Satu tahun? Menunggu ketidakpastian selama satu tahun? Menunggu dan memikirkan seseorang yang bahkan dalam waktu satu tahun ini sama sekali tidak tahu kalau aku siap untuk hidup dengannya? Jadi satu tahun ini aku telah menunggu sebuah ketidak jelasan. Mengumpulkan rasa pada orang yang kuharap menjadi satu-satunya orang yang berhak mendapatkan rasa cintaku. Orang yang kuharap menjadi imam dalam hidupku. Dan orang yang akan menjadikanku sebagai ustadzah dalam keluarga yang akan kita bina.
Dari pada terlahir kembali rasa sakit yang baru, lebih baik aku lupakan saja dia. Kubunuh kembali perasaanku. Seperti yang sering ku lakukan dulu. Membunuh perasaan yang ditujukan pada orang-orang yang tidak menyambut cintaku. Yang mengecewakanku. Lalu aku kembali mengutamakan akal dan logikaku daripada perasaanku.
Ada sedikit rasa kecewa pada kak Yana yang satu tahun lalu menawarkan dia padaku. Dan juga menawarkan aku padanya. Berharap hubungan persahabatan kak yana dengannya berubah menjadi keluarga jika aku bersanding dengannya.
Mencoba untuk tidak mengulang kesalahan yang sama aku menahan diri untuk bertanya terlalu banyak tentang dia. Mengumbar cerita tentangnya pada orang lain, menahan diri untuk tidak membuka profilnya di facebook. Diantara orang yang nyaris menyentuh hatiku, hanya cerita tentang dia yang sama sekali tidak kutulis dalam diary-ku. Sama sekali tidak tercantum namanya dalam diary-ku. Tak ada kisah tentang diriku dan dia dalam diary-ku. Tak ada gambar wajahnya yang menghiasi buku sketsaku. Hingga akhirnya dia meng-add aku lebih dulu. Menyapa salam lebih dulu saat tak sengaja kami cathing dan online di waktu yang bersamaan. Sering mengomentari statusku dan mentag aku di salah satu fotonya.
Semua hal kecil itu adalah keajaiban bagiku. Membuatku tersenyum-senyum sendiri saaat membaca komentarnya yang singkat. tapi lebih senang lagi ketika dia memberikan komentar yang panjang. Hal-hal kecil itu membuatku mengumpulkan segenap keberanianku untuk menandai dirinya dalam salah satu catatanku. Agar dia membaca cerpenku. Ketika aku tahu kalau dia sangat peduli pada muslim Palestina, aku langsung membuat sebuah cerpen, lalu ku copy di catatan facebook dan kutandai namanya. Fostingan cerpen terbaruku: Sepenggal Kisah Cinta di Palestina.
Jauh dari anggapan bahwa facebook itu lebih banyak madorotnya, sebaliknya aku selalu merasa pintar dan bertambah pintar setiap membuka facebook. Karena akhirnya, setiap online aku selalu membuka profilnya dan membaca status-statusnya yang selalu berisi nasihat agama. Statusnya selalu bermanfaat, selalu membuatku merenung. Dia selalu membawa kabar gembira dari Al-Qur’an lewat statusnya. Setiap satusnya yang kubaca adalah Ayat-ayat al-Qur’an yang di tafsirkan oleh kata-katanya yang sederhana, bersahabat dan menyentuh. Selama satu tahun itu aku menimba ilmu padanya. Tapi dalam satu tahun itu, aku sama sekali tidak pernah mengomentari statusnya. Aku masih tetap menahan diriku. Satu-satunya pesan yang kukirim di dindingnya hanya satu.
“Thanks for add. . .”
Tanpa seijin dia aku mengcopy semua catatannya. Dan kusimpan dalam folder khusus di laptopku. Tapi lagi-lagi tak ada satupun catatannya terdapat komentarku. Selalu ku lihat apakah dia menulis catatan baru atau tidak. Di beranda yang ingin kubaca hanya statusnya. Sekali lagi hanya statusnya. Sampai aku hapal jika dalam satu minggu tak kutemukan statusnya, berarti dia sedang sibuk.
Begitulah, dalam satu tahun aku hanya mengenalnya lewat facebook. Bahkan kak Yana sendiri sama sekali tidak bercerita banyak tentangnya. Kakakku itu hanya menyuruhku untuk beristikhoroh. Dan menasihatiku kalau jodoh tak akan kemana. Hanya itu! Tapi memang lebih baik seperti itu, mungkin kakakku juga tidak mau konsentrasi belajarku terganggu atau dia sendiri tidak mau melihat adiknya ini kembali kecewa karena lelaki. Dan karena terlalu menumbuhkan harapan pada lelaki. Para lelaki yang semuanya berkacamata. Sehingga membuatku trauma dan tidak menyukai setiap lelaki berkacamata.
Tapi sekarang masa satu tahun itu sudah habis. Sudah habis. Dia sudah pulang dari Mesir dan sekarang telah berdiri di depanku yang duduk di barisan kursi paling depan mendengarkan dirinya yang sedang menyampaikan ceramah mata kuliah pengantar Studi Islam. Di mataku, sekarang dia menyandang status sebagai teman di facebook dan dosenku. Tak lebih.
“ada yang mau di tanyakan?” tanya dia pada semua mahasiswa semester tiga jurusan tafsir hadits di ruangan ini.
Aku selalu tidak rela mahasiswa lain mendahuluiku bertanya. Aku bertanya dan terus bertanya. Jika ada materi yang kurang jelas aku selalu harus bertanya. Dan tetap tidak puas bertanya. Hingga mungkin di matanya aku berstatus teman di facebook dan mahasiswanya yang aktif.
Hingga ketika dia selesai menjawab semua pertanyaanku dengan jelas. Kali ini giliran hatiku yang bertanya. Apakah kau tahu kalau aku siap menjadi pendampingmu? Kapan status ku di facebook dari yang tadinya berteman berubah menjadi : menikah dengan Salman Al-Farisi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar