. Tapi jauh dari semua itu, selain rasa suka dan cinta, ada perasaan yang jauh lebih dalam yaitu rasa sayang. Sayang tidak pernah cepat hilang secepat cinta pergi. Perasaan sayang tidak pernah cepat berubah. Perasaan sayang bisa membuatmu berkorban untuk orang yang kamu sayangi. Mau menderita demi kebahagiaan orang yang kamu sayangi. Cinta ingin memiliki, tapi sayang hanya ingin melihat orang yang di sayangi bahagia walaupun harus kehilangan…”

            “So puitis kamu.”

            “Masih belum nyadar ya kalau  kakakmu ini adalah seorang pujangga besar.”

            Sabila manyun seperti siput. Tapi kata-kata Ghisa meresap dengan lembut dan sejuk ke sela-sela hati Sabila yang gersang.

            “Allah sayang banget sama kamu, Akan tetapi kadang ketika kita minta pada Allah bunga yang segar. Allah malah memberi kita kaktus berduri. Ketika kita minta kepada Allah binatang mungil, Allah malah memberi kita ulat berbulu. Dan akhirnya kita malah bersedih, protes dan kecewa. Mungkin kita berpikir bahwa Allah tidak adil pada kita. Tapi akhirnya…kaktus itu berbunga indah. Ulatpun berubah jadi kupu-kupu cantik.

            Itulah jalan Allah Sabila, indah pada waktunya. Allah gak ngasih yang kita harapkan, tapi Allah beri apa yang kita butuhkan. Kadang kita sedih, kecewa…tapi diatas segalanya, Allah sedang merajut yang terbaik untuk kehidupan kita.”

            Sabila menatap lekat-lekat wajah Ghisa yang bercahaya. Setelah sekian lamanya tidak bertemu, akhirnya Sabila bisa melihat senyum Ghisa lagi, mendengar kata-kata mutiaranya yang terkesan seperti menggombal tapi indah dan menyejukan.

            “Mau tahu cara ngobatin patah hati ala  Sabila?”Tanya Sabila

            “Aku tahu, banyak baca Al-Qur’an, banyak dzikir, terus nonton kartun Upin dan Ipin, beres-beres kamar, latihan karate, banyak makan, ngulek sambel, ngedengerin lagu-lagu metal  kayak lagu Linking Park, Scorpion, Avril Lavigne…”

            “Nah itu kamu tahu”

            “Ngobatin patah hati itu pake lem power Glue non, gak harus ada tangis bukan, life its so simple OK !!” ucap Ghisa

            Tawa merekapun pecah. Namun, masih dengan senyum manisnya Ghisa menatapku dan melepas dengan pelan tangan mereka yang sebelumnya saling bertaut dan tergenggam dengan erat. Ghisa menjauh, berjalan pelan menjauhi Sabila.

            “Kak Ghisa jangan pergi…”

            Ghisa mengacuhkan seruan Sabila. Dia terus berjalan menjauh hingga bayangannya hilang dari tatapan Sabila.

            “Kak Ghisa kamu mau kemana lagi…?”

            “Selamat tinggal  Sabila…” Ghisa melambaikan tangannya pada Sabila dan terus memanggil-manggilku dari kejauhan.

“ Sabila…Nyi Blorong….Nyali tempe, Putri tidur!!!”

            Sabila terkesiap dan terbangun dari tidurnya. Saat dia membuka mata, ruangan kelas sudah sepi. Tinggal tersisa Sabila   dan Sahdam.

            “Molor aja kamu kerjaannya, mau pulang gak?” Sahdam duduk di samping Sabila. “ Ya udah kumpulin nyawa dan cuci muka dulu sana!”

            Sabila berjalan gontai keluar kelas dan memutar keran air lalu membasuhkannya kewajah Sabila yang kusut ini.

            “Sekarang kamu udah balik lagi jadi tukang molor kayak dulu dan nilai matematika kamu juga jadi jeblok lagi, kenapa sih, gara-gara aku ya?” Goda Sahdam.

            Sabila menanggapi Sahdam datar. Sama seperti yang pernah dia lakukan saat tahu ajaran baru dulu. Memasang wajah datar saat Sahdam minta diri untuk sebangku dengan Sabila.

            “Disaat aku membutuhkan orang yang mau mendengarkan keluh kesahku, sahabatku malah menjauh…”

            “Gak nyadar apa, seharusnya aku yang ngomong kayak gitu sama kamu! Sahdam yang kulihat sekarang benar-benar bukan Sahdam, tapi orang lain!”

            “Sekarang…aku gak mau ngucapin kata maaf sama kamu, karena kesalahanku kemarin memang tak termaafkan. tapi aku ngerasa gak nyaman, aku gak tahan di diemin sama kamu, aku ngerasa di musuhin. Gak ada apa-apa antara aku dengan Hani. Dia cuma salah paham sama sikapku selama ini sama dia. Hani mulai nyerah mengejarku setelah aku ngomong ke dia kalau selama ini aku sudah menutup hatiku karena udah ada gadis lain yang mengisi hatiku. Dia masih ada di hatiku sampai sekarang dan masih belum tergantikan oleh siapapun. Gadis istimewa yang membuat aku nolak banyak cewek.”

            “Jangan bikin aku penasaran, katakan siapa dia?”

            Sahdam mengeluarkan handponenya.

“Entar aja deh, aku takut tumor otak kamu langsung kambuh setelah lihat cewek ini saking cemburunya.” 

“Ugh! Dodol!! Kege-eran lo!.”

Senyum, canda dan tawa kembali mewarnai obrolan mereka saat ini.

 Hmmm….mungkin lebih baik seperti ini, lebih nyaman seperti ini, lebih indah seperti ini. dan kita tetap terikat dalam jalinan indah persahabatan. kalau boleh aku meminta, aku ingin Sahdam menganggapku lebih dari seorang sahabat. Seberapa letihpun hatiku, yang penting aku mulai bisa merasakan rasa itu kembali. Rasa terindah yang pernah kualami untuk kesekian kalinya. Sahdam make my heart sing again, sing the love song everyday. Kau sangat dekat, kau sangat dekat denganku. I’m always feel calm down, funny, happy and nervous if I nearby with you…

Kita selalu bertemu setiap hari. Karena kau adalah teman sekelasku…bahkan sahabatku who always see my eye until the bottom of my heart. Still singing, still singing oh my heart. Tetaplah menyanyikan namanya setiap hari.