Minggu, 06 Februari 2011

Mentari yang Menghangatkan Jiwa


Ada banyak mentari yang menyinari hidup ini. Tapi hanya satu yang bisa memberikan kehangatan pada jiwaku. Dia jelmaan bidadari yang diturunkan Tuhan dari surga untuk menemaniku. Dia wakil Tuhan untukku. Dialah mentari yang cahayanya selalu menghangatkan jiwaku…
Ibu… sebenarnya sihir macam apa yang telah kau gunakan hingga bisa membuat  anakmu  menjadi seperti ini. Meski ayah sudah tiada, kau bisa membuatku tumbuh dan besar hingga bisa menjadi lebih baik dari orang lain. Sihir macam apa ibu, keajaiban macam apa yang telah kau ciptakan…?
“ Dhika!!!!”
Dalam hitungan detik jemari ibu yang lembut sudah meremas daun telingaku dan memelintirnya sampai memerah. Badanku langsung mengejang seperti terkena sengatan listrik. Pasti bukan hukuman seperti ini yang akan kudapatkan seandainya aku tidak melakukan kebiasaan jelekku bersama 2 orang sahabatku itu. Iwan dan Hendra. Dasar dua bocah Pembawa kesesatan!!
“Pulang sekolah itu bawa ilmu! Bukan bawa baju kotor.”
“Aduh…ampun Ummi…”
“Badanmu juga bau begitu! Saking baunya Ummi tidak bisa membedakan mana anak Ummi dan  mana kerbau!”
Hujan deras sepulang sekolah dari MTs Nurul Falah yang jauhnya naudzubillah itu membuat aku, Iwan dan Hendra harus rela kehujanan. Kami berlari melesat menyusuri jalan berbatu penuh lumpur yang licin. Menyusuri pesawahan, rimbunan hutan bambu lalu menyusuri sawah lagi dan memang begitulah seharusnya jika kami berangkat ataupun pulang sekolah. Jika pulang terlalu sore kami sering berlari ketakutan karena sepanjang perjalanan kami melewati hutan bambu yang tidak didapati rumah satupun. Bila pulang kehujanan kami selalu bermain perang-perangan dengan saling melempar lumpur, atau pun kotoran-kotoran kerbau dan sapi yang di colek terlebih dahulu dengan batu. Lalu tanpa ampun kami melemparkan kotoran-kotoran itu sekuat mungkin. Payahnya Hendra selalu menangis karena tidak rela bajunya terkena kotoran kerbau. Anak nelayan sejati ini memang sahabatku yang paling lamban dan cengeng. Mungkin postur tubuhnya yang gendutlah penyebab kelambanannya itu.
Kami Warkop Jatiwangi. Begitulah semua orang di kampung menjuluki kami. tiga orang siswa MTs angkatan pertama yang terlahir dan besar di tengah masyarakat kampung yang masih kurang peduli terhadap pendidikan. Lulusan SD di kampungku hanya bisa menggantungkan mimpi dengan bekerja sebagai buruh bangunan di Jakarta atau merantau ke Kalimantan, Sumatera dan tempat lainnya. Tapi hanya kami yang benar-benar tidak tergiur untuk bekerja dan menyerah begitu saja pada kehidupan. Kami masih menggenggam kuat-kuat mimpi kami. 3 tahun kebersamaan kami sering di habiskan dengan mengaji, sekolah,  bertualang, bermain, panas-panasan, perang-perangan kotoran kerbau, balapan lari, manjat pohon jambu dan makan buahnya sampai kenyang, bermain bola, mandi di air terjun, diam di rumah pohon, ngaliwet bersama, menjelajahi danau, berenang di tengah danau, di telanjangi hingga swempak nyangkut, mencari ikan dan masih banyak lagi…
Sama halnya dengan anak-anak di kampungku kebanyakan, ketika waktu subuh merambati hari,  aku sudah harus melawan dinginnya udara  di  danau  dengan menangkap ikan. Kegiatan ini berlangsung hingga jam delapan. Lalu siangnya aku baru bisa berangkat sekolah. Dengan berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer.  Hmmm…masa kecil yang sangat kurindukan itu kini telah melesat berlari seiring kedewasaan usiaku.
Hujan telah membuatku terhanyut dan mengingat kembali masa-masa itu. Bila rasa putus asa mencekik jiwaku, banyak masalah, atau hal apapun yang membuatku resah. Maka obat penyembuhnya ketika aku mengingat dan merindukan ibu dan adik-adikku.  Tak ada pengobat yang lain. Hanya ibu dan adik-adikku.
Lalu, di manakah Iwan dan Hendra  sekarang. Bagaimana keadaan Hendra di seberang pulau Jawa nan jauh di sana. Lalu sudah tinggikah ilmu agama yang Iwan peroleh di pesantren? Lalu teman-temanku MTs?
Tapi yang terpenting adalah ibu. Bidadariku. Mentari yang cahanya selalu menghangatkan jiwaku. Aku lahir dari seorang ibu yang berkuah peluh, berdarah-darah, meregang nyawa setelah masa panjang. Betapa payah, letih dan lelah ibuku selama ini takkkan pernah terganti. Bahkan akupun tak sanggup menakar air mata ibu yang telah berderai. Tapi aku bisa menemukan makna setiap bulir bening di kedua pelupuk mata itu. Tangisan yang terbaik hanyalah tangisan ibu. Tangisan terindah adalah air mata  ibu yang meleleh jatuh karena anaknya yaitu aku.
Sebelum aku pergi jauh dari ibu demi menuntut ilmu, ibu membekaliku dengan bekal yang baik dan nasihat terpuji. Aku melihat bagaimana saat itu ibu berlinang air mata. Melihat bagaimana sebuah ketulusan terpancar dari bening bola matanya. Ku reguk ruh suci, ruh kasih sayang, ruh cinta, ruh ketulusan ibu yang memancar menerangi semesta hidupku.
Aku melihat di wajahnya ada gurat-gurat ketuaan, ada tapak-tapak  kelelahan, tetapi ruh kasih sayangnya itu menyelimutkan keagungan. Aku meminta ibu berbicara. Meminta ia mengucapkan sesuatu, kendati lebih sering isak tangis yang terdengar. Tapi ibu tetap bisa meredakannya dengan kemulyaan, meneranginya dengan kejujuran, kekuatan ibuku adalah ketegarannya. Lalu Ibu berbicara dan aku merasakan dimana setiap kata yang berjatuhan dari lisannya bagaikan permata. Aku mendengarkannya dan tidak membiarkan setiap kata-katanya berserakan. Mengumpulkannya menjadi pusaka.  Nasihatnya takkan  tertukar oleh apapun di dunia.
. “Kau permata hati ummi, kau anugerah terindah bagi ummi. Kau adalah tawa di saat susah, kau adalah senyum ummi di waktu sedih, kau adalah harapan ummi di saat kecewa, kau adalah ramai ummi di waktu sepi, kau cairkan hati ummi di tengah kekakuan, kau adalah canda ummi di tengah ketegangan, tapi juga kau adalah tangis ummi di suatu waktu yang sebenarnya tak ummi inginkan…”
Ummi, di sini aku selalu di sesakkan oleh kerinduan yang teramat sangat padamu. Kerinduanku benar-benar sangat menyesakkan dadaku. Aku rindu cubitan kecil, timang sayang, suapan hangat, usapan lembut, tepukan di pantat, dan pandangan bahagiamu melihat kelucuan anakmu. Semua itu benar-benar tiupan lembut nafas cinta. Tiupan yang telah mengantarku ke gerbang kedewasaan. Meninggalkan rangkaian masa kanak-kanak berlari menuju kedewasaan. ibu adalah nafas lembut yang memekarkan kuncup menjadi bunga.
Dan tahukah kau ibu, kini ada sosok bidadari lain yang telah hadir tanpa seijinku. Ada mentari lain yang selalu mengganggu jiwaku. Tapi dia tidak mau menyaingi kehangatan kasih sayangmu. Dia yang tidak ingin mengalahkan cintamu. Dia  yang ingin agar hanya engkau satu-satunya bidadari yang lebih kucintai. Dia yang selalu menyaksikan tangis kerinduanku padamu. Lalu menenangkanku, memintaku untuk memejamkan mataku dan membayangkan keberadaanmu di sampingku. Bernafas dalam dekapanmu. Merasakan hangatnya tubuhmu, tetesan air matamu dan untaian kata-kata cintamu. Hingga aku membisikan setiap desah kerinduanku pada bayang-bayangmu yang telah hadir di sampingku.  Menghantarkanku ke alam mimpi dan bertemu sosokmu yang nyata dalam mimpiku…( Ui )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar