Sungguh…sangat sulit bagiku untuk memendam getarannya. Jemariku yang basah oleh keringat, tak berhenti meremas-remas rok panjangku. Aku sudah tak berdaya. Wajahku memanas menyusul warna merah merona yang semakin menjalar. Sementara leherku pegal karena hampir setengah jam menunduk dalam-dalam. Bingung! Bagaimana harus memulainya?
Selama berdiam diri di kamar, aku yang selama ini hanya bercengkrama dengan laptop, kanvas, buku dan pena. Kini harus berhadapan dengan sesuatu yang baru, makhluk bernyawa yang bisa tersenyum manis dan menjadi imam shalat berjama’ahku…
Dia benar-benar hidup…dia suamiku.
“Neng…?” serunya
Aku menatapnya dengan lirikan mataku yang berat.
“Neng sakit, dari tadi kulihat diam saja?”
Lebih cepat dari kedipan mataku, dia sudah merapatkan jemarinya di dahiku. Kurasakan buku-buku jarinya mengusap keringat dinginku. Jemari yang kekar dan hangat itu lalu menyusuri pipi dan daguku.
“Akang…apa yang bisa aku lakukan untukmu sekarang?” ucapku, setengah menggumam.
“Peluk akang…” ucapnya “Dekati akang…”
Pelan-pelan aku mulai membenamkan jemariku di punggungnya. Menenggelamkan kepalaku di dadanya yang bidang. Dia merengkuh kepalaku. Jemarinya menelusup di pinggangku.
“Jangan berkata apapun. Yang ku inginkan darimu sekarang adalah merasakan keberadaanku di sini. Merasakan kedekatanku di sisimu. Bahkan dekapan ini takkan pernah bisa mengukur dekatnya jiwa kita. Rasakan kalau jantung kita berdegub dalam hitungan detik dan irama yang sama. Pelukan ini bukanlah kedekatan yang sejati. Dekatkan jiwa dengan suara hati kita. Biarkan hati kita yang berbicara. Sejauh apapun kita terpisah, tapi hati kita tetap saling berbicara.
Aku memilihmu dengan satu keyakinan. Dan kau menerimaku dengan satu keyakinan. Keyakinan kepada Allah kalau kita memang pantas untuk saling memiliki. Kita pantas Allah persatukan dalam ikatan cinta yang halal nan suci. Jangan meragukanku, karena akupun tidak meragukan kesucian dan keutuhan cintamu. Aku tahu cintamu tersimpan rapat dan dipersembahkan dengan sempurna untuk diriku yang kini menjadi orang yang berhak mendapatkan cintamu. Neng…yakinkan bahwa Allah ada di balik semua ini. Allah ada di balik dorongan hatiku untuk memilikimu. Walau keraguan sempat menyusup dalam diriku. Membuat fikiranku berperang saat itu. Kita berada dalam dua dunia yang berbeda, mustahil rasanya kita bersatu. Aku yang dulu gankster, kamu yang dulu santri.”
“Akang anak gaul, semantar aku kuper dan kutu buku.” Sambungku.
“Aku mahasiswa Tekhnik, sementara kamu mahasiswa Tafsir”
“Akang jago buat puisi, sementara aku jago melukis.” Tambahku
“Aku yang senang balapan motor, sementara kamu senang menghafal Al-Qur’an.”
“Akang yang kini vokalis band, sementara aku guru ngaji. Satu hal yang sama…kita saling mencintai.”
“Tapi aku sangat kecewa padamu!”
Aku melepaskan pelukanku.
“Cintamu tak seutuhnya orisinil! Dan pernah terbagi untuk lelaki lain sebelum diriku.”
“Maksud akang?”
“kamu pernah naksir sama teman sekelasmu yang KM itu kan, lalu kamu diam-diam menggambar wajahnya, membuat banyak cerpen tentangnya, membuat novel yang terinspirasi dari kehidupan dia dan menghadiahi dia mushaf Al-Qur’an! Dasar!! genit sekali dirimu.”
Senyumku merekah indah
“Heh! Kenapa senyam-senyum!” ucapnya sangar
“Diakan akang sendiri…tapi, kok akang bisa tahu?”
“Aku suka membaca web-blog kamu, dari situ terjawab sudah segala teka-teki tentang dirimu. Termasuk perasaanmu itu…”
“Mau ku ceritakan dongeng sebelum tidur?” tanyaku
“Hehehe…boleh juga tuh.”
Suamiku mengajakku berbaring dan membentangkan lengannya untuk menjadi bantalan kepalaku.
“Suatu sore, kendaraan silih berseliweran di depanku yang sedang menunggu celah untuk menyeberangi jalan raya kota Karawang. Aku harus pulang cepat, aku harus mengejar bus ke kota Purwakarta. dan ketika aku hendak menyeberang…sosok sang KM melintas cepat dengan motornya di depanku. Menyadari keberadaanku, dia tersenyum dan melambaikan tangan sambil terus melaju dengan motornya.
Dia masih tetap berswiter coklat, tetap berhelmet biru dan tetap berwajah dingin, sangar seperti dulu. Meski hanya kebetulan, tapi aku yakin Allah sudah mengatur pertemuan ini. Meski dulu aku menaruh sayang padanya, tapi aku tak berani untuk berharap. Hanya Mushaf Al-Qur’an kecil yang kutinggalkan untuknya. Setidaknya dia bisa mengingatku, walau sesaat dalam hidupnya, walau sedetik dalam rangkaian perjalanan hidupnya
Masih membekas, semua terasa berjalan pelan, sang KM yang melintas dengan cepat bersama motornya di depanku. Setelah dia, aku tak memberanikan diri berharap pada lelaki manapun lagi. Cintaku yang sederhana dan bisu, menghampiriku lagi..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar