
Harapanku telah tertuju pada Makhluk
halus kemarin, tapi telah tertuju pada Eci kini dan seterusnya. Aku tak
membutuhkan alasan mengapa aku harus berpaling dari makhluk halus pada Eci.
Akupun tak menanyakan kepada Tuhan mengapa takdirku tak sejalan dengan apa yang
kuharapkan. Karena suatu saat, aku pasti akan menemukan jawabannya. Aku tak
perlu menyibukan diri untuk menjelaskan perasaanku pada Eci. Walau kami telah
saling mengailkan jari kelingking, walau jemari kami telah saling menggenggam erat
dan kami selalu berjalan beriringan menapaki masa depan. Dari hasil goresan
penaku, tak banyak puisi dan kisah imajinasi yang tercipta tentangnya. Hanya cerita-cerita nyata yang sederhana
tentang kami berdua yang menyesaki berlembar-lembar buku diary-ku.
Atas segala kekeliruanku kemarin, aku
tak perlu menyalahkan siapapun bahkan diriku sendiri. Juga tak lagi mengukur
kebahagiaanku bersama Eci berdasarkan ukuran kebahagiaan orang lain. Tak
banyak ungkapan cinta yang ku ucapkan bila akhirnya malah tak mampu untuk
kubuktikan. Ketika aku butuh untuk memperlihatkan, aku hanya bisa berbuat dan
bereaksi untuk Eci. Cinta hanya sebatas ungkapan bagi orang yang tak mampu
memperjuangkan cintanya. Sementara aku hanya menjalani apa yang sudah kumiliki.
Tak ada yang kusesali walau
sebaliknya Eci selalu menyesali mengapa tak mengenaliku sedari dulu. Diriku
yang dia tahu adalah sosok gadis kecil di masa silam yang selalu melewati
rumahnya, yang selalu dia lihat berangkat mengaji menyeberangi sawah dengan
langkah-langkah kecilku dan kepalaku yang tertunduk malu-malu. Gadis kecil yang
jika dilihat dari kejauhan, seperti anak lelaki yang berjalan dengan langkah
gemulai, berkulit putih bersih. Hehehe….tomboy!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar