Sabtu, 14 Mei 2011

HATI YANG TERCURI


Kita bukan siapa-siapa. Tak ada hubungan apa-apa. Dan tidak terjalin ikatan apa-apa. Tapi…kita sudah saling mengakui perasaan kita masing-masing. Kita sudah mau jujur pada perasaan kita masing-masing. Dia tidak mau memiliki aku. Dan aku juga tidak mau mengikatnya. Yang termiliki adalah hati kami. Sekarang yang tercuri adalah hati kami. Tak ada niat untuk saling mengganggu. Meski tak bisa di pungkiri bayangan kami selalu saja saling mengganggu. Aku bilang dia pemuda pengganggu. Dia bilang aku sebagai gadis pengganggu. Dia juga bilang kalau aku adalah mentari yang setitik cahayanya selalu mengganggu jiwanya.
Perasaan kami ini sebenarnya perasaan apa? Kini Allah mempertemukan kami setelah waktu 4 tahun berlalu semenjak masa-masa itu. Saat di mana tak ada sedikitpun prasangka kalau kami akan menjadi seperti ini nantinya.
Kini kami hanya bisa menjalani hari di mana kami tidak bisa saling menyapa. Bertatap muka, mengobrol dan bercengkrama dengan lebih leluasa. Kami sudah berjanji untuk saling membatasi diri. Menjaga diri, dan merahasiakan perasaan ini dari semua orang. Saatnya pasti datang. Allah lebih tahu kapan waktu yang tepat di mana dia akan menjemputku sebagai bidadarinya. Sebagai satu di antara banyak mentari yang akan selalu menghangatkan jiwanya. Lewat dia Allah telah membuatku berusaha untuk menata diri. Menjadi wanita sejati dan tidak tomboy lagi.
Menyayangi dia benar-benar beresiko tinggi. Beresiko sakit hati, kecewa dan cemburu. Karena banyak gadis lain yang menginginkannya. Tapi dia berkata kalau dia lebih cenderung padaku dari pada yang lainnya. Biar Allah saja yang membuktikan dia tulus atau tidak mengatakannya.
Dan kini, aku telah sampai pada sebuah persimpangan. Persimpangan yang akan menentukan arah hidupku kedepan. Melangkahkan diri ini kemana dan di mana. Berada diantara cinta atau cita-cita. Diantara idealisme dan perasaan. Diantara harga diri dan romantisme hidup. Semua itu bisakah berjalan beriringan? Semuanya itu,bisakah melangkah bersama.
Aku takut jiwaku kembali rusak. Berkali-kali jatuh tersungkur dalam kisah yang sama. Meskipun aku di buat jatuh, tapi aku masih bisa merangkak dan bangun lagi. Bangun lagi dalam waktu yang lama. Aku tahu yang merusak jiwaku adalah diriku sendiri. Terlalu membentangkan harapan, terlalu tunduk pada perasaan, terlalu hanyut dalam mimpi, terbuai dengan kata-kata manis. Melupakan cita-cita, mengabaikan harga diri, dan melumpuhkan idealisme hidupku. Rasa sakit itu adalah aku sendiri yang menciptakan. Aku.
Simpan dan berikan cinta hanya kepada orang yang lebih berhak. Titik! Hanya itu, camkan itu!

SATU TAHUN


Satu tahun? Menunggu ketidakpastian selama satu tahun? Menunggu dan memikirkan seseorang yang bahkan dalam waktu satu tahun ini sama sekali tidak tahu kalau aku siap untuk hidup dengannya? Jadi satu tahun ini aku telah menunggu sebuah  ketidak jelasan. Mengumpulkan rasa pada orang yang kuharap menjadi satu-satunya orang yang berhak mendapatkan rasa cintaku. Orang yang kuharap menjadi imam dalam hidupku. Dan orang yang akan menjadikanku sebagai ustadzah dalam keluarga yang akan kita bina.
Dari pada terlahir kembali rasa sakit yang baru,  lebih baik aku lupakan saja dia. Kubunuh kembali perasaanku. Seperti yang sering ku lakukan dulu. Membunuh  perasaan yang ditujukan pada orang-orang yang tidak menyambut cintaku. Yang mengecewakanku. Lalu  aku kembali mengutamakan akal dan logikaku daripada perasaanku.
Ada sedikit rasa kecewa pada kak Yana yang satu tahun lalu menawarkan dia padaku. Dan juga menawarkan aku padanya. Berharap hubungan persahabatan kak yana dengannya berubah menjadi keluarga jika aku bersanding dengannya. 
Mencoba untuk tidak mengulang kesalahan yang sama aku menahan diri untuk bertanya terlalu banyak tentang dia. Mengumbar cerita tentangnya pada orang lain, menahan diri untuk tidak membuka profilnya di facebook. Diantara orang yang nyaris menyentuh hatiku, hanya cerita tentang dia yang sama sekali tidak kutulis dalam diary-ku. Sama sekali tidak tercantum namanya dalam diary-ku. Tak ada kisah tentang diriku dan dia dalam diary-ku. Tak ada gambar wajahnya yang menghiasi buku sketsaku. Hingga akhirnya dia meng-add aku lebih dulu. Menyapa salam lebih dulu saat tak sengaja kami cathing dan online di waktu yang bersamaan. Sering mengomentari statusku dan mentag aku di salah satu fotonya.
Semua hal kecil itu adalah keajaiban bagiku. Membuatku tersenyum-senyum sendiri saaat membaca komentarnya yang singkat. tapi lebih senang lagi ketika dia memberikan komentar yang panjang. Hal-hal kecil itu membuatku mengumpulkan segenap keberanianku untuk menandai dirinya dalam salah satu catatanku. Agar dia membaca cerpenku. Ketika aku tahu kalau dia sangat peduli pada muslim Palestina, aku langsung membuat sebuah cerpen, lalu ku copy di catatan facebook dan kutandai namanya. Fostingan cerpen terbaruku: Sepenggal Kisah Cinta di Palestina.
Jauh dari anggapan bahwa facebook itu lebih banyak madorotnya, sebaliknya aku selalu merasa pintar dan bertambah pintar setiap membuka facebook. Karena akhirnya, setiap online aku selalu membuka profilnya dan membaca status-statusnya yang selalu berisi nasihat agama. Statusnya selalu bermanfaat, selalu membuatku merenung. Dia selalu membawa kabar gembira dari Al-Qur’an lewat statusnya. Setiap satusnya yang kubaca adalah Ayat-ayat al-Qur’an yang di tafsirkan oleh kata-katanya yang sederhana, bersahabat dan menyentuh. Selama satu tahun itu aku menimba ilmu padanya. Tapi  dalam satu tahun itu, aku sama sekali tidak pernah  mengomentari statusnya. Aku masih tetap menahan diriku. Satu-satunya pesan yang kukirim di dindingnya hanya satu.
            “Thanks for add. . .”
Tanpa seijin dia aku mengcopy semua catatannya. Dan kusimpan dalam folder khusus di laptopku. Tapi lagi-lagi tak ada satupun catatannya terdapat komentarku. Selalu ku lihat apakah dia menulis catatan baru atau tidak. Di beranda yang ingin kubaca hanya statusnya. Sekali lagi hanya statusnya. Sampai aku hapal jika dalam satu minggu tak kutemukan statusnya, berarti dia sedang sibuk.
Begitulah, dalam satu tahun aku hanya mengenalnya lewat facebook. Bahkan kak Yana sendiri sama sekali tidak bercerita banyak tentangnya. Kakakku itu hanya menyuruhku untuk beristikhoroh. Dan menasihatiku kalau jodoh tak akan kemana. Hanya itu! Tapi memang lebih baik seperti itu, mungkin kakakku juga tidak mau konsentrasi belajarku terganggu atau dia sendiri tidak mau melihat adiknya ini kembali kecewa karena lelaki. Dan karena terlalu menumbuhkan harapan pada lelaki. Para lelaki yang semuanya berkacamata. Sehingga membuatku trauma dan tidak menyukai setiap lelaki berkacamata.
Tapi sekarang masa satu tahun itu sudah habis.  Sudah habis. Dia sudah pulang dari Mesir dan sekarang telah berdiri di depanku yang duduk di barisan kursi paling depan mendengarkan dirinya yang sedang menyampaikan ceramah mata kuliah pengantar Studi Islam. Di mataku, sekarang dia menyandang status sebagai teman di facebook dan dosenku. Tak lebih.
            “ada yang mau di tanyakan?” tanya dia pada semua mahasiswa semester tiga jurusan tafsir hadits  di ruangan ini.
             Aku  selalu tidak rela mahasiswa lain mendahuluiku bertanya. Aku bertanya dan terus bertanya. Jika ada materi yang kurang jelas aku selalu harus bertanya. Dan tetap tidak puas bertanya. Hingga mungkin di matanya aku berstatus teman di facebook dan mahasiswanya yang aktif.
Hingga ketika dia selesai menjawab semua pertanyaanku dengan jelas. Kali ini giliran hatiku yang bertanya. Apakah kau tahu kalau aku  siap menjadi pendampingmu?  Kapan status ku di facebook dari yang tadinya berteman berubah menjadi : menikah dengan Salman Al-Farisi?

LELAKI DI BUS


Perut Rui benar-benar keroncongan. Matanya mencari-cari pedagang makanan yang sedang mangkal di pinggir jalan. Hingga akhirnya secara kebetulan  Rui menemukan seorang pedagang otak-otak. Bagaikan wanita ngidam Rui menghampiri pedagang otak-otak itu dan langsung memesan 4 bungkus otak-otak plus saus kacang super pedas. Rui memang tidak bisa dijauhkan dari otak-otak. Di mana ada otak-otak, di situ ada Rui. Benar-benar makanan terfavorit setelah semur jengkol bikinan neneknya. Tapi Rui tetap tidak mau makan sambil berdiri ataupun berjalan. Apalagi di pinggir jalan Raya pula. Maka sambil menahan perih di perutnya Rui berdiri berpangku tangan menunggu Bus dan menyantap otak-otak itu di dalam bus.
Tak lama kemudian Bus yang ditunggupun datang. Rui mencari tempat duduk yang kosong di belakang. Rui perhatikan ada tempat duduk yang kosong. Rui duduk tanpa memperhatikan dengan siapa Rui duduk, yang terpenting saat itu adalah Rui bisa menghabiskan otak-otaknya. Dengan cuek Rui mencampur otak –otak dengan saus kacang yang pedas itu. Mengikat tali plastiknya lalu mengaduk-aduk bumbu dan otak-otak itu dengan mengayunkan tangannya kencang-kencang. Menggigit ujung plastik dan menekannya cepat. Lalu
“CHROOOT!!!!”
Rui duduk mematung. Hening. Rui baru sadar kalau bumbu otak-otak itu muncrat mengenai, pipinya, kerudung putihnya dan…baju koko putih orang yang duduk di sampingnya!!
“Ma-ma-maaf…..” Rui nyengir kuda.
Lelaki berbaju koko putih itu malah tersenyum lebar. Sementara Rui kelabakan karena tidak punya sapu tangan apalagi tissue untuk membersihkan noda saus kacang di baju koko lelaki itu juga di kerudungnya.
Haduh-haduh….kumaha ieu?
“Nih…” lelaki itu menyodorkan saputangannya pada Rui.
“Nggak usah…nggak apa-apa…takut ngerepotin….” Rui menolak sapu tangan lelaki itu.
“cantiknya jadi ilang kalau ada saus di wajahnya…” ucap Pria itu lembut.
Hehehe…Rui…ngerakeun ih!
“Makasih…tapi baju kamu gimana?”
Lelaki itu langsung membuka satu persatu kancing bajunya. Dan melepas baju koko putihnya itu hingga akhirnya yang melekat di badannya adalah kaos berwarna coklat.
“saya pakai baju double, tenang saja…”
Lelaki itu memasukan bajunya yang terkena saus kacang itu kedalam tas punggungnya.
Hening. Tak ada perbincangan antara Rui dan lelaki itu. Melirik wajahnya saja Rui malu-malu apalagi setelah kejadian otak-otak tadi. Sudut mata Rui memperhatikan kalau lelaki itu sekarang sedang melepas pandangannya keluar. Lelaki itu berkemas-kemas dan berdiri keluar dari tempat duduknya.
“Akang!”
Lelaki itu menoleh pada Rui.
“Sekali lagi yang tadi itu…maaf ya.”
Dia hanya menjawab dengan senyuman lalu melangkah kedepan dan menyuruh sopir memberhentikan bus. Rui terus melihat lelaki itu hingga bayangannya menghilang dari penglihatan.
***
Seharusnya Rui turun berbarengan dengan lelaki tadi. Tapi dia ingin pergi ke toko buku dulu untuk membeli buku.  Sesampainya dirumah, Rui melihat kakaknya tengah mengobrol dengan…..
“Rui ini Agus, sahabat Aa yang  baru pulang dari Mesir.”
Aku …belum bisa memutuskan sebelum kamu pasti nggaknya sama kang Agus….
Mendengar nama itu Rui  teringat perkataan Rozi padanya dulu.
Jadi….lelaki di bus tadi adalah kang Agus