Selasa, 24 Agustus 2010

2. I must Keep This Hidayah

It’s Really borried. Benar-benar sangat membosankan!!! Bagaimana prestasi seorang pelajar di ukur hanya dengan mengerjakan soal-soal science, matemathic, etc. berjumlah 150 soal dalam waktu 120 menit. Aku sama sekali tidak punya ambisi untuk memenangkan kompetisi ini.
Bersama temannya Bintang, Sabila di utus sekolahnya untuk mengikuti seleksi siswa berprestasi tingkat Provinsi Jawa Barat.
Jujur dalam hati aku seneng banget di percaya sekolah untuk ikut kompetisi ini. Kesannya aku tuch jadi kayak anak jenius gitu….hehehe.
Sabila juga penasaran sekali bagaimana seleksinya. Karena menurutnya ini adalah even yang sangat bergengsi jadi berbeda dari hari biasanya…
Aku mengawali hari dengan sarapan Bubur ayam ( gak ngaruh ) ya agar otakku lebih ternutrisi, abis tiap hari sarapannya bakwan mulu sich.
Akan tetapi jiwanya seakan menghilang, ketika ternyata Sabila hanya duduk diam selama dua jam tenggelam dalam samudera soal-soal yang agak sulit.
Cuma sosial dan pengetahuan umum aja sich yang gampang abis…!!
Yang Sabila cintai sepenuh hatinya adalah berteriak lantang di podium. Menyuarakan isi pidato atau berorasi. Sampai Sabila terbatuk-batuk, sampai suaranya habis dan serak. Saat itulah Sabila menemukan jiwanya yang sesungguhnya. Jiwanya yang tersembunyi. Selain itu, yang Sabila cintai adalah menumpahkan seluruh emosi dan segudang ide di otaknya dengan menulis. Menciptakan cerita baru atau wacana baru. Lalu, membuat pensilnya menari di atas kertas untuk menciptakan sebuah gambar yang di lahirkan oleh imajinasinya yang liar.
Sabila terus membayangkan suatu saat ketika dia bersuara lantang menyuarakan kebenaran dan keadilan di tengah-tengah ruang pengadilan sebagai penuntut umum! Sampai akhirnya semua orang diam membisu. Sang terdakwa menunduk ketakutan. Pengacara berdiri gemetaran. Dewan hakim terpana, sehingga mereka tidak mau melewatkan satu katapun yang keluar dari mulutnya. Sabila menghayal!? Tidak. Ini mimpinya yang pasti terwujud. Kegiatan ini benar-benar menghambatnya untuk segera menamatkan bacaan novelnya “ THE TOUSANDS SPLENDID SUNS” Sabila ingin cepat-cepat keluar dari tempat yang menurutnya menjemukan itu.
Sabila lebih memilih duduk di kelasnya tercinta. Menemukan kekonyolan baru yang diciptakan oleh teman-temannya. Melayani teman-teman yang ingin membeli kue-kuenya. Membaca novel sembunyi-sembunyi saat guru menerangkan dan tenggelam dalam damainya Shalat Dluha.
***
“Perempuan dianggap sebagai pihak yang mempropokasi kekerasan. Misal, dalam kasus perkosaan perempuan dianggap yang memberi rangsangan karena pakaian yang ia kenakan. Paling standar, orang akan bertanya memang apa yang kamu lakukan sehingga kamu dipukul. Ini adalah pencitraan yang salah terhadap perempuan. Pakai jilbabpun korban masih tetap ada. Kenapa pertanyaannya bukan siapa laki-laki kurang ajar yang telah melakukannya?”
Saat Sabila masih belum puas menyampaikan argumentasinya, hampir semua orang yang hadir dalam acara diskusi seputar ‘wanita dalam pandangan Islam’ itupun langsung memberikan aplause padanya. Begitu pula dengan para aktivis dakwah sekolah lainnya yang tergabung dalam organisasi Forum Silaturahmi Rohis tingkat wilayah Jawa Barat.
Tapi Sabila tetaplah Sabila yang tidak pernah merasa puas lantas berbangga hati pada setiap keberhasilan yang diraihnya. Sabila tidak menyadari bahwa ada seorang lelaki berkacamata yang sedari tadi terus memperhatikan gerak-geriknya di belakang tempat duduknya.
***
Malam ini Sabila kembali melakukan hobi barunya. Mengendap-endap keluar asrama putri untuk pergi ke suatu tempat favoritnya di belakang pondok pesantren. Suhu yang dingin di malam itu membuat Sabila semakin merapatkan jaketnya. Sabilapun lalu duduk termenung sendirian.
“Assalamualaikum…” Ucap seorang lelaki berkacamata yang secara tiba-tiba muncul dari balik pohon beringin lalu duduk di samping Sabila
“Wa’alaikum salam…kamu siapa?” Tanya Sabila, dia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Lalu Sabila berdiri dan menjauh dari lelaki itu.
“Aku? Hmmm…aku lupa jati diriku yang sebenarnya. Heh, Anak cewek jam segini belum tidur, mau qiyamullail ya?”
“Bukan urusanmu! Hmmm… Baiklah tuan amnesia, urusan dunia membuatku terjaga malam ini.”
“Marah ya, maaf kalau ganggu. Kalau aku sebaliknya, urusan akhirat yang membuatku terjaga malam ini.”
Sabila kembali tenggelam dalam lamunannya.
“Lagi ngelamun ya? Gak bisa tidur sih gak bisa tidur, tapi jangan ngelamun dong wahai wanita berjilbab.”
“Terserah gue!” sungut Sabila.
“Hahaha…kamu gadis yang kuat ya!”
“Hah, kuat katamu, emang kamu pernah adu karate sama aku!?” Sabila terperanjat.
“Kalau aku jadi kamu, aku pasti tak akan bisa bertahan dalam menghadapi semuanya. Sebenarnya sekarang kamu telah mengalami banyak permasalahan yang berat bukan?”
Sabila semakin mengerutkan keningnya.
“Tapi…kamu selalu berusaha untuk terlihat baik, terlihat mampu melakukan apapun, terlihat sempurna dan terlihat bahagia. Hasilnya, kamu selalu langganan juara umum di sekolah, berprestasi, jadi ketua OSIS dan mempunyai pergaulan yang luas. Namun jauh di dalam hatimu yang terdalam, kamu merasa tersiksa, bahkan sangat tersiksa. Kamu tersiksa oleh perasaanmu, tersiksa oleh keterpaksaanmu untuk terlihat bahagia.”
“Aku sendiri tidak pernah berpikir seperti itu, kenapa kau bisa berkata seperti itu?”
“Tapi itu yang sebenarnya kamu rasakan!”
“Sekali lagi aku bertanya sama kamu, kenapa kau bisa mengetahui hal tersensitif dalam diriku?”
“Lewat matamu, bahasa mata tidak bisa berbohong nona, tidak bisa berbohong!!”
“Lalu kenapa kamu bisa mengetahuinya hanya lewat mataku?” selidik Sabila
“Aku bisa membaca fikiran setiap orang. Kalau aku mau, aku bisa membaca lebih dalam fikiranmu. Mulai dari siapa orang yang kamu suka, orang yang kamu benci. Bahkan PR yang harus kamu kerjakan bisa saja aku tahu. Tapi…aku membatasi diri. Aku menahan diri untuk tidak menggali pikiranmu lebih dalam, gak sopan.” Lelaki itu tersenyum simpul, sementara Sabila merasa ditampar. Karena belum pernah memikirkan dan merasakan hal ini sebelumnya.
“Ada sesuatu yang hilang dalam dirimu.” Ucap lelaki berkacamata itu. lalu diambilnya beberapa kerikil kecil dan di lemparkannya ke kolam ikan.
“Sesuatu yang hilang, apa itu?”
“Sesuatu yang hilang yang hanya kamu sendiri yang bisa menemukannya. Apabila kamu menemukan sesuatu yang hilang itu, kamu akan merasakan kebahagiaan yang hakiki, kebahagiaan yang sesungguhnya. Bukan kebahagiaan semu. Bukan fatamorgana semata.”
Fikiran Sabila terhanyut dalam derasnya arus pertanyaan yang bertubi-tubi menghantam otaknya. Pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Sangat sulit.
Dihadapan Sabila, lelaki itu masih duduk dengan tenang dan senyumnya masih mengembang.
“Kamu suka curhat sama siapa?”
“Aku… belum pernah curhat sama siapapun. Karena…aku merasa bahwa semua orang mempunyai permasalahannya masing-masing. Aku tidak mau menambah beban mereka.”
“Ya, termasuk pada orang tuamu sendiri, Kamu juga selalu menggunakan dengan rapi topeng kebahagiaan kamu yang palsu itu dihadapan mereka. Kamu hanya mencurahkan isi hatimu pada diary saja. Kamu lebih senang menanggung semuanya sendiri. Kamu lebih suka menyiksa dirimu sendiri.”
“Kau salah terka bung…sekarang ini aku.”
“Sudah tidak bersama orangtuamu lagi. Kau di usir oleh mereka, bukankah begitu nona berjilbab?” potong lelaki berkacamata itu.
Sabila mematung kaku. Mulutnya membentuk bulatan kecil melongo.
“Indah deh kayaknya kalau kita selalu mengadukan semua permasalahan kita dalam setiap doa yang selalu kita panjatkan setiap habis shalat, sangat, sangat indah. Ketika kita meminta langsung kepada satu-satunya tempat bermuaranya segala pertolongan yaitu Allah SWT.” Ucap lelaki itu sambil berlalu meninggalkan Sabila yang masih tenggelam dalam diam untuk merenungi semua perkataannya. Untuk mentafakuri lembaran demi lembaran segala bentuk amal yang telah Sabila perbuat. Meski pena pencatat amal sudah mengering dan tak dapat dirubah. Hati Sabila sudah tidak mempertanyakan lagi siapa sebenarnya lelaki aneh yang datang lalu pergi begitu saja itu.
Hingga akhirnya dada Sabila bergolak, hatinya panas mendidih dan bibirnya tak berhenti mengutuk. Tapi Sabila tidak tahu kepada siapa kutukannya di tujukan. Sabila berubah marah, tapi Sabila tidak tahu kepada siapa dia harus marah. Sabila marah, Sabila sangat marah.
Hingga akhirnya Sabila sadar, bahwa dia marah karena kedua orangtuanya membencinya. Sabila marah karena tidak mendapatkan sempurnanya cinta mereka. Sabila marah karena keislamannya di kecam oleh mereka. Sabila marah karena Bram merenggut kehormatannya. Sabila marah karena harus berpisah dengan orang-orang yang sangat Sabila sayangi dan berarti dalam hidupnya. Sulthan bayi kecilnya, kedua orangtuanya, Debora dan Ghisa. Semuanya, semuanya itulah yang telah membuat Sabila marah.
Tanpa disadari, selama ini Sabila telah menghujamkan pedang problematika yang tajam, yang menusuk ulu hatinya. Tapi Sabila tetap berjalan tertatih-tatih dengan membawa sejuta luka menganga yang membusuk dengan rasa sakit yang teramat sangat menyiksa. Lalu Sabila membungkus luka itu dengan berjuta kepura-puraan dan topeng. Membungkus luka menganga itu dengan kepalsuan. Membungkus luka menganga itu dengan kebahagiaan semu. Menutupi luka menganga itu dengan tawa yang hampa.
Tapi kedua bola mata Sabila terlalu jujur untuk membeberkan semua dan tak berhenti berteriak tentang hakikat ada. Dimata semua orang Sabila adalah batu karang yang berdiri tegar melawan hantaman badai. Dimata mereka Sabila adalah seekor kupu-kupu indah yang bebas mengepakan sayap indahnya. Lalu terbang kemanapun dia mau. Dimata mereka Sabila ini adalah kobaran api yang panasnya menjalar kemana-mana. Tapi mata Sabila menjerit keras, melolong memecahkan kebisuan.
Semua itu bukan aku! Bukan aku! Aku hanya ranting kering yang rapuh. Yang mudah patah bila dipatahkan. Aku hanya dedaunan kering yang bertebaran. Yang mudah terhempas oleh sapuan angin. Yang hanya bisa terbang mengikuti berlarinya arah angin.
Sabila beringsut-ingsut sekarang. Beringsut-ingsut untuk mencari sesuatu yang hilang. Sambil mengais-ais harapan dan sisa – sisa mimpinya. Memulung cinta yang sebenarnya bukan cinta.
Sekarang Sabila tahu apa sebenarnya yang hilang dari dirinya selama ini. Itu adalah hidayah. Dengan mudahnya Sabila mendapatkan hidayah ketika orang-orang di sekitarnya jauh dari nila-nilai Islam. Akan tetapi di saat orang-orang di sekitarnya mulai merasakan manisnya hidayah, hidayah itu malah semakin terkikis lalu kembali sirna darinya…
Sabila bertanya-tanya bagaimana caranya agar dia bisa menemukan kembali hidayah itu, hidayah yang ternyata tidak bisa di temukan di semua organisasi Islam yang telah dia ikuti, yang tidak bisa Sabila temukan di pesantren, yang tidak bisa Sabila temukan di ROHIS dan yang tidak bisa Sabila temukan dimanapun sampai sekarang?
Sabila sangat ingin kembali menggapai hidayah Allah tanpa harus memposisikan diri dalam sekat-sekat keislaman apapun, yang selalu di gembar-gemborkan oleh para gerombolan orang yang fanatik itu. Juga para cendekiawan itu. Seperti Islam tradisional, modern, Fundamentalis, moderat dll.
Sabila sudah lelah untuk tenggelam dalam pencarian tak berujung. Hatinya letih untuk mencari kebenaran hingga membuatnya terguncang dan imannyapun semakin sekarat hingga untuk menemukan kebenaran yang terasa samar itu, banyak sekali ibadah yang terabaikan.
Sabila sendiri sudah tidak peduli dengan cap bahwa dirinya taklid ataupun ahli bid’ah. Baginya Islam adalah Islam itu sendiri, yang mengajarkan umatnya untuk berserah diri dengan ke universalan ajarannya. Islam adalah kepasrahan, kedamaian, ketentraman dan kesejahteraan. Tapi meskipun Sabila seorang mu’allaf, sebagai pemeluk agama Islam, dia belum menemukan semuanya itu dalam keislamannya.
Sabila pernah mendengar ceramah seorang ulama, yang menyatakan bahwa Islam adalah keselamatan. Islam adalah sumber kebahagiaan, kasih sayang Islam akan menaungi seluruh umat manusia. Kenalilah Islam, cintailah…lalu amalkan dengan sepenuh hati …niscaya kita akan merasakan ketenangan dan keindahannya…
Tapi…Sabila merasa kalau dirinya belumlah selamat. Belumlah bahagia, Sabila belum merasakan kasih sayang Islam, Sabila belum mengenal Islam… .Sabila belum mencintai agamanya, lalu mengamalkan ajaran Islam dengan sepenuh hati …otomatis Sabila belum merasakan ketenangan dan keindahan Islam…
Bahkan berbagai prestasi yang telah diraihnya. Banyaknya materi yang Sabila miliki, jabatan yang dia duduki, organisasi yang di ikutinya. Tidak bisa menjadi penawar kegersangan hatinya.
Sabila kehilangan hati yang bergemuruh ketika adzan bergema, kehilangan derasnya airmata yang menetes di atas sajadah ketika dirinya shalat. Kehilangan senyum ikhlas yang bersumber dari hati. Sabila kehilangan girah untuk berdakwah. Kehilangan prinsip sampai akhirnya Sabila prustasi hanya karena memikirkan derita masa lalunya. Sabila kehilangan para sahabat yang dapat mendekatkan jaraknya dengan Allah…
Ketika suri tauladan sudah sulit ditemukan, ketika orang-orang fasik sudah banyak dijadikan teman, ketika amalan sunah sudah banyak di tinggalkan, ketika kegersangan hati melanda jiwa. Apa yang harus kulakukan ??
Kadang Sabila mesti melesat berlari, kadang Sabila berjalan langkah demi langkah, kadang Sabila berjalan tertatih-tatih, kadang beringsut-ingsut, kadang Sabila merangkak dalam usaha meraih hidayah-Nya.
“Ya Allah…Please keep this Hidayah, jagalah hidayah ini. Jagalah karunia yang tak ternilai ini. Tolong hamba ya Allah…tolong hamba. Ya Rab…tak ada satupun yang hamba dambakan di dunia ini selain hidayah-Mu…Hanya hidayah-Mu, only Your hidayah. Hamba ingin terus berada dalam dekapan erat cinta dan hidayah-Mu.
Dimanakah kan kau tempatkan hamba-Mu ini? Dalam kenikmatan tak terlukiskan surga-Mu, atau dalam kepedihan tak tertahankan adzab neraka-Mu? Dimana? Dimana Ya Rab…?
Harus kujaga! Harus kujaga! I must keep Your Hidayah dan tidak boleh kulepas lagi. Aku takut mengulangi semua kesalahanku lagi…Aku takut mengulanginya lagi…I’m afraid to repeat Your forbiddens again, I’m so afraid…”
***

“Nona berjilbab, aku duduk sama kamu ya, boleh?”
Sabila menutup buku bacaannya, sekilas dia menatap sosok lelaki jangkung yang sudah berdiri disampingnya. Kemudian dengan sikap yang datar, ekspresi wajah yang datar, berhiaskan sedikit senyum yang datar.
“Silahkan…” ucap Sabila sambil menggeserkan jauh-jauh kursi tempatnya duduk dari kursi kosong di sebelahnya yang akan di tempati murid baru itu.
Dari awal lelaki itu masuk ke kelas Sabila sampai dia duduk di sampingnya, Sabila sama sekali tidak berminat untuk memperhatikan lelaki itu saking seriusnya dia membaca buku terbarunya. Hingga akhirnya secara tidak sengaja mereka berdua beradu pandang.
“Hei, kamu…kamu kan, cowok yang nemenin aku tadi malam!?”
“Heh, jangan kege-eran dulu. Siapa yang mau nemenin kamu. Semalam itu aku lagi iseng ngelakuin ekspedisi alam gaib. Saat aku lihat sosok kamu di bawah pohon beringin itu, aku kira kamu itu penampakan kuntilanak.”
“Kamu nyamain aku sama kuntilanak!?” ucap Sabila garang.
“Ya begitulah…kalau bukan setan beneran, kamu bisa juga jadi alat pancing setan yang ngegoda para kaum adam.”
“Ok, kalau kamu takut aku goda pergi sana! jangan sebangku denganku!”
“Hmmm…kalau untuk pindah bangku, kayaknya aku harus fikir-fikir dulu deh. Soalnya aku pengin sharing sama kamu. banyak banget hal-hal yang pengin aku diskusikan sama kamu. ”
“Kalau mau diskusi and nanyain banyak hal tentang agama pergi aja ke ustad sana!”
“Jangan marah gitu dong nona berjilbab lebar…”
“Heh, aku pengin kamu mengenaliku sebagai Sabila Afiah Jessica, bukan wanita berjilbab lebar. Emang derajat keimanan seorang muslimah dilihat dari seberapa lebar dia berjilbab, pakai gamis dan pakai cadar apa?”
“Bukannya kamu sering pakai jilbab lebar?”
“Jilbab lebarku sudah kutanggalkan dan hanya jadi penghias lemari, aku ganti dengan jilbab yang biasa aja. Aku belum ikhlas pakenya. And ribet, jilbabku belum bisa melindungi dzohir dan bathinku. Kaget ya, tapi inilah Sabila.” Ucap Sabila bangga.
“Ya memang bukan jilbab sih yang melindungi. Jilbab hanya sehelai kain yang menutupi aurat wanita. Jilbab sudah tak ada gunanya lagi jika sudah melecehkan citra jilbab itu sendiri. Gimana, udah nemu hidayahnya?”
“Maksud kamu?”
“Itu kan yang sebenarnya hilang dalam dirimu, apa cukup hanya menunggu hidayah datang. By the way cara nemuin hidayah itu gimana sih?”
“Selamat, kamu udah nanya hal itu pada orang yang lagi kehilangan hidayah!” Sabila tersenyum sinis.
“Gak ada yang di kasih hadiah kok! Pake ngucapin selamat segala. Aneh, gimana kamu tahu kalau kamu lagi kehilangan hidayah? Malaikat jibril yang ngasih kabar atau ada sumber lain?”
“Sumbernya…aku udah ngerasa kalau kenikmatan ibadahku sekarang hilang. Aku juga udah mengalahkan cinta Allah dengan cinta yang lain.”
TETT…TEEEETTT!!!
Suara bel tanda istirahat pertama sudah berbunyi. Sabila segera menutup bukunya dan keluar kelas. Dia melangkahkan kakinya menuju Masjid.
“Ok Sahdam. Aku mau shalat dhuha dulu.”
“Wah, belum kenalan kamu udah tahu namaku? kamu bisa baca fikiran juga?” lelaki itu terkesima.
“Aku lihat di seragam kamu dodol!” sungut Sabila.
***
Saat Sabila melakukan uluk salam, gadis itu menggerak-gerakan jemarinya untuk berdzikir. Lalu mengangkat kedua tangannya untuk berdoa. Setelah selesai berdoa.
“Hai nona berjilbab biasa aja…lagi sibuk ya sama urusan akhirat?”
Sabila mengacuhkan Sahdam. Selesai berdoa, Sabila melipat mukena, dan langsung melangkahkan kakinya keluar Masjid sekolah. Dia lalu duduk sebentar di tangga masjid sambil mengikat tali sepatunya.
“Tadi malam aku bermimpi, dalam mimpi itu aku tertidur selama empat tahun gak bangun-bangun. Ketika aku bangun, aku ngerasa tidur selama dua jam. Mimpi yang aneh, kamu ngerti gak dengan alur mimpiku?” Tanya Sahdam yang tiba-tiba duduk di samping Sabila.
“Heh jangan deket-deket!”
“Ok, Ok…jaga jarak-jaga jarak…”
“ Gak tahu ah. Aku sendiri gak pernah menafsirkan mimpi-mimpiku. Gak ada kerjaan dan gak penting buatku. Thanks.” Ucap Sabila dengan wajah dinginnya.
“Dengerin aku dulu, seseorang menafsirkan kalau ibadahku selama ini gak diterima. Dan aku gak diberi kesempatan untuk beribadah lagi. Jadi mimpiku itu udah ditafsirkan oleh seorang peramal.”
“Hahaha…percaya kamu sama peramal? Buat aku, Cuma Allah yang tahu ibadahnya kita diterima atau nggak. Aku gak percaya peramal cuy! And you musti percaya sama Qodo dan Qodar Allah. sekali lagi aku bilang menafsirkan mimpi itu gak penting!”
“Kenapa kamu bilang nggak penting. Apa kamu nggak sadar siapa yang menciptakan mimpi. Sekarang kamu sudah mengingkari ciptaan Allah, jadi beristighfarlah…”
Sabila menatap Sahdam sinis. Lelaki berkacamata itu benar-benar telah membuat Sabila geram.
“Ok ok tuan amnesia, aku sadar itu masih diluar pengetahuanku. Puas!”
“Sebenarnya aku nggak bilang harus percaya atau nggak. aku hanya mempresentasikan mimpi yang aku alami tadi malam. Bukankah Allah menciptakan bumi dengan seisinya, pepohonan dengan buah dan daunnya, jasmani dengan rohaninya kenapa kamu baru nyadar barusan? Kamu tahu sendiri segala yang ada di alam semesta cipta’annya termasuk mimpi kita.”
Sabila menanggapi Sahdam datar-datar saja. Itulah kesan pertama Sabila dengan Sahdam. Sangat datar. Bahkan disebut berkesan saja tidak sama sekali. Sabila tidak habis fikir, bagaimana bisa dia sebangku dengan cowok? Seorang cowok? Makhluk Tuhan yang membingungkan, menyebalkan, sering nyakitin hati dan…malas sekali Sabila membahas mereka!
***
Dari hari pertama Sahdam minta diri untuk sebangku dengan Sabila sampai ujian tengah semester ini, Sabila mengenal Sahdam tak lebih dari seorang teman sebangku yang suka datang kesiangan dan hobi tidur di kelas. Tapi Sabila mengakui kalau Sahdam memang pintar dalam pelajaran Matematika dan tidak pernah pelit untuk membagi ilmunya kepada Sabila dan kepada siapa saja. Sekarang nilai ulangan matematika Sabila sudah tidak pas-pasan lagi. Sebaliknya Sabila selalu membantu Sahdam untuk memahami pelajaran bahasa Inggris. Meskipun ternyata nilai bahasa Inggris Sahdam masih belum memperlihatkan perkembangan yang baik.
Dipikir-pikir apa aku yang nggak bener ngajarinnya atau otak Sahdam saja yang selalu memantulkan kembali setiap pelajaran.
Tapi…akhirnya mereka selalu menolong satu sama lain.
“Nyi Blorong!” goda Sahdam.
UGH! Masa gara-gara aku suka sama warna hijau dia manggil aku nyi Blorong???
“Nyali tempe….”
Itu lagi, masa gara-gara dia tahu aku takut sama setan, ulat, darah atau hal-hal yang berbau kekerasan, boneka panda dan ketinggian, Sahdam manggil aku nyali tempe?
“ Sabila Afiah Jessica.”
“Apa sih dari tadi ngabsen terus?” ketus Sabila.
“Aku pengin nanya, kemarinkan kamu bilang kalau kita ingin memperbaiki diri kita, maka kita harus meminta bantuan orang lain untuk menilai dan mengkritik diri kita. Nah sebagai seorang teman yang baik, menurut kamu aku gimana?”
“Gimana ya…” Sabila menundukan kepalanya sejenak. Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan Sahdam yang satu ini. Sambil berpikir, Sabila tidak berhenti mengetuk-ngetukan pulpennya pada kupingnya sementara Sahdam masih serius mengawasinya.
“Ini fakta ya. Dan aku ngasih pendapatku yang jelek-jeleknya saja. Kamu itu orangnya pikun. Soalnya suka lupa bawa buku pelajaran dan bawa PR. Terus kamu itu terlalu santai makanya kesiangan terus. Kemudian kamu rada males!”
“Itu aja?”
“Kalau aku?”
“Kamu Bil, hmmm…selain suka tidur di kelas aku rasa gak ada lagi. Tapi sekarang kebiasaan kamu itu udah hilang. Kamu so perfect lah di mataku. Pinter, rajin ibadah dan…”
“Stop, stop, stop don’t think about it!”
Sebenarnya bukan itu yang ingin Sabila katakan. Setiap hari dia tidak pernah melihat Sahdam absen shalat Dluha di masjid. Sahdam tidak agresif sama cewek dan tidak genit. Makanya Sabila selalu merasa nyaman jika berada dekat dengan Sahdam. Sahdam perhatian dan penyayang pada siapa saja. Sahdam selalu menghormati Sabila sebagai seorang muslimah.
Senyummu manis dan apa lagi ya…sangat eh sedikit good looking lah.
***
Di atas rumput, Sabila dan Ina tampak sibuk mempersiapkan kertas karton yang akan di gunakan dalam aksi unjuk rasa terkait tuntutan pengesahan RUU Pornografi dan pornoaksi..
“Ntar kita nulis apa Bil?”
Mereka berdua duduk berhadap-hadapan dan saling pandang. Tempat mereka duduk tidak terlalu jauh dari gedung Sate.
“Tulis saja selamatkan generasi muda dari pornografi dan pornoaksi.” Ujar Sabila.
“Tanda serunya tambah lagi dong!” lanjutnya
“Iya-iya…” dengus Ina
“Assalamualaikum…para ukhti.”
Sabila dan Ina mendongakan kepalanya kearah sumber suara. Dilihatnya seorang lelaki tampan berperawakan tinggi berdiri di dekat keduanya. Ternyata itu adalah Sahdam, dia juga ikut serta dalam aksi unjuk rasa tersebut. Lengkap dengan jas almamater dan pengeras suara yang menggantung di pundaknya.
You look so handsome now…ARRRRGGGHHHH!!! Mikir apa sih kamu Sabila??? Capek tahu mikirin cowok tuh capek…!!!! Mending mikirin kasus bank Century, Film terbaru Brad Pitt and kapan TIMNAS Indonesia bisa menangin piala dunia.
“Kamu ikutan orasi juga Dam?” ucap Sabila dengan keramahan yang sedikit di paksakan.
“Heh…kalau mau nyapa aku yang ikhlas dong!” sungut Sahdam.
“Ugh! Capek gue ngomong sama Lo! Suka ketebak duluan jalan fikiran gue gimana.”
“Ya…gimana lagi ini kan udah jadi anugerah dari Allah.”
Sabila menarik lengan Ina dan meninggalkan Sahdam berdiri di tempatnya.
Sabila menjadi peserta unjuk rasa yang lebih bersemangat dari pada para siswa yang bergabung dengan aliansi mahasiswa lainnya. Dalam sengatan panas matahari yang membakar kulit putih Sabila. Tak henti-hentinya aktivis sekolah itu menyuarakan suara rakyat dalam orasinya, hingga pita suaranya nyaris putus. Di dekatnya, karena merasa khawatir pada kondisi Sabila yang sepertinya sudah lemas, Sahdam memberi tanda pada Sabila untuk menggantikannya berorasi. Tapi Sabila mengacuhkannya.
***
“Hal apa yang paling kamu pilih, dunia atau akhirat?” Tanya Sahdam pada Sabila yang saat itu sedang sibuk membaca buku di depan kelas. Menyadari kedatangan temannya yang aneh itu, Sabila langsung menutup buku baca’annya.
Sabila memperhatikan Sahdam dengan seksama. Bila sedang berbicara dengan Sabila tatapan mata Sahdam selalu berbinar-binar dan tidak pernah lepas menatap langsung mata lawan bicaranya. Bila tiba giliran Sabila bicara, Sahdam selalu mendengarkan Sabila dengan antusias dan penuh minat yang besar. Seakan-akan setiap kata yang Sabila ucapkan sangat berharga baginya dan tidak ingin dia lewatkan.
“Dodol, akhirat dong!” sungut Sabila lalu dia kembali membaca bukunya.
Tapi Sabila adalah kebalikan dari Sahdam. Sebenarnya sikapnya ini berlaku untuk semua cowok dan bukan Sahdam saja. Apalagi setelah kekecewaan demi kekecewaan yang pernah Sabila alami dengan setiap makhluk bernama laki-laki dan pemerkosaan itu telah membuat Sabila trauma sehingga dia selalu menaruh curiga pada setiap lelaki yang mendekatinya.
“Sudah aku kira. Selamat anda terjebak dalam kemacetan yang berkepanjangan. Dan di butuhkan waktu yang lama untuk menyembuhkannya.”
“Aku juga udah tahu kalau meraih kebahagiaan akhirat itu gak instan!!!”
“Lantas kenapa kamu instant memilih akhirat? Yang belum tentu menjanjikan?”
Sabila selalu menanggapi Sahdam dingin, mendengarkannya tanpa rasa antusias dan satu lagi, Sabila paling enggan menatap langsung pada mata lawan bicaranya.
“Keinginanku cuma satu, ini jerit hatiku selama ini, aku sangat ingin menuntaskan kerinduanku yang sangat menyiksa. kerinduanku kepada Allah dan Rasul-Nya…silahkan kamu tertawa, tapi di sini aku sedang menangis.” Ucap Sabila sambil menepuk-nepuk dadanya.
“Aku hanya bisa bersedih dalam keadaan kamu yang seperti ini. Tapi apakah cukup dengan rindu untuk mencari keridloannya.”
“Tidak.”
“Cukup dengan menangis jadi gimana?”
“Aku gak bisa jawab dan tak ada jawaban teoritis yang bisa aku berikan tentang hal itu confused…”
“Ya udah…aku gak maksa.” Ucap Sahdam.
“Hmmm orang yang wawasan agamanya tinggi kayak kamu, buat apa nanya-nanya sama orang fakir ilmu kayak aku.” Sindir Sabila
“Aku juga sama seperti kamu. Mau di bilang tinggi apanya coba. Bukannya kamu yang lebih tinggi, yang aku tahu, kamu lebih banyak menyabet banyak penghargaan, terutama yang ada hubungannya dengan jihad. Two tumbs for you deh, aku kagum sama kamu. Semangat dakwah kamu tinggi banget, kalau lagi orasi saat unjuk rasa soal RUU Pornografi dan fornoaksi kemarin aja, kamu bikin aku merinding. Kamu enak diajak mendiskusikan apa saja, kalau berdebat lawanmu gentar terus. Terus udah berapa organisasi Islam coba yang kamu ikutin. Padahal kamu kan seorang muallaf.”
“Akhirnya kamu tahu juga aku ini muallaf.”
“aku udah tahu, karena kamu pasti mau ngomong aduh Sahdam, biasa aja deh. Asal kamu tahu ya gini-gini, Sabila itu seorang muallaf…” ucap Sahdam lemah lembut.
“Tapi semua penghargaan itu gak ada artinya, dan bukan kemulyaan yang hakiki, sementara aku belum memiliki ketenangan bathin…”
“Kamu jauh banget sih udah mikir ke sana, aku aja gak ngerti kemulyaan yang hakiki dan ketenangan bathin itu gimana? Lebih baik dasarnya aja dulu yang harus kamu pelajari.”
“Thanks a lot”
“Kamu tahu yang aku maksud dasarnya gimana?”
“What is it?”
“Kalau kamu tadi milih akhirat. Kalau aku sebaliknya duniawi dengan ilmu. Aku masih penasaran, kemulyaan hakiki dan ketenangan batin itu gimana? Nona berjilbab biasa aja, anda belum menjawab rasa penasaran saya?”
“Hmmm wuaaaaaa….” Sabila menguap dan menepuk-nepuk mulutnya yang terbuka lebar. Lalu mendaratkan kepalanya di atas meja sambil mendengarkan Sahdam tanpa minat.
“Apakah kamu masih butuh hidayah Allah untuk mewujudkan ketenangan bathin dan kemulyaan hakiki? Entah sudah berapa banyak judul buku yang kamu baca untuk mewujudkan hal itu.”
“Udah gak ke itung cuy dan sekarang cuma selogan doang. Buku La Tahzan aja udah 3 kali tamat! “
“Sayang banget ya kamu hanya berguru dengan beberapa lembar kertas. Padahal ilmu Allah unlimited loh? Apa yang kau dapat? Tak dapat apa-apa?”
“Syukur deh kamu tahu, heh, jangan nge justice aku gak dapat apa-apa ya! I take science from everything and everyone, such as you ok.”
“Ordinary aja lah! Kamu pernah baca majalah hidayah gak yang judul kisahnya berguru hanya dengan buku. Kamu tahu gak apa yang terjadi? Memang buku jendela dunia, but gak semua buku itu jendela dunia.”
“Not yet, but thanks for your advice.”
“Orang itu stress karena kebanyakan baca buku, dan dia malah bakar semua koleksinya. Itulah orang yang belajar tanpa ahlinya…”
“Hehehe tragis, tapi aku gak setragis itu kok, always balance…malah lebih banyak baca komik and novel.” Ucap Sabila dengan ciri khasnya yang cuek dan santai.
“Generasi muda Islam kok bacaannya komik sama novel…?” sindir Sahdam. Sementara di sampingnya Sabila hanya bisa manyun seperti siput.
***
“Sabila, sekarang giliran kamu!” Ucap pak Imron pada Sabila.
Tapi Sabila malah celingak- celinguk melihat semua santri yang ada di sekelilingnya. Pagi ini adalah pengajian tafsir Al-Qur’an yang di pimpin pak Imron yang tiada lain adalah pengasuh pondok pesantren Nurul Falah. Dalam pengajian tafsir Al-Qur’an ini, setiap santri diwajibkan menyetorkan hapalan Al-Qur’an secara bergiliran. Sayangnya Sabila samasekali belum menambah hapalannya hari ini. Waktunya habis hanya untuk memikirkan hidayah yang tak kunjung dia dapatkan.
“Teh Bila cepetan…santri lain udah pada ngantri setor hapalan tuh.” bisik Tatu.
Tapi Sabila tidak berkutik. Dia terus menundukan kepalanya dalam-dalam. Tak berani melihat wajah sang guru.
“Sabila, kamu pengin sehat?” Tanya pak Imron.
“I-iya pak …” Sabila gelagapan
“Berdiri di tempatmu, ambil sikap sempurna lalu banding sampai pengajian ini selesai!”
***
Sabila masuk ke dalam kelas dengan lesu akibat Subuh-subuh sudah disuruh olahraga oleh Pak Imron. Lain dari biasanya, Sabila melihat tas ransel Sahdam sudah ada di kursinya. Lalu Sabila duduk termenung melihat tas Sahdam. Lelaki itu sudah membuat Sabila banyak merenung baru-baru ini. Kata-katanya asal tapi dalam. Sabila telah belajar banyak hal dari Sahdam. Tiba-tiba…
“Oh ya hidayah yang kamu cari udah dapet belum? Kalau kamu mau aku mau bantu cari’in buat kamu.”
“Mau jadi spiderman kamu? Ngebantuin aku nyari hidayah? Lo pikir hidayah itu gorengan dan kacang rebus apa? atau mau mengaruhin aku ajaran sesat ya hehehe, alergi banget aku gabung sama kelompok yang ngebeda-bedain Islam. Becanda lu!?” ujar Sabila sewot.
“Emang siapa yang bilang gitu? kamu aja yang su’uzhan! Ada sebab lain nggak kenapa kamu fanatik banget pilih akhirat?”
“Aku benci di sebut fanatik dan gak ada alasan lain …”
“Akhirat belum tentu menjanjikan bukan. Sampai sekarang kamu masih nyari-nyari hidayah?”
“Lo ini titisan Mustafal kemal At-Taturk si pembaharu dari Turki yang sekularis itu. Atau reinkarnasi Stalin dan Karl Marx sih!?”
“Aku gak kenal semua orang itu, kini tahun 2010, tokoh-tokoh kamu yang kamu bilang tadi tokoh jadul kan. Aku lebih pilih dunia dengan ilmu mengapa. Karena kita masih hidup di dunia. Kalau kamu pilih akhirat ya tunggu apalagi?”
“Akh! Terserah lo deh!”
“Padahal kamu cerdas lho? Tiap tahun dapat general champion. Tapi kenapa gak coba tanggapin?”
“Aku cuma malas ngelakuin kebiasan berdebatku, ngerti!” Sabila menggebrak meja dan menatap Sahdam penuh emosi.
“Hmmm….di manakah gadis berjilbab biasa aja berada? Apakah dia sudah menemukan hidayah dari Allah, atau masih sibuk mencarinya. Hanya dia dan Allah yang tahu… “ Ucap Sahdam sambil berlalu meninggalkan Sabila yang duduk di bangkunya.
“tenggelam aja lo kelaut sana, gangguin orang aja lo kerjaannya!!” sungut Sabila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar