Selasa, 24 Agustus 2010

6. The Next Disturber Boy

“Bil, ajarin aku cara ngerjain PR bahasa Inggris ini dong!” pinta Ina.

“Eh, gue udah datang lebih dulu! Ngantri dong!!” ketus Ikbal

“Haduh, yang mana dulu nih??” Sabila tampak kebingungan.

Tiba-tiba Sahdam muncul dengan nafas tersengal-sengal, seperti biasa dia datang kesiangan lagi.

“Euy, permisi dong Bal, aku mau duduk!”

“Lo duduk aja dulu di bangku gue.” Tawar Ikbal

Merasa di acuhkan, Sahdam lalu menggebrak meja.

“Eh, minggir, minggir, minggir semua!!!! Aku mau curhat nih sama Bila! Minggir!”

“Ugh dasar borokokok!” sungut Reza

“Siapa suruh ngerjain PR di sekolah!?” balas Sahdam.

            Semua teman sekelas yang mengerumuni Sabila langsung angkat kaki.

            “ada apa sih Dam, pagi-pagi udah bikin heboh?” Tanya Sabila

“Ada seorang adik kelas yang telah jadi korban kekerasan mamanya. Namanya Hani. Orangtuanya bercerai. Hani benar-benar tersiksa  dan dia nekat menyileti pergelangan tangannya sampai berdarah bahkan sampai masuk rumah sakit.”

            “Astaghfirullah…

            “Hani bingung mau pergi kemana, makanya aku mau ajak dia ke pondok Pesantren untuk sementara.”

            “Dia sekolah gak hari ini?”

            “Ya”

            “Ayo!!”

            “Kemana?”

            “Ya ke kelasnya cuy!! Bengong aja lo ah.”

            Sabila mengikuti Sahdam dari belakang karena Sabila paling tidak suka berjalan beriringan dengan cowok. Sangat-sangat tidak mau. Akan tetapi…secara tidak sengaja Sabila melihat punggung Sahdam yang tegap dan bidang dari belakang. Baru pertama kali Sabila melihatnya.

Aduh –aduh Sabila kemana aja kamu selama ini.

 Sabila cepat-cepat mengalihkan pandangannya saat secara tiba-tiba Sahdam menoleh ke belakang.

            “Tuh anaknya”

            Sahdam mengarahkan jari telunjuknya pada seorang gadis yang sedang duduk sendirian sambil memegang pergelangan tangannya yang diperban. Wajah gadis itu memang manis tapi sedikit kusut dan tidak bersemangat. Kelopak matanya bengkak. Sabila tahu kalau semalaman dia pasti menangis.

            “Assalamualaikum…” ucap Sabila seraya mendekatkan dirinya pada Hani.

            “Hani, ini kak Sabila. Dia sahabatku yang sering kuceritakan itu.”

            Sabila mematung.

 Sahabat??? Sahdam mendeklarasikan diriku sebagai sahabatnya sementara selama ini aku masih menganggapnya hanya sebatas teman sebangku.

            Hani mengangkat wajahnya, dia menatap wajah Sabila sayu dan mencoba memberikan senyumnya pada Sabila.

Ugh! Mulai deh aku menghadapi satu hal yang sangat aku benci selama ini. Airmata dan tangis haru tanpa ada ijin resmi dariku sudah mengalir begitu saja.

 Sabila duduk berdampingan dengan Sahdam. Sahdam cuma bisa tersenyum melihat tingkah laku mereka berdua. Sementara dari kejauhan Sabila merasakan keberadaan seorang lelaki yang paling menyebalkan yang pernah dia kenal. Dia sedang memperhatikan Sabila dan Sahdam. Lelaki  itu Marco.

***

            “Gimana selama dia tinggal sementara di pesantren, kalau nggak salah tiga hari ya Bil?”

            “Gak kok seminggu, anaknya baik banget, ramah dan sopan sama orang …pokoknya sayang banget ya kalau sampe mamanya nyiksa anak sebaik Hani.”

            “Trus kamu ngomong apa aja ke dia?”

            “Intinya dia harus milih antara tinggal sama mamanya atau papanya. Saranku dan anak-anak santri  sih dia lebih baik tinggal sama papanya. “

            Saat Sabila bicara Sahdam terdiam dan menatap mata Sabila lekat-lekat. Tapi selama bicara dengan Sahdam, Sabila hanya mengalihkan pandangannya ke  mana saja. Sabila tersadar kalau jarak mereka sekarang bisa dibilang sangat dekat.

            “Aku harus pulang, banyak kerjaan.”

            “Udah mau pulang…?”

            “Ngantuk nih mau tidur!”

            “Dasar tukang molor….!!!”

***

            Sabia tidak menyangka kalau ternyata teman sebangkunya  yang dia kenal aneh, pikun, suka tidur di kelas, males bin lemot itu bukan cowok biasa. Buktinya selama ini banyak banget cewek yang kepincut terus nembak Sahdam.

Sahdam di tembak banyak cewek!!!??? Kok bisa?

            Minggu kemarin di tembak Ajeng, terus kemarin di tembak  Anggi dan sekarang dia di tembak Hani.

Kok Hani ikut-ikutan nembak juga. Segitu juga yang aku tahu, belum yang lain. Gazwat! Si Sahdam kayaknya ngasih perhatiannya kebangetan nih. Aku jadi capek sendiri ngedengerin cerita dia soal cewek –cewek itu. Terus aku peduli gitu? ya jelas harus peduli lah kita kan… sahabatan.

            Tapi benarkah di mata Sabila Sahdam adalah seorang sahabat. Lalu  kenapa Sabila selalu membuang muka bila melihat Sahdam berdekatan dengan cewek lain. Kenapa juga Sabila harus jutek bila teman-temannya yang lain menyanding-nyandingkan Sahdam dengan cewek lain. Mengapa Sabila jadi punya hobi baru memandangi punggung Sahdam dari belakang. Mengapa Sabila jadi tidak sabaran untuk menghadapi hari esok lebih cepat. Mengapa nama Sahdam tidak pernah absen di sebut-sebut dalam diary Sabila.

Why Sabila? What the reason about it?

            I’m so confuse, is Sahdam the next distruber boy?

cowok selanjutnya yang akan mengganggu Sabila, yang akan menajdi cowok yang sangat menyebalkan dan sangat Sabila benci. Setelah Allah menghadirkan  Raya, Bram, dan  Kak Ghisa

            I think your only my examination Sahdam.

Sabila harus menyempurnakan perjuangannya dalam menghadapi ujian ini. Memang terlalu banyak jumlahnya para pemuda pengganggu yang hadir dalam hidup Sabila. Tapi Sabila berusaha untuk bertahan.

 I must survive, I must survive…

            Meski seribu pemuda pengganggu hadir kembali dalam hidup Sabila. Seganteng apapun mereka, sepintar apapun mereka, sebaik apapun mereka. Apapun yang terjadi, Sabila tetap harus bertahan. Karena dia tahu,

 now its time for me to look for science, not time for me to look for love.

            Hati Sabila masih terlalu sakit, sangat letih dan masih terlalu lelah untuk mengulang semuanya kembali. Sabila masih mencintai mimpi-mimpinya dan dia harus mewujudkannya.  

***

“Kak Sabila!”

Sabila menoleh ke arah sumber suara

“Hani?”

Hani mendekati Sabila dan wajahnya terlihat sangat sumringah tidak seperti hari-hari sebelumnya. Syukurlah, mungkin gadis ini sudah menemukan kebahagiaannya. Meskipun Sabila tidak bisa berbohong kalau sekarang dia sedikit tidak merasa nyaman bila melihat Hani. Lebih tidak nyaman lagi kalau dia melihatnya dengan Sahdam.

“Kakak punya waktu?”

“Sebenarnya sekarang aku mau ngerjain tugas matematika sama Sahdam.”

Please kak, aku mohon…” Hani memelas

“Ok dech.”

Merekapun duduk di depan lab IPA.

“Ini tentang  aku dan kak Sahdam…”

Dari topik pembicaraannya saja pasti bisa membuat Sabila mendengarkan cerita Hani tanpa minat.

“Aku sudah mengutarakan perasaanku pada kak Sahdam beberapa kali tanpa ada kata menyerah. Sampai akhirnya aku menemukan cara jitu agar kak Sahdam mau menerimaku.”

Perasaan Sabila mulai semakin tidak nyaman. Lalu Hani memperlihatkan perban yang melilit pergelangan tangannya. Lalu melepaskan gulungan perbannya. Lukanya yang menganga terlihat dengan jelas. Dan sekarang Sabila kembali dihadapkan pada ketakutannya melihat darah atau apapun yang berbau kekerasan. Mendengar kata menggorok atau memotong urat nadi malah membuat Sabila langsung mual dan ingin muntah.

“Cukup dengan memutuskan urat nadi tanganku di depan mata kepala kak Sahdam.” Ucap Hani menatap mata Sabila tajam.

“Dan hasilnya lihatlah ini.”

Sabila melihat sebuah bulatan emas dengan satu permata yang berbinar-binar terpasang di jari manis Hani.

“Esoknya kak Sahdam langsung menyematkan cincin ini di jari manisku. Kak Sabila tahu ini artinya apa? Itu artinya aku cuma ingin kak Sabila tahu bahwa pengorbananku untuk mendapatkan cinta kak Sahdam jauh lebih besar di banding cewek-cewek itu termasuk kak Sabila. Rasa cintaku untuk kak Sahdam jauh lebih besar di banding kalian semua. Akulah gadis itu kak, akulah gadis yang telah menyebabkan kak Sahdam menolak banyak cewek. Akulah gadis yang telah menyebabkan kak Sahdam menutup hatinya untuk cewek lain termasuk kak Sabila. Akulah gadis spesial itu. Dan aku rasa kak Sabila nggak usah memupuk perasaan kakak untuk kak Sahdam. Karena di hati kak Sahdam sudah ada Hani!”

“Jadi?”

“Ya, diam-diam aku sudah membaca semua isi yang ada dalam diary cengengmu itu saat aku tinggal sebentar di pesantren. Dan mulai sekarang aku sudah menyatakan perang terbuka denganmu kak Sabila. Selama ini aku selalu mengawasi cewek-cewek mana saja yang selalu mendekati kak Sahdam dan memberikan sedikit peringatan yang cukup berarti untuk mereka.  Dan ternyata mereka semua pengecut. Satu persatu diantara mereka mundur begitu saja. Jujur ya kak, di bandingkan dengan mereka kau adalah cewek yang sangat mudah di lumpuhkan. Karena kau tidak punya  keberanian untuk mengucapkan perasaanmu pada kak Sahdam. Itu artinya kak Sabila jauh lebih pengecut dari mereka. Kak Sabila pecundang besar!”

PLAK!PLAK!!

Kedua pipi Hani memerah, Hani meringis kesakitan oleh tamparan Sahdam yang keras, bahkan kalau mau mungkin Sabila bisa meninjunya.

“Dengar ya gadis istimewa, aku ini bukan seorang pecundang besar seperti yang kamu katakan. Aku tidak mengatakan perasaanku bukan karena aku pengecut. Tapi karena aku masih punya rasa malu, aku menghargai Sahdam sebagai sahabatku dan karena aku masih punya harga diri.

Mau tahu dimataku kau seperti apa? Kau tak lebih dari seorang cewek kesepian yang rela mati konyol demi mengemis-ngemis cinta seorang laki-laki yang menerimamu dengan terpaksa. Yang seorang pengecut dan pecundang itu kamu! Karena tidak mau menerima kenyataan.

Kalau kamu pengin Sahdam, ambil saja. Aku gak butuh. Tapi camkan satu hal. Kau bisa memiliki Sahdam tapi kamu gak akan pernah bisa memiliki hatinya.”

“Kak Sahdam…” tiba-tiba Hani berlari dan bersembunyi di balik punggung Sahdam yang tanpa Sabila sadari sudah ada di hadapannya.

“Hani…pipimu memerah.”

“Hani gak tahu, bagaimana bisa wanita sebaik dia bisa melakukan ini padaku…”

“Siapa?”

Hani menyembunyikan wajahnya dan airmata palsunya dalam dekapan Sahdam. Lalu menunjukan jari telunjuknya kearah Sabila.

“Sahdam ini gak…”

“Maaf  Sabila, aku mohon tinggalkan kami.”

“Tapi…”

“Sabila…”

“Tapi Sahdam?”

“Pergi” bentak Sahdam.

Ini benar-benar bukan Sahdam. Ini bukan Sahdam. Orang yang sekarang ada di depan Sabila adalah orang lain. Sahdam tidak pernah bersikap seperti ini. Sahdam yang  Sabila kenal adalah Sahdam yang perhatian, hangat, penyayang dan selalu tersenyum padanya. Sahdam yang Sabila kenal selalu menjaga jaraknya dengan cewek dan tidak sampai sedekat itu. Hati Sabila berontak, dan darahnya tak berhenti bergolak. Melihat Hani berada dalam dekapan Sahdam, melihat tidak adanya jarak diantara mereka, apalagi melihat isak tangis penuh kepalsuan Hani malah membuat Sabila seakan ingin muntah. Kalau bukan karena adanya suatu ikatan sakral yang telah menjalin mereka. Tidak mungkin Sahdam mau sedekat itu dengan Hani.

Hati Sabila terkoyak-koyak dan hancur. Karena tidak bisa menerima kenyataan ini. Sabila berlari sekencang mungkin. Sabila muak melihat pemandangan itu.

***

            Hari ini aku harus tetap sekolah. Don’t look back, look the future!

Ikhtiar Sabila untuk menuntut ilmu tidak boleh terganggu oleh hal remah temeh bertema cinta. Hari ini juga Sabila mengambil sebuah keputusan besar.

            “Marco, kamu pindah kedepan dan kamu Sabila, kamu pindah ke tempat duduk Sabila. Saya kira dengan duduk di depan kamu bisa merubah sikap bandel kamu itu Marco.” Ujar pak Wahyu wali kelas X1 IPS 1.

            Sahdam menatap Sabila melongo. Terhenyak mendengar ucapan pak Wahyu barusan. Sahdam terus memperhatikan Sabila dari awal dia berdiri hingga duduk di tempat duduk yang baru.  Ternyata skenario yang Sabila susun berjalan lancar dan pak wahyu dapat memahaminya. Sabila dan Sahdam tidak duduk sebangku lagi dan selesai sudah.

            Saat bel tanda pelajaran usai  berbunyi, Sabila seperti orang yang diburu waktu dan langsung menggendong tas punggungnya untuk segera pulang. Kejadian itu telah membuat Sabila jadi ingin cepat-cepat pulang ke ponpes. Sabila jadi lebih sering melaksanakan shalat dlhuha di Ponpes sebelum berangkat sekolah. Agar kekecewaan demi kekecewaan itu tidak terulang lagi. Sabila baru sadar kalau selama ini dia telah menyalah artikan sikap Sahdam padanya.

Aku salah…aku salah, sangat salah.

***

            “Kau sudah tahu kira-kira perasaan apa yang menjangkiti hatimu sekarang?” Ghisa merangkul pundak Sabila. Itulah kebiasaan yang sering di lakukan kakak angkatnya ini.

            “Gak tahu…tai kucing sama apapun menyangkut perasaanku.”

            “Jangan ngomong kayak gitu Bil..kamu tuh suka sama Sahdam atau mungkin cinta  sama dia. Tapi jauh dari semua itu, selain rasa suka dan cinta, ada perasaan yang jauh lebih dalam yaitu rasa sayang. Sayang tidak pernah cepat hilang secepat cinta pergi. Perasaan sayang tidak pernah cepat berubah. Perasaan sayang bisa membuatmu berkorban untuk orang yang kamu sayangi. Mau menderita demi kebahagiaan orang yang kamu sayangi. Cinta ingin memiliki, tapi sayang hanya ingin melihat orang yang di sayangi bahagia walaupun harus kehilangan…”

            “So puitis kamu.”

            “Masih belum nyadar ya kalau  kakakmu ini adalah seorang pujangga besar.”

            Sabila manyun seperti siput. Tapi kata-kata Ghisa meresap dengan lembut dan sejuk ke sela-sela hati Sabila yang gersang.

            “Allah sayang banget sama kamu, Akan tetapi kadang ketika kita minta pada Allah bunga yang segar. Allah malah memberi kita kaktus berduri. Ketika kita minta kepada Allah binatang mungil, Allah malah memberi kita ulat berbulu. Dan akhirnya kita malah bersedih, protes dan kecewa. Mungkin kita berpikir bahwa Allah tidak adil pada kita. Tapi akhirnya…kaktus itu berbunga indah. Ulatpun berubah jadi kupu-kupu cantik.

            Itulah jalan Allah Sabila, indah pada waktunya. Allah gak ngasih yang kita harapkan, tapi Allah beri apa yang kita butuhkan. Kadang kita sedih, kecewa…tapi diatas segalanya, Allah sedang merajut yang terbaik untuk kehidupan kita.”

            Sabila menatap lekat-lekat wajah Ghisa yang bercahaya. Setelah sekian lamanya tidak bertemu, akhirnya Sabila bisa melihat senyum Ghisa lagi, mendengar kata-kata mutiaranya yang terkesan seperti menggombal tapi indah dan menyejukan.

            “Mau tahu cara ngobatin patah hati ala  Sabila?”Tanya Sabila

            “Aku tahu, banyak baca Al-Qur’an, banyak dzikir, terus nonton kartun Upin dan Ipin, beres-beres kamar, latihan karate, banyak makan, ngulek sambel, ngedengerin lagu-lagu metal  kayak lagu Linking Park, Scorpion, Avril Lavigne…”

            “Nah itu kamu tahu”

            “Ngobatin patah hati itu pake lem power Glue non, gak harus ada tangis bukan, life its so simple OK !!” ucap Ghisa

            Tawa merekapun pecah. Namun, masih dengan senyum manisnya Ghisa menatapku dan melepas dengan pelan tangan mereka yang sebelumnya saling bertaut dan tergenggam dengan erat. Ghisa menjauh, berjalan pelan menjauhi Sabila.

            “Kak Ghisa jangan pergi…”

            Ghisa mengacuhkan seruan Sabila. Dia terus berjalan menjauh hingga bayangannya hilang dari tatapan Sabila.

            “Kak Ghisa kamu mau kemana lagi…?”

            “Selamat tinggal  Sabila…” Ghisa melambaikan tangannya pada Sabila dan terus memanggil-manggilku dari kejauhan.

“ Sabila…Nyi Blorong….Nyali tempe, Putri tidur!!!”

            Sabila terkesiap dan terbangun dari tidurnya. Saat dia membuka mata, ruangan kelas sudah sepi. Tinggal tersisa Sabila   dan Sahdam.

            “Molor aja kamu kerjaannya, mau pulang gak?” Sahdam duduk di samping Sabila. “ Ya udah kumpulin nyawa dan cuci muka dulu sana!”

            Sabila berjalan gontai keluar kelas dan memutar keran air lalu membasuhkannya kewajah Sabila yang kusut ini.

            “Sekarang kamu udah balik lagi jadi tukang molor kayak dulu dan nilai matematika kamu juga jadi jeblok lagi, kenapa sih, gara-gara aku ya?” Goda Sahdam.

            Sabila menanggapi Sahdam datar. Sama seperti yang pernah dia lakukan saat tahu ajaran baru dulu. Memasang wajah datar saat Sahdam minta diri untuk sebangku dengan Sabila.

            “Disaat aku membutuhkan orang yang mau mendengarkan keluh kesahku, sahabatku malah menjauh…”

            “Gak nyadar apa, seharusnya aku yang ngomong kayak gitu sama kamu! Sahdam yang kulihat sekarang benar-benar bukan Sahdam, tapi orang lain!”

            “Sekarang…aku gak mau ngucapin kata maaf sama kamu, karena kesalahanku kemarin memang tak termaafkan. tapi aku ngerasa gak nyaman, aku gak tahan di diemin sama kamu, aku ngerasa di musuhin. Gak ada apa-apa antara aku dengan Hani. Dia cuma salah paham sama sikapku selama ini sama dia. Hani mulai nyerah mengejarku setelah aku ngomong ke dia kalau selama ini aku sudah menutup hatiku karena udah ada gadis lain yang mengisi hatiku. Dia masih ada di hatiku sampai sekarang dan masih belum tergantikan oleh siapapun. Gadis istimewa yang membuat aku nolak banyak cewek.”

            “Jangan bikin aku penasaran, katakan siapa dia?”

            Sahdam mengeluarkan handponenya.

“Entar aja deh, aku takut tumor otak kamu langsung kambuh setelah lihat cewek ini saking cemburunya.” 

“Ugh! Dodol!! Kege-eran lo!.”

Senyum, canda dan tawa kembali mewarnai obrolan mereka saat ini.

 Hmmm….mungkin lebih baik seperti ini, lebih nyaman seperti ini, lebih indah seperti ini. dan kita tetap terikat dalam jalinan indah persahabatan. kalau boleh aku meminta, aku ingin Sahdam menganggapku lebih dari seorang sahabat. Seberapa letihpun hatiku, yang penting aku mulai bisa merasakan rasa itu kembali. Rasa terindah yang pernah kualami untuk kesekian kalinya. Sahdam make my heart sing again, sing the love song everyday. Kau sangat dekat, kau sangat dekat denganku. I’m always feel calm down, funny, happy and nervous if I nearby with you…

Kita selalu bertemu setiap hari. Karena kau adalah teman sekelasku…bahkan sahabatku who always see my eye until the bottom of my heart. Still singing, still singing oh my heart. Tetaplah menyanyikan namanya setiap hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar