Senin, 28 Februari 2011

MENATAP MATAHARI DAN CINTA


 

“Menjaga perasaan kepada lawan jenis merupakan kunci kesuksesan seseorang agar terpelihara harga dirinya. Meskipun sama-sama saling menyukai, apabila merasa belum siap untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan, hendaknya perasaan itu kita tutup rapat-rapat.”
Seperti biasa Pak Haji Anwar memberikan nasihatnya dalam pengajian kitab Hikam di pagi hari itu.  Mengkaji kitab Hikam bersama pak kyai di Jumat pagi memang sudah jadi rutinitas para ustadz dan ustadzah di pesantren ini. Namun, bagi Rozi pengajian ini tidak hanya sekedar pengajian biasa . Tapi kesempatan berharga di mana Rozi bisa men-charger – kembali spirit keimanannya. Hari jumat telah menjadi hari mutiara bagi Rozi. Mutiara yang terus memancarkan sinarnya di hari-hari berikutnya.
“Meskipun kita tahu, keduanya sebenarnya saling mengharapkan. Di saat seperti ini, segala bentuk qorinah atau tanda, apakah itu berupa perhatian, pemberian, dsb, hendaknya kita maknai dengan pemaknaan yang sewajar-wajarnya.
Seseorang yang mengumbar perasaan cintanya, hanya akan menjadi bahan gunjingan orang-orang di sekitarnya. Apakah hubungannya itu dapat berlanjut ke jenjang pernikahan, maupun apabila hubungan tersebut gagal menuju tangga pernikahan, sama-sama merupakan sumber gunjingan yang paling enak.
Di sisi yang lain, menyimpan perasaan kepada lawan jenis yang begitu mendalam akan merusak jiwa seseorang, karena ingatannya tidak bisa lepas darinya. Alangkah baiknya apabila kecenderungan tersebut segera kita wujudkan dalam bentuk ikatan pernikahan”

Rozi mendengarkan dengan takdim nasihat yang diberikan Pak Haji Anwar  Nasihat yang terasa khusus di tujukan kepadanya. Nasihat yang serasa menjadi sebuah solusi dari kekalutan dan kebingungan yang sekarang tengah dialaminya. Sementara di sudut tempat duduk yang lain, terlihat Rui yang menunduk dalam-dalam sambil mencerna dan meresapi petuah pak Haji Anwar. Rui duduk di bangku paling depan. Sementara ustadzah yang lain lebih memilih duduk memenuhi jajaran bangku paling belakang. Beberapa saat kemudian, Asih datang dan duduk di sebelah Rui. Ustadzah yang satu ini mempunyai kesukaan yang sama dengan Rui. Sastra.
Asih melihat Rui  sekilas, melihat diri Rui yang sedang memelas. Melihat diri Rui yang tenggelam dalam fikirannya sendiri.
“Nur boleh minta kertas, “ bisik Asih pelan
“Boleh.” Lamunan Rui mendadak buyar.
Rui melihat Asih yang sedang menulis sesuatu di kertas itu. Setelah selesai, kertas itupun langsung Asih sodorkan sembunyi-sembunyi pada Rui. Dan Rui membacanya.
“Menjelma menjadi sosok yang tegar
Atas kepedihan hati ini
Relung batinku menjerit dan meronta atas goresan yang pedih
Mencoba berlari bersama serpihan hati yang tercecer dengan sebuah kesabaran…
Aku tertatih-tatih kembali menatap matahari dan cinta.”
Air mata Rui meleleh, Rui merasa itu puisi untunya. Rui telah mengecap setiap untaian kata dalam puisi yang di tulis Asih.
Tanpa aku ceritakan segala asa di hati ini padamu
Ternyata kau sudah tahu hanya dengan menulis puisi hati ini
Kau wakilkan segala yang kurasa selama ini
Tapi jangan bertanya kenapa aku menangis
Karena otomatis pertanyaan itu membuat mulutku terkunci untuk menjawabnya
Mataku menjawab semuanya
Rui menyodorkan balasan puisinya pada Asih, kembali Asih menulisi kertas itu dan membalas puisi Rui.
“Jika kamu tak bisa membuka mulutmu
Teruskanlah menangis
Tetesan air matamu telah menjadi
Wakil semua celotehanmu itu
Aku sebagai sosok baru di dalam kehidupanmu, tak bisa menyelami sifatmu
Aku hanya bisa berharap engkau tersenyum dan bisa tetap tabah dengan goresan takdir-Nya”
Rui.
Biarkan aku membuat dukaku hanyut bersama sungai kecil yang mengalir di pipiku
Karena aku sudah terbiasa.
Asih.
“Dukamu bukan hanya kamu yang merasa
Semua insan pernah merasakan dukamu
Hey kawan, aku yakin kamu sosok muslim yang tegar atas semua cobaan
Cobalah sedikit raba hatimu, usaplah hatimu dengan cinta-cinta-Nya….”

***

Tak biasanya Rui harus menunggu bis jurusan Karawang selama ini.  Setiap bus yang lewat selalu saja bukan jurusan Karawang. Sementara hari sudah berbalut warna jingga bercampur merah kepekatan.
“Kok Primajasa jurusan Karawang nggak muncul-muncul sih!”
Rui terus menunggu. Lalu mendudukan dirinya di bangku sebuah warung kopi yang ada di pinggir jalan Raya. Rui terus menolehkan kepalanya ke sebelah kanan.  Namun lagi-lagi bus yang Rui tunggu tak kunjung kelihatan.
“Ayolah bus…aku di buru waktu nih…”
Rui menunggu sambil mengamati tempat di sekitarnya. Rui sangat senang mengamati setiap gerak-gerik orang. Berbaur di tengah kerumunan orang dan mendengar celotehan mereka.
Menuangkan pengamatannya ke dalam catatan kecil yang selalu jadi sahabat setianya. Mobil yang berlalu lalang, bus yang tak kunjung datang, topik obrolan tukang ojek di kios. Obrolan tentang Gayus tambunan, tentang Irfan Bachdim, tentang hewan terunik di dunia, tentang demonstrasi menentang pemerintahan presiden Housnie Mubarrok, Tentang gaji presiden SBY, tentang kontroversi film Jupe dan Depe.
Hingga akhirnya Rui mengamati sesosok lelaki bertubuh tinggi dengan kemeja kuning kotak-kotak tengah berjalan kearahnya dari kejauhan. Sinar mata, rambut hitam bergelombang dan cara berjalannya sangat Rui kenal. Cara berjalan yang tidak berubah sejak sepuluh tahun yang lalu. Cara berjalan yang cepat namun tenang. Itulah Rozi. Dan dalam hitungan menit, sosok Rozi kini sudah berdiri di hadapan Rui.
“Rui…” panggil Rozi
“Akang?”
“Ada yang harus kita bicarakan…” ucap Rozi tanpa basa-basi
Sebenarnya Rui sedang di kejar waktu untuk pergi ke Karawang. Dan dari kejauhan bus jurusan Karawang sudah hampir mendekatinya. Namun Rui enggan berkata tapi pada Rozi. Akhirnya Rui merelakan mobil bus itu lewat begitu saja.
“Apa kang?”
“Nanti saja, takut mobil busnya lewat.”
“Memang barusan udah lewat!”
“Oh, maaf…aku tidak bermaksud mengganggu perjalan kamu.”
“ Dari kemarin akang selalu bungkam. Akang bilang mau bicara tapi selalu saja ditunda-tunda.”
“Berat aku mengatakannya…”
“Akang, jangan pernah ragu untuk membicarakan semua unek-unek di hati akang. Jangan ragu menceritakan semua masalah akang. Terutama masalah akang dan aku.”
“Rui…Menanti adalah sesuatu yang kurang menyenangkan.” Sejenak Rozi menghela nafas panjang.
“Iya, hehe kesal juga 30 menit nunggu bus, tapi nggak dateng-dateng.”
“Bukan itu…”
“Lalu?”
“Masa depan adalah misteri, Rui. Aku mau kamu jangan terlalu menanti kedatanganku. Jikalau nanti ada yang datang padamu dan itu baik, kenapa tidak. Tapi aku juga akan tetap menjaga niat itu. Niat untuk menjemputmu dan menjadikanmu bidadariku. Mudah-mudahan kita ditakdirkan saja untuk bersatu.
Dari sekarang, aku berharap kamu jangan terlalu larut dalam penantian. Dan aku juga tidak larut dalam janji-janjiku. Aku harap kamu tidak lagi menantiku agar  aku dan kamu tidak terbebani dan bebas memilih yang terbaik.
Rui…aku mau belajar menjadi orang yang baik. Aku harap kamu tidak menemuiku atau menghubungiku lagi. Sekarang kita menapaki jalan kita masing-masing.”
Terasa sangat menohok, menghujam ke dalam palung hati Rui. Meskipun Rui sadar selama ini setiap apa yang di putuskan oleh Rozi dan kata-katanya selalu menjadi keputusan yang terbaik dan bijak. Tapi kali ini, keputusan Rozi tak ubahnya jarum suntik yang tajam menusuk-nusuk. Sakit awalnya, tapi ini demi menyembuhkan jiwa dan iman mereka berdua. Demi mencegah kerusakan jiwa dan iman mereka. Menghindarkan kerusakan yang diakibatkan fitnah dan godaan syethan. Tidak memberi celah bagi syethan untuk tertawa. Inilah…inilah hasil dari Istikhoroh Rozi dan hasil dari Istikhoroh Rui. Selesai sudah. Inilah jawaban dan kepastian istikhoroh mereka berdua.
Dulu, Ruilah yang meminta Rozi untuk berhenti mengganggunya. Sekarang Rozi dengan kesadarannya meminta Rui untuk tidak menghubunginya. Rui memang mengharapkan kepastian. Sekarang, dengan kesadaran masing-masing mereka mencoba untuk menjauh. Mencoba meregangkan jalinan hati yang sudah membelit dengan kuat. Melepasnya sedikit demi sedikit. Dengan perlahan dan membutuhkan proses yang panjang.
Mereka sadar, nafsu selalu menuntut kesenangan. Tapi kebenaran selalu terasa pahit dan menyakitkan, padahal itulah yang telah menjadi  keputusan Allah.
Sepertinya Allah telah mengeringkan sumur air mata Rui dan Rozi. Tak ada ratapan yang bergemuruh di dalam dada mereka.
“Akang, untuk terakhir kalinya…ijinkan aku melihatmu punggungmu saat kau sedang berjalan menjauhiku hingga bayangan tubuhmu hilang di ujung penglihatanku.” Rui berbicara setengah menggumam.
Assalamualaikum…” ucap Rozi sembari menganggukan kepalanya pelan.
Wa’alaikum…salam…”
Setelah mereka puas dengan saling melempar senyum. Dan saling menatap dengan tatapan mata yang berkaca-kaca meskipun kembali menundukan pandangannya ke bawah, Rozi melangkah pergi. Menyebrang jalan dengan langkah yang terasa berat. Sementara Rui tetap diam mematung di tempatnya. Meremas kuat-kuat ikatan tas punggungnya.  
Rozi sudah berada di seberang jalan. Dan menyusuri sebuah gang kecil menuju pesantren. Tanpa sedikitpun berpaling ke belakang. Sambil berjalan, Kembali hati dan ingatannya menggumamkan sebuah puisi karya seorang ulama ahli fikih di kalangan tabi’in, Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud. Ulama yang pernah jatuh cinta sebagaimana diri Rozi yang juga tengah jatuh cinta pada Rui.

Aku simpan cintaku sehingga engkau menderita karena sikapku
Mereka mencelamu dan celaan mereka adalah aniaya
Musuh-musuhmu menghasut
Engkau mencintai dan telah menjadi bahan gunjingan
Tak ada manfaatnya menyimpan cinta
Engkau bagai harimau betina yang mati kepayahan
Pada bekas tapak Hindun atau bagaikan bibir yang sakit
Aku menjauhi kekasih karena takut dosa
Padahal menjauhi kekasih adalah dosa
Rasakanlah bagaimana (rasanya) menjauhi kekasih yang kau sangka
Bahwa itu tindakan bijaksana padahal mungkin itu bohong

Jauh sekali Rozi berjalan dan melangkah dengan tenangnya. Sementara di sebrang jalan, Rui berdiri memperhatikan punggung Rozi. Menunggu penuh harap agar Rozi menoleh dan membalikan badannya kebelakang. Rui terus menunggu dalam detik ke detik. Dan ketika hitungan detik itu belum genap menjadi satu menit. Tampak Rozi menoleh kebelakang . hanya menoleh dan melihat Rui yang mematung memperhatikannya sedari tadi. Menoleh dengan wajah yang kaku dan tanpa ekspresi. Lalu kembali melanjutkan perjalanannnya.
Rui merasa takjub dan tersihir. Rui yakin kalau harapan yang suci itu masih terbenam dalam-dalam di lubuk hati Rozi yang terdalam. Rui melangkah dalam diri yang masih terhipnotis oleh mimpi dan harapan yang menyelimuti hari-harinya. Rui ingin mengejar Rozi. Meyakinkannya kalau bagi Rui penantian bukanlah hal yang tidak menyenangkan. Bila akhirnya harus kecewa, Rui pasti berlapang dada. Rui masih ingin hidup berbalut mimpi dan harapan. Bagi Rui tak ada jeleknya hidup dalam harapan dan dalam penantian. Karena satu-satunya yang Rui harapkan adalah Rozi. Karena satu-satunya yang Rui nantikan adalah Rozi. Rui ingin tetap hidup berbalut mimpi indah. Harapnya, penantiannya adalah bagian mimpinya. Berhenti mengharapkan Rozi, berhenti menanti Rozi sama saja dengan berhenti bermimpi. Dan berhenti bermimpi, sama saja dengan berhenti hidup…
Langkah Rui  Nampak tergesa-gesa. Dalam suara hatinya yang tak hentinya menjerit. Tiba-tiba bermunculan suara yang mengejutkan, suara jeritan klakson mobil truk besar yang sudah ada di hadapan Rui, suara teriakan pengendara mobil, suara teriakan orang-orang di pinggir jalan. Lamat-lamat terdengar ditelinga Rui suara teriakan Rozi.
“RUIII….AWAS!!!!”
Sudah tak ada kesempatan untuk  menghindar. Yang Rui rasakan sekarang adalah sekujur tubuhnya yang terpental, tubuhnya yang terasa remuk, tubuhnya yang terpelanting ke pinggir trotoar, tubuhnya yang pekat dan basah oleh darah, warna dunia yang berubah  gelap. Denyut nadi yang pelan, hembusan nafas yang tersengal-sengal dan hangatnya air mata yang membanjiri wajahnya.  Semuanya menyatu mengumpulkan satu tanda tanya dalam batin Rui.
Inikah saatnya…?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar