Senin, 28 Februari 2011

MENATAP MATAHARI DAN CINTA


 

“Menjaga perasaan kepada lawan jenis merupakan kunci kesuksesan seseorang agar terpelihara harga dirinya. Meskipun sama-sama saling menyukai, apabila merasa belum siap untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan, hendaknya perasaan itu kita tutup rapat-rapat.”
Seperti biasa Pak Haji Anwar memberikan nasihatnya dalam pengajian kitab Hikam di pagi hari itu.  Mengkaji kitab Hikam bersama pak kyai di Jumat pagi memang sudah jadi rutinitas para ustadz dan ustadzah di pesantren ini. Namun, bagi Rozi pengajian ini tidak hanya sekedar pengajian biasa . Tapi kesempatan berharga di mana Rozi bisa men-charger – kembali spirit keimanannya. Hari jumat telah menjadi hari mutiara bagi Rozi. Mutiara yang terus memancarkan sinarnya di hari-hari berikutnya.
“Meskipun kita tahu, keduanya sebenarnya saling mengharapkan. Di saat seperti ini, segala bentuk qorinah atau tanda, apakah itu berupa perhatian, pemberian, dsb, hendaknya kita maknai dengan pemaknaan yang sewajar-wajarnya.
Seseorang yang mengumbar perasaan cintanya, hanya akan menjadi bahan gunjingan orang-orang di sekitarnya. Apakah hubungannya itu dapat berlanjut ke jenjang pernikahan, maupun apabila hubungan tersebut gagal menuju tangga pernikahan, sama-sama merupakan sumber gunjingan yang paling enak.
Di sisi yang lain, menyimpan perasaan kepada lawan jenis yang begitu mendalam akan merusak jiwa seseorang, karena ingatannya tidak bisa lepas darinya. Alangkah baiknya apabila kecenderungan tersebut segera kita wujudkan dalam bentuk ikatan pernikahan”

Rozi mendengarkan dengan takdim nasihat yang diberikan Pak Haji Anwar  Nasihat yang terasa khusus di tujukan kepadanya. Nasihat yang serasa menjadi sebuah solusi dari kekalutan dan kebingungan yang sekarang tengah dialaminya. Sementara di sudut tempat duduk yang lain, terlihat Rui yang menunduk dalam-dalam sambil mencerna dan meresapi petuah pak Haji Anwar. Rui duduk di bangku paling depan. Sementara ustadzah yang lain lebih memilih duduk memenuhi jajaran bangku paling belakang. Beberapa saat kemudian, Asih datang dan duduk di sebelah Rui. Ustadzah yang satu ini mempunyai kesukaan yang sama dengan Rui. Sastra.
Asih melihat Rui  sekilas, melihat diri Rui yang sedang memelas. Melihat diri Rui yang tenggelam dalam fikirannya sendiri.
“Nur boleh minta kertas, “ bisik Asih pelan
“Boleh.” Lamunan Rui mendadak buyar.
Rui melihat Asih yang sedang menulis sesuatu di kertas itu. Setelah selesai, kertas itupun langsung Asih sodorkan sembunyi-sembunyi pada Rui. Dan Rui membacanya.
“Menjelma menjadi sosok yang tegar
Atas kepedihan hati ini
Relung batinku menjerit dan meronta atas goresan yang pedih
Mencoba berlari bersama serpihan hati yang tercecer dengan sebuah kesabaran…
Aku tertatih-tatih kembali menatap matahari dan cinta.”
Air mata Rui meleleh, Rui merasa itu puisi untunya. Rui telah mengecap setiap untaian kata dalam puisi yang di tulis Asih.
Tanpa aku ceritakan segala asa di hati ini padamu
Ternyata kau sudah tahu hanya dengan menulis puisi hati ini
Kau wakilkan segala yang kurasa selama ini
Tapi jangan bertanya kenapa aku menangis
Karena otomatis pertanyaan itu membuat mulutku terkunci untuk menjawabnya
Mataku menjawab semuanya
Rui menyodorkan balasan puisinya pada Asih, kembali Asih menulisi kertas itu dan membalas puisi Rui.
“Jika kamu tak bisa membuka mulutmu
Teruskanlah menangis
Tetesan air matamu telah menjadi
Wakil semua celotehanmu itu
Aku sebagai sosok baru di dalam kehidupanmu, tak bisa menyelami sifatmu
Aku hanya bisa berharap engkau tersenyum dan bisa tetap tabah dengan goresan takdir-Nya”
Rui.
Biarkan aku membuat dukaku hanyut bersama sungai kecil yang mengalir di pipiku
Karena aku sudah terbiasa.
Asih.
“Dukamu bukan hanya kamu yang merasa
Semua insan pernah merasakan dukamu
Hey kawan, aku yakin kamu sosok muslim yang tegar atas semua cobaan
Cobalah sedikit raba hatimu, usaplah hatimu dengan cinta-cinta-Nya….”

***

Tak biasanya Rui harus menunggu bis jurusan Karawang selama ini.  Setiap bus yang lewat selalu saja bukan jurusan Karawang. Sementara hari sudah berbalut warna jingga bercampur merah kepekatan.
“Kok Primajasa jurusan Karawang nggak muncul-muncul sih!”
Rui terus menunggu. Lalu mendudukan dirinya di bangku sebuah warung kopi yang ada di pinggir jalan Raya. Rui terus menolehkan kepalanya ke sebelah kanan.  Namun lagi-lagi bus yang Rui tunggu tak kunjung kelihatan.
“Ayolah bus…aku di buru waktu nih…”
Rui menunggu sambil mengamati tempat di sekitarnya. Rui sangat senang mengamati setiap gerak-gerik orang. Berbaur di tengah kerumunan orang dan mendengar celotehan mereka.
Menuangkan pengamatannya ke dalam catatan kecil yang selalu jadi sahabat setianya. Mobil yang berlalu lalang, bus yang tak kunjung datang, topik obrolan tukang ojek di kios. Obrolan tentang Gayus tambunan, tentang Irfan Bachdim, tentang hewan terunik di dunia, tentang demonstrasi menentang pemerintahan presiden Housnie Mubarrok, Tentang gaji presiden SBY, tentang kontroversi film Jupe dan Depe.
Hingga akhirnya Rui mengamati sesosok lelaki bertubuh tinggi dengan kemeja kuning kotak-kotak tengah berjalan kearahnya dari kejauhan. Sinar mata, rambut hitam bergelombang dan cara berjalannya sangat Rui kenal. Cara berjalan yang tidak berubah sejak sepuluh tahun yang lalu. Cara berjalan yang cepat namun tenang. Itulah Rozi. Dan dalam hitungan menit, sosok Rozi kini sudah berdiri di hadapan Rui.
“Rui…” panggil Rozi
“Akang?”
“Ada yang harus kita bicarakan…” ucap Rozi tanpa basa-basi
Sebenarnya Rui sedang di kejar waktu untuk pergi ke Karawang. Dan dari kejauhan bus jurusan Karawang sudah hampir mendekatinya. Namun Rui enggan berkata tapi pada Rozi. Akhirnya Rui merelakan mobil bus itu lewat begitu saja.
“Apa kang?”
“Nanti saja, takut mobil busnya lewat.”
“Memang barusan udah lewat!”
“Oh, maaf…aku tidak bermaksud mengganggu perjalan kamu.”
“ Dari kemarin akang selalu bungkam. Akang bilang mau bicara tapi selalu saja ditunda-tunda.”
“Berat aku mengatakannya…”
“Akang, jangan pernah ragu untuk membicarakan semua unek-unek di hati akang. Jangan ragu menceritakan semua masalah akang. Terutama masalah akang dan aku.”
“Rui…Menanti adalah sesuatu yang kurang menyenangkan.” Sejenak Rozi menghela nafas panjang.
“Iya, hehe kesal juga 30 menit nunggu bus, tapi nggak dateng-dateng.”
“Bukan itu…”
“Lalu?”
“Masa depan adalah misteri, Rui. Aku mau kamu jangan terlalu menanti kedatanganku. Jikalau nanti ada yang datang padamu dan itu baik, kenapa tidak. Tapi aku juga akan tetap menjaga niat itu. Niat untuk menjemputmu dan menjadikanmu bidadariku. Mudah-mudahan kita ditakdirkan saja untuk bersatu.
Dari sekarang, aku berharap kamu jangan terlalu larut dalam penantian. Dan aku juga tidak larut dalam janji-janjiku. Aku harap kamu tidak lagi menantiku agar  aku dan kamu tidak terbebani dan bebas memilih yang terbaik.
Rui…aku mau belajar menjadi orang yang baik. Aku harap kamu tidak menemuiku atau menghubungiku lagi. Sekarang kita menapaki jalan kita masing-masing.”
Terasa sangat menohok, menghujam ke dalam palung hati Rui. Meskipun Rui sadar selama ini setiap apa yang di putuskan oleh Rozi dan kata-katanya selalu menjadi keputusan yang terbaik dan bijak. Tapi kali ini, keputusan Rozi tak ubahnya jarum suntik yang tajam menusuk-nusuk. Sakit awalnya, tapi ini demi menyembuhkan jiwa dan iman mereka berdua. Demi mencegah kerusakan jiwa dan iman mereka. Menghindarkan kerusakan yang diakibatkan fitnah dan godaan syethan. Tidak memberi celah bagi syethan untuk tertawa. Inilah…inilah hasil dari Istikhoroh Rozi dan hasil dari Istikhoroh Rui. Selesai sudah. Inilah jawaban dan kepastian istikhoroh mereka berdua.
Dulu, Ruilah yang meminta Rozi untuk berhenti mengganggunya. Sekarang Rozi dengan kesadarannya meminta Rui untuk tidak menghubunginya. Rui memang mengharapkan kepastian. Sekarang, dengan kesadaran masing-masing mereka mencoba untuk menjauh. Mencoba meregangkan jalinan hati yang sudah membelit dengan kuat. Melepasnya sedikit demi sedikit. Dengan perlahan dan membutuhkan proses yang panjang.
Mereka sadar, nafsu selalu menuntut kesenangan. Tapi kebenaran selalu terasa pahit dan menyakitkan, padahal itulah yang telah menjadi  keputusan Allah.
Sepertinya Allah telah mengeringkan sumur air mata Rui dan Rozi. Tak ada ratapan yang bergemuruh di dalam dada mereka.
“Akang, untuk terakhir kalinya…ijinkan aku melihatmu punggungmu saat kau sedang berjalan menjauhiku hingga bayangan tubuhmu hilang di ujung penglihatanku.” Rui berbicara setengah menggumam.
Assalamualaikum…” ucap Rozi sembari menganggukan kepalanya pelan.
Wa’alaikum…salam…”
Setelah mereka puas dengan saling melempar senyum. Dan saling menatap dengan tatapan mata yang berkaca-kaca meskipun kembali menundukan pandangannya ke bawah, Rozi melangkah pergi. Menyebrang jalan dengan langkah yang terasa berat. Sementara Rui tetap diam mematung di tempatnya. Meremas kuat-kuat ikatan tas punggungnya.  
Rozi sudah berada di seberang jalan. Dan menyusuri sebuah gang kecil menuju pesantren. Tanpa sedikitpun berpaling ke belakang. Sambil berjalan, Kembali hati dan ingatannya menggumamkan sebuah puisi karya seorang ulama ahli fikih di kalangan tabi’in, Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud. Ulama yang pernah jatuh cinta sebagaimana diri Rozi yang juga tengah jatuh cinta pada Rui.

Aku simpan cintaku sehingga engkau menderita karena sikapku
Mereka mencelamu dan celaan mereka adalah aniaya
Musuh-musuhmu menghasut
Engkau mencintai dan telah menjadi bahan gunjingan
Tak ada manfaatnya menyimpan cinta
Engkau bagai harimau betina yang mati kepayahan
Pada bekas tapak Hindun atau bagaikan bibir yang sakit
Aku menjauhi kekasih karena takut dosa
Padahal menjauhi kekasih adalah dosa
Rasakanlah bagaimana (rasanya) menjauhi kekasih yang kau sangka
Bahwa itu tindakan bijaksana padahal mungkin itu bohong

Jauh sekali Rozi berjalan dan melangkah dengan tenangnya. Sementara di sebrang jalan, Rui berdiri memperhatikan punggung Rozi. Menunggu penuh harap agar Rozi menoleh dan membalikan badannya kebelakang. Rui terus menunggu dalam detik ke detik. Dan ketika hitungan detik itu belum genap menjadi satu menit. Tampak Rozi menoleh kebelakang . hanya menoleh dan melihat Rui yang mematung memperhatikannya sedari tadi. Menoleh dengan wajah yang kaku dan tanpa ekspresi. Lalu kembali melanjutkan perjalanannnya.
Rui merasa takjub dan tersihir. Rui yakin kalau harapan yang suci itu masih terbenam dalam-dalam di lubuk hati Rozi yang terdalam. Rui melangkah dalam diri yang masih terhipnotis oleh mimpi dan harapan yang menyelimuti hari-harinya. Rui ingin mengejar Rozi. Meyakinkannya kalau bagi Rui penantian bukanlah hal yang tidak menyenangkan. Bila akhirnya harus kecewa, Rui pasti berlapang dada. Rui masih ingin hidup berbalut mimpi dan harapan. Bagi Rui tak ada jeleknya hidup dalam harapan dan dalam penantian. Karena satu-satunya yang Rui harapkan adalah Rozi. Karena satu-satunya yang Rui nantikan adalah Rozi. Rui ingin tetap hidup berbalut mimpi indah. Harapnya, penantiannya adalah bagian mimpinya. Berhenti mengharapkan Rozi, berhenti menanti Rozi sama saja dengan berhenti bermimpi. Dan berhenti bermimpi, sama saja dengan berhenti hidup…
Langkah Rui  Nampak tergesa-gesa. Dalam suara hatinya yang tak hentinya menjerit. Tiba-tiba bermunculan suara yang mengejutkan, suara jeritan klakson mobil truk besar yang sudah ada di hadapan Rui, suara teriakan pengendara mobil, suara teriakan orang-orang di pinggir jalan. Lamat-lamat terdengar ditelinga Rui suara teriakan Rozi.
“RUIII….AWAS!!!!”
Sudah tak ada kesempatan untuk  menghindar. Yang Rui rasakan sekarang adalah sekujur tubuhnya yang terpental, tubuhnya yang terasa remuk, tubuhnya yang terpelanting ke pinggir trotoar, tubuhnya yang pekat dan basah oleh darah, warna dunia yang berubah  gelap. Denyut nadi yang pelan, hembusan nafas yang tersengal-sengal dan hangatnya air mata yang membanjiri wajahnya.  Semuanya menyatu mengumpulkan satu tanda tanya dalam batin Rui.
Inikah saatnya…?


Rabu, 16 Februari 2011

TERLAHIR KEMBALI


 “Aku ingin menjemput bidadari…”
“Uhuk-Uhuk!!!” air minum yang sudah masuk kerongkonganku nyaris keluar lagi setelah mendengar ucapan Kak Agus barusan.
“kamu kenapa La?” Agus menatapku heran
“ Kagak! Cuma keselek doang. Hehehe…emang udah nemuin bidadarinya?”
“Belum, masih dalam proses pencarian. Aku masih belum nemuinnya.”
“Jadi ceritanya nggak harus nunggu wisuda dulu nich supaya bisa jemput bidadari?”
“Nggak, tapi kalau sampai wisuda belum nemuin juga ya…jemputnya bisa nanti.”
“Jemput pakai apa? Perahu, becak, bajaj, motor mobil, kapal pesiar”
Tanpa kuduga Kak Agus melayangkan tangannya ke kepalaku. Dan kakak angkatku itu menjitak kepalaku keras-keras.
“Heh, aku serius!” ketus Kak Agus.
“Emang…menurut kamu bidadari itu kayak gimana?”
“Ila…tiap orang itu beda pemikiran. Jadi beda juga dalam mempersefsikan bidadari itu gimana. Dan aku sudah mendefinisikannya…”
“Ya udin, moga di lancarkan usaha kakak dalam mencari bidadari. Ntar aku bantu cari ya.”
“Beneran? Gimana caranya?”
“Ambil cewek secara acak. Mau dia perawan, janda, tante-tante, nenek-nenek. Trus aku tulisin di jidatnya BI-DA-DA-RI!!!”
Gelak tawa Kak Agus langsung menyambut perkataanku barusan. Lalu dengan cepat dia melemparkan bola basket ke arahku. Lemparan bola basket itu adalah sinyal atau tanda kalau dia menantangku kembali bermain basket. Kuterima tantangannya. Dan kubetulkan letak kerudungku yang baru satu tahun ini kukenakan.
Ternyata dia ingin secepatnya menjemput sang bidadari. Hmmm…akukah bidadari itu? Pantaskah diriku menjadi bidadari. Dan pantaskah bidadari-bidadari surga mencemburuiku. Aku yang belum bisa menjaga kesucianku. Kesucian hati. Kesucian diri. Apakah Allah menaqdirkanku menjadi bidadarinya? Hingga tiba saatnya dia menjemputku sebagai bidadarinya?
Aku menjadi bidadari siapa…? Bidadari Kak Aguskah?
Hehehe…emang ada gitu bidadari yang suka basket, yang suka hiking, yang suka berpetualang, yang tomboy, yang nggak ada anggun-anggunnya, yang nggak ada lembut-lembutnya, yang hobi makan, yang temen-temen genknya cowok semua dan yang suka nonton bola sepertiku? Lolos nggak sih aku ikut seleksi calon PNS, eh calon bidadari!?
Heh bidadari-bidadari surga! Asal kalian tahu ya, aku tuch nggak butuh di cemburui sama kalian. Bodo amat dech! Aku juga sudah nyaman menjadi diriku yang seperti ini. Ya…inilah aku.
Tapi yang aku tahu, dan sebagaimanapun tomboynya aku, aku sadar kalau aku adalah tulang rusuk yang hilang. Yang suatu saat nanti akan melengkapi susunan puzzle kehidupan sang adam. Menjadikannya utuh dan sempurna. Sekarang aku 19 tahun. Masih muda dan hijau. Masih ingin bebas dari keterkungkungan. Masih punya banyak mimpi yang harus terukir dan kuwujudkan. Tapi sebagai wanita, aku sangat merindukan rasa sakit itu. Rasa sakit yang membahagiakan. Rasa sakit dalam menghadapi sebuah pertarungan antara hidup dan mati. Rasa sakit dalam mempertaruhkan dua nyawa sekaligus. Nyawaku dan nyawa buah hatiku. Rasa sakit membahagiakan saat mendengar jeritan buah hatiku. Rasa sakit berpahala jihad dan ibadah haji di setiap urat nadi yang terputus saat melahirkan.
Dan sekarang, yang terpenting bukanlah mencari cinta. Tapi mencari apakah ada orang yang siap membantuku untuk mewujudkan mimpiku itu. Orang yang bisa membuatku terlahir kembali. Menjadi wanita yang seutuhnya. Terlahir sebagai istrinya, terlahir sebagai ibu dari buah hatinya. Lalu…terlahirlah cinta, terlahirlah kasih sayang yang terikrarkan dalam lisan, hati dan tingkah laku kita.
Aku ingin menjadi seorang ibu. Aku ingin menjadi seorang istri. Menjadi wanita yang punya mimpi. Bekerja keras hadapi tantangan untuk mewujudkan mimpi. Percaya diri tak pernah menyerah untuk menjadi wanita sejati. Aku tidak menyesal terlahir sebagai wanita. Aku sebenarnya tidak menginginkan hidup sebagaimana pria. Tapi aku juga tidak boleh menyerah lemah teraniaya.
Aku seorang muslimah. Dan seorang muslimah tidak pantas menyesal terlahir sebagai wanita. Aku tetap bersyukur menjadi seorang wanita. Yang dengan ketundukannya di bawah cahayaNya, aku  akan terus menapaki bumi dan selaksa bahagia. Mempercantik diri dengan sentuhan syariatNya. Menjadi taman indah dan gudang karunia yang senantiasa melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan fitrahnya. Yang mengarungi kehidupan Islam yang indah dan penuh hikmah…
“Ila…”
“Apa?” aku duduk tengah lapangan basket dengan nafas terengah-engah. Lalu dengan seenaknya mengelap keringat yang membanjiri wajahku dengan kerudungku yang baru setahun ini menghiasi kepalaku.
Kak Agus berpaling dariku dan melemparkan bola basket itu sampai masuk kedalam keranjang dengan satu kali lemparan. Kuperhatikan dengan seksama bayangan tubuhnya di bawah mentari senja yang sekarang sudah merambati hari.
“kayaknya…sekarang aku udah nemuin sang bidadari dech.” Kak Agus menunduk dalam-dalam, lalu tatapan matanya yang teduh itu mengarah padaku.

Minggu, 06 Februari 2011

Mentari yang Menghangatkan Jiwa


Ada banyak mentari yang menyinari hidup ini. Tapi hanya satu yang bisa memberikan kehangatan pada jiwaku. Dia jelmaan bidadari yang diturunkan Tuhan dari surga untuk menemaniku. Dia wakil Tuhan untukku. Dialah mentari yang cahayanya selalu menghangatkan jiwaku…
Ibu… sebenarnya sihir macam apa yang telah kau gunakan hingga bisa membuat  anakmu  menjadi seperti ini. Meski ayah sudah tiada, kau bisa membuatku tumbuh dan besar hingga bisa menjadi lebih baik dari orang lain. Sihir macam apa ibu, keajaiban macam apa yang telah kau ciptakan…?
“ Dhika!!!!”
Dalam hitungan detik jemari ibu yang lembut sudah meremas daun telingaku dan memelintirnya sampai memerah. Badanku langsung mengejang seperti terkena sengatan listrik. Pasti bukan hukuman seperti ini yang akan kudapatkan seandainya aku tidak melakukan kebiasaan jelekku bersama 2 orang sahabatku itu. Iwan dan Hendra. Dasar dua bocah Pembawa kesesatan!!
“Pulang sekolah itu bawa ilmu! Bukan bawa baju kotor.”
“Aduh…ampun Ummi…”
“Badanmu juga bau begitu! Saking baunya Ummi tidak bisa membedakan mana anak Ummi dan  mana kerbau!”
Hujan deras sepulang sekolah dari MTs Nurul Falah yang jauhnya naudzubillah itu membuat aku, Iwan dan Hendra harus rela kehujanan. Kami berlari melesat menyusuri jalan berbatu penuh lumpur yang licin. Menyusuri pesawahan, rimbunan hutan bambu lalu menyusuri sawah lagi dan memang begitulah seharusnya jika kami berangkat ataupun pulang sekolah. Jika pulang terlalu sore kami sering berlari ketakutan karena sepanjang perjalanan kami melewati hutan bambu yang tidak didapati rumah satupun. Bila pulang kehujanan kami selalu bermain perang-perangan dengan saling melempar lumpur, atau pun kotoran-kotoran kerbau dan sapi yang di colek terlebih dahulu dengan batu. Lalu tanpa ampun kami melemparkan kotoran-kotoran itu sekuat mungkin. Payahnya Hendra selalu menangis karena tidak rela bajunya terkena kotoran kerbau. Anak nelayan sejati ini memang sahabatku yang paling lamban dan cengeng. Mungkin postur tubuhnya yang gendutlah penyebab kelambanannya itu.
Kami Warkop Jatiwangi. Begitulah semua orang di kampung menjuluki kami. tiga orang siswa MTs angkatan pertama yang terlahir dan besar di tengah masyarakat kampung yang masih kurang peduli terhadap pendidikan. Lulusan SD di kampungku hanya bisa menggantungkan mimpi dengan bekerja sebagai buruh bangunan di Jakarta atau merantau ke Kalimantan, Sumatera dan tempat lainnya. Tapi hanya kami yang benar-benar tidak tergiur untuk bekerja dan menyerah begitu saja pada kehidupan. Kami masih menggenggam kuat-kuat mimpi kami. 3 tahun kebersamaan kami sering di habiskan dengan mengaji, sekolah,  bertualang, bermain, panas-panasan, perang-perangan kotoran kerbau, balapan lari, manjat pohon jambu dan makan buahnya sampai kenyang, bermain bola, mandi di air terjun, diam di rumah pohon, ngaliwet bersama, menjelajahi danau, berenang di tengah danau, di telanjangi hingga swempak nyangkut, mencari ikan dan masih banyak lagi…
Sama halnya dengan anak-anak di kampungku kebanyakan, ketika waktu subuh merambati hari,  aku sudah harus melawan dinginnya udara  di  danau  dengan menangkap ikan. Kegiatan ini berlangsung hingga jam delapan. Lalu siangnya aku baru bisa berangkat sekolah. Dengan berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer.  Hmmm…masa kecil yang sangat kurindukan itu kini telah melesat berlari seiring kedewasaan usiaku.
Hujan telah membuatku terhanyut dan mengingat kembali masa-masa itu. Bila rasa putus asa mencekik jiwaku, banyak masalah, atau hal apapun yang membuatku resah. Maka obat penyembuhnya ketika aku mengingat dan merindukan ibu dan adik-adikku.  Tak ada pengobat yang lain. Hanya ibu dan adik-adikku.
Lalu, di manakah Iwan dan Hendra  sekarang. Bagaimana keadaan Hendra di seberang pulau Jawa nan jauh di sana. Lalu sudah tinggikah ilmu agama yang Iwan peroleh di pesantren? Lalu teman-temanku MTs?
Tapi yang terpenting adalah ibu. Bidadariku. Mentari yang cahanya selalu menghangatkan jiwaku. Aku lahir dari seorang ibu yang berkuah peluh, berdarah-darah, meregang nyawa setelah masa panjang. Betapa payah, letih dan lelah ibuku selama ini takkkan pernah terganti. Bahkan akupun tak sanggup menakar air mata ibu yang telah berderai. Tapi aku bisa menemukan makna setiap bulir bening di kedua pelupuk mata itu. Tangisan yang terbaik hanyalah tangisan ibu. Tangisan terindah adalah air mata  ibu yang meleleh jatuh karena anaknya yaitu aku.
Sebelum aku pergi jauh dari ibu demi menuntut ilmu, ibu membekaliku dengan bekal yang baik dan nasihat terpuji. Aku melihat bagaimana saat itu ibu berlinang air mata. Melihat bagaimana sebuah ketulusan terpancar dari bening bola matanya. Ku reguk ruh suci, ruh kasih sayang, ruh cinta, ruh ketulusan ibu yang memancar menerangi semesta hidupku.
Aku melihat di wajahnya ada gurat-gurat ketuaan, ada tapak-tapak  kelelahan, tetapi ruh kasih sayangnya itu menyelimutkan keagungan. Aku meminta ibu berbicara. Meminta ia mengucapkan sesuatu, kendati lebih sering isak tangis yang terdengar. Tapi ibu tetap bisa meredakannya dengan kemulyaan, meneranginya dengan kejujuran, kekuatan ibuku adalah ketegarannya. Lalu Ibu berbicara dan aku merasakan dimana setiap kata yang berjatuhan dari lisannya bagaikan permata. Aku mendengarkannya dan tidak membiarkan setiap kata-katanya berserakan. Mengumpulkannya menjadi pusaka.  Nasihatnya takkan  tertukar oleh apapun di dunia.
. “Kau permata hati ummi, kau anugerah terindah bagi ummi. Kau adalah tawa di saat susah, kau adalah senyum ummi di waktu sedih, kau adalah harapan ummi di saat kecewa, kau adalah ramai ummi di waktu sepi, kau cairkan hati ummi di tengah kekakuan, kau adalah canda ummi di tengah ketegangan, tapi juga kau adalah tangis ummi di suatu waktu yang sebenarnya tak ummi inginkan…”
Ummi, di sini aku selalu di sesakkan oleh kerinduan yang teramat sangat padamu. Kerinduanku benar-benar sangat menyesakkan dadaku. Aku rindu cubitan kecil, timang sayang, suapan hangat, usapan lembut, tepukan di pantat, dan pandangan bahagiamu melihat kelucuan anakmu. Semua itu benar-benar tiupan lembut nafas cinta. Tiupan yang telah mengantarku ke gerbang kedewasaan. Meninggalkan rangkaian masa kanak-kanak berlari menuju kedewasaan. ibu adalah nafas lembut yang memekarkan kuncup menjadi bunga.
Dan tahukah kau ibu, kini ada sosok bidadari lain yang telah hadir tanpa seijinku. Ada mentari lain yang selalu mengganggu jiwaku. Tapi dia tidak mau menyaingi kehangatan kasih sayangmu. Dia yang tidak ingin mengalahkan cintamu. Dia  yang ingin agar hanya engkau satu-satunya bidadari yang lebih kucintai. Dia yang selalu menyaksikan tangis kerinduanku padamu. Lalu menenangkanku, memintaku untuk memejamkan mataku dan membayangkan keberadaanmu di sampingku. Bernafas dalam dekapanmu. Merasakan hangatnya tubuhmu, tetesan air matamu dan untaian kata-kata cintamu. Hingga aku membisikan setiap desah kerinduanku pada bayang-bayangmu yang telah hadir di sampingku.  Menghantarkanku ke alam mimpi dan bertemu sosokmu yang nyata dalam mimpiku…( Ui )