Rabu, 01 Juni 2011

GANTI YANG HALAL


Belum pernah jiwaku merasa sebebas ini. Terhempas, terbang, mengudara mengepakkan sayap semangat dengan ringannya. Aku telah terbebas dari perbudakan yang selama ini telah membelenggu diriku. I’m Free!
               Aku hanya akan setia pada prinsipku. Jiwa dan ragaku hanya akan kuserahkan pada orang yang tepat. Diujung sabar yang awalnya terasa pahit, pasti akan berbuah madu yang manis. Cintaku terlalu berharga bahkan sangat berharga untuk kuberikan pada  sembarang adam yang belum halal untukku. Teranglah sudah, tersingkap, tersibak, sudah jelas semuanya. Tak kan ada satupun nama yang ku eja diam-diam dalam hatiku. Ini adalah proses latihan yang keras. Allah sedang melatihku. Selama aku hidup, selama itu juga aku akan terus berlatih. Aku berlatih agar hati, jiwa dan imanku kuat. Aku sudah terbiasa. Sang pelatih tidak mungkin membiarkanku terjerembab.
               Diam. Biarkan aku diam. Meski tak semua jejak-jejak kenangan itu terhapus. Aku memilih bungkam. Aku adalah wanita bebas sekarang.
               Yang terfikirkan olehku adalah bagaimana agar aku bisa meningkatkan kualitasku. Menjadikan diriku merasa lebih berharga. Denga berkarya dan berprestasi. Dengan melakukan semua hal yang bisa membuatku merasa berharga. Dalam keadaan apapun aku berjanji akan selalu merasa ceria.
               Kau  hanya orang yang nyaris menggoyahkan prinsipku untuk… memberikan cintaku  kepada orang yang lebih berhak.
                Dengan lantang hatiku mengucapkan ikrarku ini dan langsung menatap lesu jalanan di depanku.  Jilbab dan seragam SMU ku  basah kuyup oleh guyuran hujan deras.  Tapi  tidak  bisa mengalahkan derasnya air mataku. Ku percepat laju scuter matic-ku. Aku harus pulang, aku ingin mama jadi orang pertama yang membuka amplop surat pengumuman kelulusan ini. Mama, hanya mama. Tapi…rem motorku? Ada apa dengan rem motorku?
***
               Kami  saling berangkulan. aku mencoba menenangkan hati Tiara yang tengah terombang ambing merasakan luka hatinya yang semakin menganga. Menghadirkan tangis demi tangis  yang tak kunjung reda hingga membuat tubuhnya bergetar oleh tangisnya itu. Sudah satu minggu ini Tiara  dirawat di rumah sakit karena sakit livernya.  Tapi yang lebih menyakitkan adalah sakit yang menjangkiti perasaannya sebagai perempuan.  aku meregangkan pelukanku dan kudongakan wajah Tiara dengan jemariku.
               “Selama ini aku telah dipermainkan olehnya. Aku nggak terima. Semudah itukah dia berpaling pada wanita lain. Ketulusan cintaku dibalas penghianatan!” Tiara menangis meraung-raung.
               “TUK!!!” aku menjitak kepala Tiara keras-keras hingga gadis itu meringis kesakitan.
               “Aduh!!!”
               “Hehehe….kayak pemain sinetron aja kamu Tie! Lucu-lucu. Ups! alamak keceplosan!?” Ejekku
               “Hiks, kamu jahat! Kamu ngga ngerti perasaanku.”
                Aku sedikit membuka mulutku. Tapi tertahan karena ada sesuatu yang tetap inginku sembunyikan.
               “Tiara dengerin aku. Kamu nggak gagal. Tapi hanya merasa gagal dan merasa jatuh. Hanya merasa? Ya, ternyata hanya merasa. Kamu sudah berlatih melangkah, mendaki dan sekarang hanya sedikit terkilir. Hehe…Cuma lecet kecil. Jubah malam masih membentang bukan? Pagi yang cerah masih tertawa dengan renyah bukan? Detak jantung dan hembusan nafas masih mengalun bukan? Masih terlukis indah senyum dibibirmu bukan?
               Nggak ada yang hancur kok. Tertawalah, tersenyumlah. Jika tangis adalah obat, maka menangislah. “
               “apakah aku harus mengubur hidup-hidup perasaanku pada kak Fajar…?”
               “Kuburlah hingga menyisakan nafas cinta yang tak halal untuk terakhir kalinya. Aku tahu  kak Fajar seperti apa orangnya.”
               “kenapa tidak kau katakan dari awal?” Tiara terperanjat
               “Karena aku pengin kamu berlatih Tie.”
               “Berlatih?”
               “Berlatih agar hati, jiwa dan imanmu kuat. Berlatih untuk lebih berhati-hati dalam menjaga cintamu. Tie…cintamu terlalu berharga untuk diberikan kepada lelaki yang belum halal untukmu. Berikanlah cintamu hanya kepada suamimu kelak.”
               “Kata-katanya kak Fajar begitu manis tapi mengandung bisa. Racun!”
               “Dari cerita yang aku dengar…ternyata modus operandinya sama. Huh dasar cowok nggak kreatif. Janji bakal nikahinlah, muji setinggi langitlah, ngaku belum pernah jatuh cintalah.”
               “Kok kamu tahu?”
               “Ada seorang gadis yang pernah jadi korbannya. prestasinya di sekolah menurun, nggak lulus ujian dan gagal kuliah di Yaman. Dia mengalami kecelakaan, koma dan kehilangan harapan untuk hidup. Bahkan pisau yang diriskan di pergelangan tangannya  tidak bisa menjadi penyembuh luka hatinya itu.  First love nya  tertuju pada orang yang salah.”
               “Ya Allah, tragis sekali. gimana kabar gadis itu sekarang?”
               “Dia menikah dengan dokter yang telah merawatnya mulai dari dia koma hingga sembuh kembali. Dia telah menemukan pangerannya sekarang. Menemukan ganti yang halal dan soleh…”
               “Dokter Andi?” Tiara menatapku. Matanya kembali berkaca-kaca.
***
               “Dik…dia nendang-nendang ya?”
               “Iya kang…haduh geli…”
               Setelah membacakan dua halaman surat Luqman dengan merdu di dekat perutku yang bergelombang besar ini, kang Andi langsung melakukan hobi barunya. Merasakan tendangan buah hati kami di perutku. Di siang yang taduh ini kami bersua di taman rumah sakit. Seusai memeriksa perkembangan kandunganku dan menjenguk Tiara, kang Andi mengajakku berjalan-jalan.
                He is my lovely prince. Pangeran yang   kutunggu-tunggu selama 3 tahun kini telah hadir di ujung sabarku. Allah telah menampakannya, menghadirkannya untukku. Hingga akhirnya mimpiku terwujud. Tak hanya sekadar bayangan, bukan lagi sosok yang dirahasiakan Allah…
               Kang Andi mengecup perutku dengan lembut dan kubalas kecupannya itu dengan usapan lembut di rambut lurusnya. Membiarkan kang Andi membenamkan wajahnya di perutku. Taman rumah sakit ini begitu sepi. Ketika mataku menyisiri sekeliling taman, pandanganku terhenti pada sesosok lelaki yang bersembunyi memperhatikan kami berdua di balik pohon dari kejauhan.
***
               Akang…apapun alasan di balik kebisuanmu. Di balik sikapmu yang tiba-tiba menjauhiku. Menjaga jarak dariku. Aku terima. Apapun alasanmu, pasti itu adalah keputusan terbaik untuk diri akang. Biarkan saja aku bertanya-tanya ihwal kenapa akang menjauh. Bosankah, bencikah, ada masalahkah?
               Aku ingin akang tahu satu hal. Aku tidak terbiasa memberikan perhatian yang berlebihan kepada lelaki. Sekali lagi, ini adalah dalam rangka menjaga kesucian hati dan kesucian diri.
               Akang…demi mamaku dan demi ummi akang, aku rela menjauh. Sebagaimana aku tidak mau melihat mama sedih melihat anaknya terpuruk  karena lelaki. Aku juga tidak mau ummi akang kecewa   ketika anaknya terpuruk hanya karena wanita. Jangan sampai ummi akang,  cahaya matahari dan bidadari akang redup karena akang gagal menempuh cita karena jeratan cinta. Dan karena godaan fitnah wanita…
               “Lia…seandainya suratmu ini datang lebih cepat….mungkin akulah orang yang akan duduk di dekatmu saat ini.”  Fajar meremas secarik kertas yang dia genggam. Menyembunyikan dirinya di balik pohon saat dia melihat Lia  melihat keberadaannya. Fajar terus meremas surat itu sebagaimana hatinya yang teremas-remas.  Menyesali sikapnya di masa lalu. 
               Lia dan Fajar menghela nafas dan memejamkan kedua bola mata mereka sejenak bersamaan. Membuka file kenangan kebersamaan mereka di masa lalu.
***
               “Jangan pernah lupa sama janji akang!”
               Rupanya kang Fajar sedang mengingatkanku pada janjinya. Janji yang dulu pernah ia ucapkan. janji itu. Janji yang hanya kami berdua yang tahu. Dan akan terus kucatat dalam ingatanku. Yang selalu kuingat dalam memoriku. Janji untuk menjemputku sebagai bidadarinya…
               “Janji apa coba?” tanya kang Fajar, mencoba mengetesku.
               “janji nraktir es krim?”
               “Bukan ah!”
               “Apa dong, Lia takut salah nebak nih?”aku pura-pura tidak tahu padahal aku tahu
               “Akang ngegendong Lia”
               Hah? Sejak kapan kang Fajar berjanji seperti itu?
               “Oh…janji ya! Kalau gitu Lia mau nurunin berat badan Lia dari sekarang. Supaya ringan. OK!”
               “Jangan, nggak rame kalau ringan mah.”
               “Susah gemuknya akang,  Lia mah makannya sedikit.”
               “makan batu aja coba.”
               “Akang tuh makan beling.”
               “Bukan…akang mah makan buaya.”
               “Nggak mau deket-deket ah! Takut di gigit.”
               “nggak paling dimakan!”
***

Menjauh dan dingin. Aku tak tahu kenapa kang Fajar berubah seperti itu. Terasa ada gurat kebencian yang dia perlihatkan padaku. Selama ini, pasang surut hubungan backstreet kami selalu terjadi. Aku tidak tahu apa yang sedang dia fikirkan. Aku hanya diam. Secepat itukah semua ini harus berakhir. Mencintai lelaki yang belum halal selalu berakhir menyakitkan bagiku. Kandas…musnah…
            Janji itu, masihkah terukir di cadas hatinya?
***
            “Terlalu banyak hati yang tersakiti. Dia memang lelaki yang hobi mempermainkan dan menyakiti hati wanita. Mudah berpaling pada wanita yang lain. Tapi katanya sekarang dia sedang menjalin hubungan serius sama Elma. Rencananya dua bulan lagi mau tunangan. Mudah-mudahan Elma bukan korban berikutnya. Biar tobatlah si Fajar itu. Dasar buaya!”
            Karena itu…karena itu kang Fajar menjauhiku. Karena itu…