Selasa, 24 Agustus 2010

1. Dekapan Erat Cinta-Nya

Saat itu, bintang menghiasi langit malam. Dan di bawah butir-butir intan bercahaya yang tersebar di atas beludru hitam itu, Jessica berlari sangat kencang menyusuri gang-gang rumah yang sempit dan gelap. Jessica tak melepas pandangannya ke belakang untuk memastikan apakah dia masih di kejar-kejar atau tidak. Suara letusan senjata api milik aparat polisi yang di tembakan ke langit sama sekali tidak di indahkannya. Mungkin jaraknya dengan polisi-polisi itu berkisar dua ratus meter. Hingga akhirnya, gadis berusia 15 tahun itu menemukan sebuah masjid. Dan dengan desahan nafas yang memburu, Jessica mengendap-endap menyusuri dinding masjid. Tiba-tiba, tanpa Jessica duga sebuah lengan menarik tangan Jessica dengan kuat. Di tengah kegelapan, terlihat sosok lelaki bertubuh tinggi menarik Jessica masuk ke dalam masjid yang sudah lengang dari para jama’ah.
“Eh, siapa lo!?” Jessica berteriak ketakutan.
“Ini, cepat pakai mukena ini dan duduk!” Perintah lelaki itu sambil menyodorkan sebuah mukena pada Jessica.
Otak Jessica menangkap bahwa sepertinya lelaki itu sedang berusaha untuk menolongnya dari kejar-kejaran polisi. Tidak berapa lama kemudian, aparat polisi berlari melintasi masjid itu. Salah seorang diantara polisi-polisi itu berhenti tepat di depan masjid. Dia melihat kedalam masjid ada seorang wanita yang sedang melakukan shalat.
“Hmmm mungkin, shalat tahajud…” gumam polisi itu. Lalu diapun menyusul rekan-rekannya.
Di dalam masjid. Setelah situasi dirasa aman, Jessica langsung melepas mukena yang di kenakannya dan menjabat tangan lelaki itu kuat-kuat. Rasa bahagia muncul di tengah ketakutan yang mencengkram hati Jessica.
“Thanks ya, udah nolongin gue dari cengkraman mereka. Siapa nama lo?”
“Aku Ghisa. Alhamdulillah, berterimakasihlah sama Allah karena sejatinya Dialah yang telah menyelamatkanmu dari kejahatan preman-preman itu.”
“Preman?” kedua alis Jessica beradu.
“Ya, preman…”
Jessica menunduk dan membisu sejenak.
“Hahaha…..hahahha….” Jessica malah tertawa lepas. Namun Ghisa malah menutup hidungnya karena tidak kuat mencium bau alkohol yang berasal dari mulut Jessica.
“Yang preman itu gue tahu, dan mereka itu para polisi yang nyamar jadi preman!”
“Ja, jadi…aku sudah menyembunyikan seorang penjahat?”
“Enak aja lo ngatain gue penjahat! Tampang boleh preman, tapi hati bak malaikat.” Ucap Jessica dengan bangganya.
“Aku menyesal…lebih baik aku panggil lagi para polisi itu, dari pada harus menyembunyikan buronan polisi seperti kamu.” Ucap Ghisa dengan nada kesal. Lalu diapun keluar dan berusaha menghubungi polisi. Jessica mencegah Ghisa dan dari belakang berusaha melumpuhkannya dengan melayangkan pukulan pada kepala lelaki itu. Namun tanpa di duga, rupanya Ghisa sudah membaca gerakan Jessica lalu Ghisa menangkap lengan Jessica dan membantingnya ke lantai.
“AKH!!!” Jessica mengerang kesakitan. Keadaan benar-benar terbalik. Sekarang malah Jessica yang berhasil di lumpuhkan oleh Ghisa.
“Maaf, tapi aku tidak mau menyakitimu.”
“Le-lepasin gue….tolong, gue mohon…” pinta Jessica dalam ketidakberdayaannya.
Sementara di lain tempat.
Roy dan teman-temannya berhasil di bekuk polisi. Mereka semua duduk berjajar di ruang pemeriksaan untuk di interogasi.
Jess, mudah-mudahan lo selamat…batin Roy.
***
“Apa-apaan ini? Kau buang kemana uangmu? Kenapa rekeningmu bisa kosong begini. Apa dua puluh juta sebulan masih belum cukup?” Tanya Yohanes, yang tiada lain adalah papa Jessica. Untuk kesekian kalinya Jessica di interogasi oleh papanya yang dia kenal tegas dan tak kenal kasih itu.
“Jess, udah… menyumbangkan semua uang Jess ke gereja pa.” Jessica berucap setengah menggumam.
“Bohong!!” Teriak Yohanes sembari mendorong Jessica hingga putrinya itu terjatuh ke lantai.
“Bener pa…” Jessica berusaha berkilah
“Kau gunakan uangmu untuk menebus teman-teman satu genkmu dari penjarakan?”
“Kenapa papa nyangka begitu?”
“Papa tahu dari Bram!”
Dasar tukang ngadu. Batin Jessica.
“Mulai sekarang, kau tidak boleh lagi latihan karate, tidak boleh keluyuran tiap malam, balapan motor, juga bergabung dengan teman-teman gengstermu itu!” Yohanes berkacak punggang di depan Jessica. Kedua bola matanya menatap Jessica nanar.
“Tapi pa…” Jessica menundukan pandangannya pada ujung sepatu papanya. Takut kalau papanya melayangkan tendangan pada Jessica.
“Ingat Jessica, kau itu baru sembuh dari ketergantungan narkoba, kau baru pulang dari panti rehabilitasi. Kau berubah setelah berteman dengan anak-anak berandalan itu.”
“Ok, Jess akan meninggalkan semuanya, tapi jangan karate. Jess sekarang sudah sabuk hitam, jadi Jess sayang banget kalau harus meninggalkan karate pa.”
“Sekali tidak, tetap tidak! Kau tak mengerti kata tidak? Papa ingin kamu menjadi pendeta, bukan jadi preman!!”
BRAKKH!!!
Suara pintu kamar Jessica di banting dengan keras. Jessica lalu berlari dan membuka pintu kamarnya. Ternyata terkunci dari luar. Di bukanya dengan paksa pintu kamarnya itu. Namun percuma. Jessicapun diam termangu, lalu dia duduk bersandar di pinggir ranjang. Matanya menatap kosong langit-langit kamarnya yang luas. Bernafas lega karena kali ini mungkin papanya sudah capek melayangkan kekerasan fisik pada Jessica karena aksi liarnya.
“Lagi-lagi gue di sekap! Sialan!” dengus Jessica geram.
Tapi Jessica tidak kehilangan akal. Dibukanya jendela kamarnya lalu dengan lincahnya Jessica keluar melewati Jendela dan meloncat ke bawah. Seperti maling, Jessica berjalan mengendap-endap menuju garasi dan menyusuri deretan mobil mewah milik papanya. Matanya tertumpu pada sebuah motor GP 250 CC berwarna biru tua yang berdebu.
“Kak Debora…Jess pinjam motornya ya?” Jessica bergumam sendiri. Ada sosok tomboy Debora yang muncul dalam benaknya. Jessica tersenyum riang menatap motor kesayangannya itu. Gadis itu seakan tersenyum pada bayangan kakak perempuannya yang bersemayam dalam motor itu. Itulah yang sering Jessica lakukan ketika dia merindukan Debora, kakak perempuannya yang telah meninggal tiga tahun yang lalu.
***
Dalam cuaca siang hari di kota Jakarta yang terasa sangat menyengat kulit. Gerombolan genk motor berkonvoi di jalanan. Lalu mereka memarkirkan motornya di depan sebuah masjid. Jessica ada diantara mereka. Kedatangan mereka telah menyita perhatian para jamaah masjid. Beberapa saat kemudian, seorang lelaki yang Jessica cari keluar dari dalam masjid dan mendekati Jessica.
“Gue gak mau nerima kebaikan secara cuma-cuma, jadi…nih ada sedikit duit buat lo.” Ucap Jessica tanpa basa-basi. Lalu Jessica menyodorkan sebuah amplop coklat berisi uang kepada Ghisa yang sudah membantu Jessica lepas dari kejaran polisi itu.
“Maaf, simpan saja uangmu itu. Aku tidak butuh!” ucap Ghisa dengan tenangnya. Ghisa lalu berpaling dan melanjutkan kesibukannya.
“Eh, Lo mau cari ribut ya sama bos gue! uang segitu nggak bakalan bikin uang dia habis kok!” ujar anak buah Jessica dengan sangarnya. Sementara anak buah Jessica yang lain sudah memberikan ancang-ancang untuk menghajar lelaki itu.
“Terima uang itu, atau lo masuk rumah sakit hari ini!” ancam Roy sambil mengacungkan ujung jarinnya di ujung hidung Ghisa
“Roy berhenti!” cegah Jessica, dia lalu mendekati lelaki itu. “Apa ada cara lain yang bisa aku lakukan buat membalas jasa baikmu pahlawanku?”
Ghisa berfikir sejenak. Dia memperhatikan para jamaah masjid yang menonton dirinya dan para anggota genk motor itu.
“Baiklah, tapi …aku tidak memaksa.”
“Apa itu?” Tanya Jessica.
“Bantu aku…membersihkan masjid ini hari ini saja.”
Para anggota genk motor itu saling berpandangan setelah mendengar permintaan Ghisa.
“Jess, fikir-fikir dulu permintaan dia, ke gereja aja lo udah males, apalagi ngebersihin masjid? Ini penghinaan buat lo. ” bisik Roy.
“Ok! Gue terima.” Ucap Jessica mantap tanpa mempedulikan perkataan Roy. Di bawah komando Jessica, semua anak buahnya langsung membersihkan masjid. Sementara dengan angkuhnya, Roy hanya diam menonton sambil bersandar di motornya.
“Lo kan muslim Roy, masa ngebersihin masjid aja lo males, malu dong sama gue” ejek Jessica.
Di tengah kegiatan membersihkan masjid itu, Jessica memberanikan diri mendekati Ghisa yang sedang membetulkan letak buku-buku di perpustakaan masjid.
“Kenalin, gue Jessica, hmmm…sebenarnya lo ini kerja apa sih? sampai bisa standby terus di masjid ini?”
“Aku marbot atau tukang bersih-bersih di masjid ini. Sambil mengajar ngaji anak-anak di sekitar kompleks masjid ini.” Jawab Ghisa beriring senyumnya yang tulus. Lalu dia berpaling dari Jessica. Selama keberadaan Jessica di masjid itu, Ghisa selalu menjaga jaraknya dari gadis tomboy yang urakan itu.
“Tu-tunggu dulu, hmm…boleh gue minta pertolongan lagi dari lo?”
“InsyaAllah aku bisa membantu, selama pertolonganku itu tidak pada jalan yang di haramkan Allah.”
“Tolong…bantu gue buat nemuin, sesuatu yang selama ini gue cari. Yang belum gue dapat dalam agama gue.”
“Sesuatu yang kamu cari, apa itu?” kedua alis Ghisa terangkat.
“Gue sendiri kagak tahu yang gue cari itu apa.” Dengus Jessica
“InsyaAllah…”
***
2 tahun kemudian
Pada malam natal, Jessica menyisiri rambut panjangnya yang terurai manis di punggungnya. Jessica tampak cantik dengan gaun baru berwarna biru muda kesukaannya yang tampak sangat serasi dengan ukuran tubuhnya. Malam ini, tak ada lagi Jessica yang tomboy, tak ada lagi Jessica yang urakan dan tak ada lagi Jessica yang kumal. Setiap tahun, Jessica selalu mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk menciptakan penampilan yang berbeda di malam yang istimewa baginya sebagai pemeluk Kristiani. Dan itu sudah menjadi kebiasaan atau tradisi bagi keluarganya.
“Jessica, cepat dong dandannya. Acara misa sudah tinggal setengah jam lagi. Bisa terjebak macet kita nanti.” Ujar Maria yang sudah berdiri di ambang pintu kamar Jessica.
“Iya ma bentar…” ucap Jessica sambil mengenakan sepatu balet berwarna krim yang membuat penampilan Jessica semakin terlihat manis. Jessica sadar, kalau malam ini dia terlihat cantik sekali.
“Anak mama cantik sekali…” puji Maria dengan mata berbinar.
“Kau tidak boleh kabur lagi Jessica! Ini kesempatan terakhirmu!” Ucap Yohanes dengan tampang sangarnya.
“Papa ini gimana sih, ya nggak dong…Kali ini Jessica nggak bakalan ngecewain papa. Jessica nggak sabar untuk segera menghadiri malam misa, lalu memegang lilin di tangan sambil menyanyikan lagu-lagu kudus.” Tukas Jessica.
“Kita ke Gereja katedral sekarang.” Ucap Maria.
“Katedral, apa nggak kejauhan pa, ma??” Tanya Jessica.
Tapi orangtua Jessica sama sekali tidak mempedulikan kata-kata putrinya.
***
Jessica dan kedua orangtuanya memasuki ruangan gereja Katedral. Gadis itu memaksakan dirinya untuk terlihat gembira di depan kedua orangtuanya.
“Wah…indah banget malam ini ya ma?” Ucap Jessica sumringah.
“Kau menikmatinya sayang?”
“Tentu dong ma…hmm…aduh mah, Jessica kebelet nih, pengin pipis.”
“ya sudah biar mama antar ke toilet ya?”
“Nggak usah ma…Jess bisa sendiri kok.”
Jessica melesat berlari ke toilet dan meninggalkan kedua orangtuanya yang sudah duduk di barisan terdepan. Namun Jessica malah berbalik arah menuju halaman Gereja Katedral yang luas dan berdiri di ambang pintu gerbang. Banyak sekali orang-orang yang menyesaki tempat itu. Lalu, tatapan mata Jessica tertuju ke sebrang sana. Masjid Istiqlal yang berdiri dengan megah itu seakan menunggu kedatangan Jessica.
Jessica menyebrang jalan dan menerobos lalu lalang kendaraan. Perlahan Jessica melangkahkan kakinya ke masjid itu. Semakin lama langkahnya semakin cepat dan Jessica melesat berlari untuk memuaskan gejolak hatinya dan ketidak sabarannya untuk menuntaskan keinginannya. Hingga akhirnya, Jessica mendekati seorang lelaki yang sedari tadi sudah berdiri di ambang gerbang masjid Istiqlal untuk menunggu Jessica. Dia Ghisa.
“Jessica sudah siap kak, masa pencarianku sekarang sudah berakhir.”
“Ini adalah sebuah keputusan terbesar dalam hidupmu Jess…”
***
“Ashaduala ilaha illallahu, wa’ashaduanna muhammadarrasulullah…”
Kalimah syahadat mengalir dengan lancar dari bibir gadis remaja SMA itu. Sebagai pertanda kemantapan dirinya untuk memeluk agama Islam. Bertepatan dengan malam natal, yang akan menjadi malam natal terakhir baginya. Jessica mengucapkan syahadat di Masjid Istiqlal dalam sebuah majlis pengajian. Banyak orang turut menyaksikan keislamannya. Beberapa waktu kemudian keislamannya di syahkan lagi. Namanyapun berganti menjadi Sabila Afiah Jessica.
“Kak Ghisa, pokoknya abis ini aku harus pakai Jilbab.” Ucap Jessica setengah memaksa pada Ghisa saat mereka duduk di tangga masjid.
“Sabar Jess, semuanya butuh proses Ok.” Ghisa menyakinkan Jessica.
“Tapi kak, tadi malam…aku bermimpi.”
“Mimpi, mimpi apa kamu Jess?” Ghisa penasaran.
“Aku melihat buku yang sangat besar. Buku itu ada salibnya. Tapi…yang aku heran kok gambarnya salib? Sebenarnya ada apa sih? Lalu ada suara yang nyuruh aku membukanya. aku bertanya-tanya, buka nggak? Buka nggak? aku takut banget. Akhirnya dengan berat aku buka. Begitu aku buka, sebuah sinar yang cerah dan putih memancar keluar. Saat aku amati itu tulisan arab.”
Jessica sama sekali tidak tahu tulisan apa yang dia lihat dalam mimpinya itu. Kemudian dia bertanya pada Ghisa. Jessica mengingat- ingat bagaimana bentuknya. Ghisa menyodorkan Al-Qur’an pada Jessica. Lalu Jessica menyamakannya dengan yang tertulis dalam Al-Qur’an.
“Ini baca’annya apa kak?”
“Ini bismillahir rahmaanirrahim…”
“Itu! Ya aku lihat tulisan itu, itu yang aku lihat dalam mimpi.” Jessica terperanjat.
“Benarkah?”
“Tapi artinya apa ya?”
“Mungkin itu menandakan bahwa sebenarnya kamu sudah muslim, tapi covernya saja masih Kristen.”
“Apa iya hatiku sudah Islam kak, tapi luarnya masih Kristen. Apa iya aku seperti itu?”
“Kamu shalat istikharah aja dulu.”
“Kak, terimakasih untuk semuanya ya. Aku mau melakukan apapun agar bisa membalas segala kebaikan kakak selama ini sama aku.”
“Aku ikhlas Jess…”
***
Malam itu, Jessica di interogasi di hadapan keluarganya, termasuk kakek dan neneknya. Kedua orangtua Jessica sangat murka mendengar pengakuan Jessica tentang keislamannya dan menyuruh Jessica untuk kembali pada keyakinannya yang semula. Tapi Jessica menolak. Tak ayal Jessica disiram air oleh mamanya.
“Tidak! aku ingin kamu jadi pendeta. Kamu sudah aku sekolahkan di sekolah pendeta. Kalau kamu masuk Islam, jangan injak rumah ini lagi!!” Begitulah jawaban yang diterima Jessica dari papanya.
Yohanes langsung melampiaskan amarahnya. Seluruh pintu rumah dan barang-barang yang ada di hadapannya dibanting. Dia benar-benar tidak menyangka putrinya telah pindah agama. Maria bertambah emosi karena Jessica tetap tidak mau kembali ke agama asalnya. Di benturkannya kepala Jessica ke tembok hingga kepalanya berdarah. Maria mengambil pisau dan hendak menusukkannya pada Jessica. Tapi urung di lakukannya. Akhirnya Jessica dipukuli dengan sabuk sampai berbekas oleh Yohanes.
“Pantas saja baru-baru ini kamu sering tidak pakai tanda salib sebelum makan, tidak pergi ke Gereja dan tidak mau merayakan natal dengan keluarga.” Sungut Maria.
“Kau sama saja seperti kakakmu Debora! Murtad karena rasa cintanya pada seorang lelaki muslim!” Yohanes geram.
“Di ujung hidupnya dia malah mengucapkan kata-kata arab itu! ” sambung Maria.
“Kau sudah mati di mata kami sekarang. Kau sudah bukan bagian dari keluarga besar kami lagi. Pergi kau dari rumah ini, Anjing bedebah!” umpat Yohanes tak kalah emosi.
“Papa…Jessica mohon.” Jessica memelas.
Papa Jessica mendaratkan pukulan bertubi-tubi ke wajah putrinya. Lalu dia menyeret Jessica dengan paksa keluar pintu.
“Aku sudah bukan papamu lagi!!”
Beberapa saat kemudian Maria mendekati Jessica, dan menatap putrinya dengan tatapan lembut penuh cinta kasih. Sepertinya naluri keibuan Maria mendorong dirinya untuk membela Jessica. Kemarahannya tadi seakan menguap begitu saja. Di hapusnya airmata Jessica dengan lembutnya.
“Putriku sayang…mama gak tega melihat kamu menderita seperti ini.” Maria mendekap erat putrinya yang gemetaran dan membenamkan wajah Jessica dalam pelukannya.
“Mama mohon…kembalilah…nak, kembalilah pada bunda Maria. Kau berasal dari keluarga yang sangat taat beragama. Jangan beri keluarga ini aib untuk yang kedua kalinya” Maria terisak.
Jessica nyaris goyah, tapi segala nasihat Ghisa agar Jessica tetap Istiqomah dalam Islam masih melekat kuat di otaknya dan tetap membuat Jessica teguh memegang prinsipnya.
Ahad Jessica…Ahad….hanya Allah Jess…
“Tidak!”
Maria terdiam, isak tangisnya terhenti. Lalu dia menatap mata Jessica Nanar.
“Setan!”
Tiba-tiba tamparan keras melayang bertubi-tubi di wajah Jessica. Namun Jessica, tidak menampakan rasa takut di wajahnya.
“Orang yang sudah murtad sepertimu memang tidak pantas di kasihani!”
“Dasar murtad!”
“Pergi!”
Seluruh anggota keluarga Jessica mendiamkannya dan memandangnya dengan tatapan mata penuh kebencian. Jessica sudah membayangkan hal ini sebelumnya. Reaksi keluarganya, kebencian mereka, penyiksaan kedua orangtuanya. Semua itu telah menyisakan rasa pedih dan sakit yang kini menggerus dan meremukan hati Jessica.
Mereka membiarkan Jessica beringsut-ingsut meninggalkan rumahnya dengan tangan kosong. Hingga akhirnya dengan sekuat tenaga Jessica berdiri dan berjalan tertatih-tatih. Pintu rumahnya yang mewah itu di banting keras-keras oleh papanya. Dan mungkin akan terus tertutup untuk Jessica selamanya…
***
“ Aku diperkosa!!”
Jessica terisak, air matanya mengalir deras, matanya menatap tajam kedua bola mata Ghisa. Jessica menggeram lalu melolong, dan menangis sejadi-jadinya. Kemudian tangan Jessica menepis dengan kasar tangan Ghisa yang hendak menghapus air matanya. Jessica terlihat mau menang sendiri dan melampiaskan kemarahannya pada Ghisa yang sedari tadi hanya bisa mematung menatap adik angkatnya yang seperti kerasukan itu.
Begitulah keadaan yang tengah terjadi saat itu antara Ghisa dan Jessica, di dalam masjid yang sudah lengang dari para jama’ah yang telah selesai melaksanakan ibadah shalat Isya. Sungguh benar-benar hal yang belum pernah Ghisa lihat sebelumnya. Hanya ketegaran, kekuatan dan keceriaan yang selalu Ghisa lihat dalam diri Jessica. Hingga akhirnya, hal yang sangat memilukan itu telah memudarkan semuanya.
“Mengapa hal itu bisa terjadi, bukankah kamu adalah seorang gadis yang sangat kuat dan pemberani?” tanya Ghisa.
“Aku ini wanita! Kau dengar? aku ini wanita yang telah ditakdirkan lemah.“ Ucap Jessica geram sambil sesekali menyeka air matanya.
“Sejak kejadian itu, tidur selalu menjadi hal yang sangat menyeramkan dalam hidupku. Karena di saat itulah mimpi buruk yang sama selalu terulang. Semuanya persis seperti yang telah terjadi. Segalanya selalu sama, selalu di malam hari. Dalam semak belukar, aku dikejar-kejar, suara tubuh lelaki yang mengejarku dari belakang, tubuhku yang terhempas ke tanah. Dan rasa sakit di perut. Begitu tajam, sangat pedih dan menyengat. Begitu nyata.
Tulang belulangku yang remuk, aku selalu berlari ketakutan seperti berhadapan dengan iblis yang mengerikan setiap bertemu dengan lelaki itu. Aku menghadapi semua ini sendirian Kak, aku takut... bila nanti perutku ini membuncit, lalu aku dikucilkan. Cukup kau dan aku saja yang tahu kak, cukup kau dan aku saja yang tahu.” Jessica terisak.
“ Katakan padaku siapa lelaki setengah binatang itu!?”
Jessica membisu, lalu menatap mata Ghisa nanar dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ghisa menggoyangkan-goyangkan kedua pundak Jessica dengan paksa.
“Katakan Jessica! cepat katakan!!”
“Dia...dia...mantan pacarku. Bahkan menyebutnya sebagai mantan pacarkupun, aku sangat jijik.”
***
Sebuah perkelahian tengah berlangsung di arena permainan billiard antara Ghisa dan Bram, seorang lelaki setengah binatang yang tega memperkosa Jessica. Mereka saling bergulat dan melayangkan tinju satu sama lain. Rupanya tenaga mereka sudah banyak terkuras. Tak satupun orang di tempat itu yang bisa melerai pertarungan sengit yang berlangsung antara Ghisa dan Bram.
“Tapi kami sangat menikmati malam itu, bung.” Bram tersenyum sinis.
“Diam! Sudah jelas kau memperkosanya.” Ghisa tersengal-sengal. “Sekali lagi aku katakan padamu!” Ghisa merengkuh ujung kerah Bram dan menghempaskan tubuhnya ke lantai.
“Kau harus bertanggung jawab!!!” teriak Ghisa, hingga sejurus kemudian Ghisa mengarahkan tinjunya ke wajah Bram. Dalam satu, dua, dan tiga kali pukulan yang diarahkan oleh Ghisa, membuat Bram langsung tergolek tak sadarkan diri.
***
Sore itu langit sudah menebarkan warna jingganya. Dan dalam pesona langit yang redup itu, Jessica termangu di tangga masjid. Di masjid yang untuk pertama kalinya Jessica bertemu dengan Ghisa, hingga akhirnya tanpa terasa 2 tahun sudah Jessica belajar agama Islam padanya. Ghisa selalu mendorong Jessica dan membantunya untuk berubah hingga Jessica mendapatkan setetes hidayah Allah. Jessica yang arogan, tak bermoral, yang tenggelam dalam kejahiliahan dan pecandu narkoba, kini sudah berada dalam dekapan erat cinta-Nya…
Di mata Jessica, Ghisa begitu sederhana, teduh, optimistis, semangatnya tinggi, perasaannya hidup, dia dicintai dengan segala ketinggian budi pekertinya. Dikenal orang jauh dan dekat. Ghisa rela mengorbankan tenaga, waktu dan pikirannya hanya untuk membantu Jessica menemukan kefitrahan dan kesucian jiwanya.
Berkat pertolongan Ghisa, Bram akhirnya telah diseret ke penjara atas pemerkosaan yang telah dilakukannya pada Jessica. Sungguh, kemarahan Ghisa hanya untuk membela yang lemah dan memerangi kebatilan. Seperti yang pernah dia lakukan pada Bram beberapa waktu yang lalu.
Usai mengajar anak-anak TPA, Ghisa mendekati Jessica yang masih tenggelam dalam lamunannya. Jessica tersenyum kecil setelah menyadari keberadaan Ghisa. Jilbab biru muda semakin menambah manis wajahnya. Raut wajahnya jauh lebih baik daripada kondisinya beberapa waktu lalu yang selalu diliputi defresi dengan kondisi kejiwaan yang nyaris terganggu.
“Bagiku…vonis hukuman penjara lima belas tahun tidaklah sebanding dengan kerugian seumur hidup yang harus kutanggung sendiri.” Ucap Jessica lirih.
“Jess, bersabarlah, hukuman seadil-adilnya yang akan diberikan Allah telah menanti Bram di akhirat sana.”
“Tahu apa Bram soal akhirat?” ketus Jessica.
“Jessica…?”
“Kenapa, kenapa harus terjadi. Tak ada kata cukupkah bagi Allah untuk mengujiku. Ketika akhirnya kemantapan niatku untuk memeluk Islam harus di bayar dengan kebencian dan penyiksaan kedua orangtuaku. Yang tega mengusirku bak anjing rabies penuh najis. Lalu hal yang memilukan itu, terenggutnya kesucianku, terjadi setelah aku memantapkan diri untuk menutupi seluruh auratku dan ketika aku mantap untuk menjilbabi rambutku…”
“Ya Allah…Jess, ikhlaskanlah. Ini semua adalah ujian pembuktian kecintaan Allah padamu.”
Jessica dan Ghisa duduk berhadapan. Antara yakin bercampur ragu, Ghisa mengangkat tangannya pelan dan hendak mendaratkannya di pipi siswi kelas satu SMA itu. Namun urung di lakukannya. Lalu Ghisa menyodorkan saputangan pada Jessica dan gadis itu menerimanya.
“Kak Ghisa, sekali lagi aku mohon, bawa aku pergi. Kemanapun kau mau. Aku tidak tahan terus-menerus ditekan dan diteror oleh keluargaku di sini. Mereka masih mengancamku dan mencari keberadaanku, aku masih belum tenang karena harus berpindah-pindah tempat tinggal terus. Terutama papa yang masih membangga-banggakan Bram. Dia akan menebus Bram dari penjara agar menikahiku. Tapi dengan syarat aku harus kembali pada keyakinanku yang semula.
Tapi aku tidak mau menggadaikan akidah yang sudah kudapat dengan susah payah ini. Aku ingin pergi kak Ghisa, aku ingin lebih meningkatkan ilmu agama. Aku kasihan pada ustadzah Siti yang malah ikut menjadi korban kejahatan papa.”
“Maksudmu?”
“Papa sudah mencium keberadaanku. Dan dia tahu kalau aku tinggal di panti asuhan itu. Lalu anak buah papa datang dan mengobrak-abrik panti asuhan untuk mencariku. Untuk kembali menggoyahkan akidahku. Ustadzah Siti menyembunyikanku di gudang. Dan mereka mengancam ustadzah Siti sambil menodongkan pistol. Semua anak-anak yang ada di panti asuhan itu menjerit ketakutan. Hingga akhirnya mereka memukuli ustadzah Siti sampai pingsan.”
“Masya Allah…”
“Aku ingin pergi jauh untuk mempelajari keindahan ajaran Islam. Aku harus pergi Kak Ghisa, tolong bawa aku. Aku akan memenuhi apapun yang kau mau demi membalas semua jasa-jasamu.” Pinta Jessica.
“Aku ikhlas Jess…”
“Itu lagi, itu lagi!!” Ucap Jessica menahan rasa kesal. “Kenapa selalu kata-kata itu yang kau ucapkan?”
“ Sebenarnya…” ucapan Ghisa tertahan. “Aku punya satu keinginan darimu, namun bilamana kau tahu siapa diriku yang sebenarnya, kau pasti akan langsung membenciku, otomatis kau tidak akan mau memenuhi apa yang aku inginkan.”
“Diri kak Ghisa yang sebenarnya? Memangnya Kak Ghisa ini siapa, Jess gak ngerti?? Jelasin dong kak!”
“ Kupikir itu tidak penting.”
“Penting! Bahkan sangat penting!”
“Aku ya aku Ghisa!”
“Jess, gak percaya!”
“Kamu akan menyesal Jess, kamu akan membenciku dan menjauhiku.” Ungkap Ghisa. Dan mungkin malah akan semakin menambah rasa penasaran Jessica.
“Maksud kakak?” mata Jessica yang tajam menyoroti mata Ghisa.
“Namaku bukan Ghisa, tapi Abdul Malik Amarullah, aku lulusan Universitas Al-Azhar Qairo. Aku adalah pemimpin pondok pesantren Gontor. Namun, lantas kutinggalkan tanggung jawabku itu, karena aku masih ingin memuaskan rasa dahagaku akan menuntut ilmu. Aku ingin mencari kemulyaan akhirat dengan cara bermuhibah ke seluruh Indonesia. Alhamdulillah, selama dalam muhibbahku itu, telah banyak orang-orang non muslim yang tertarik akan keindahan ajaran Islam dan memantapkan niat untuk memeluk agama Islam, termasuk kamu. Dan bagiku mereka semua hanyalah… objek tanggungjawabku.”
Mata Jessica menatap mata Ghisa nanar, Ghisa mulai merasakan bahwa hati Jessica pasti tergores setelah mendengar pernyataan Ghisa barusan.
“Dan kali ini aku malah terjebak, aku kurang berhati-hati setelah bertemu denganmu. Kamu tahu apa yang sangat aku harapkan darimu?”
“Apa?”
“Aku ingin memperistrimu, kaulah tujuan hidupku…” ucap Ghisa sambil menundukan kepalanya dalam-dalam.
Tiba-tiba sekali Jessica memegang perutnya. Jessica berlari menjauhi Ghisa, lalu Jessica berusaha mengeluarkan semua isi dalam perutnya. Ghisapun segera mengikuti Jessica dari belakang dan hendak memijit-mijit tengkuk Jessica, tapi dengan kasar Jessica menepis tangan Ghisa.
“Kau lihat sendiri kak, kau sudah melihatnya dengan mata kepalamu sendiri. Ketakutanku selama ini telah terjadi. Dan kau tahu itu artinya apa, itu artinya…aku terlalu kotor untuk seorang lelaki suci sepertimu! Lelaki suci yang telah tega membohongiku dan mempengaruhiku hingga aku harus kehilangan orang tuaku dan masa depanku.”
“Jessica, dengarkan dulu penjelasanku. Aku tidak akan pernah membiarkanmu menghadapi semua ini sendiri. Tolong ijinkan aku…ijinkan aku untuk menjadi ayah bagi bayi yang ada dalam kandunganmu. Aku ingin menjaga kehormatanmu.”
Dan aku juga sangat mencintaimu. Batin Ghisa
“Tidak!!”
“Jessica!?”
“Diam, aku tidak mau mendengar kata-katamu lagi, kau tega membohongiku, aku benci kamu! Aku sangat benci sama kamu!!”
Jessica segera berlari menjauhi Ghisa sejauh mungkin. Jessica pergi setelah dengan kasar melepas dan melemparkan jilbab pemberian Ghisa yang sedang dikenakannya begitu saja pada Ghisa.
***
Jessica menghentikan langkahnya di depan pintu gedung panti asuhan. Sebelum masuk, Jessica menghapus terlebih dahulu peluh keringat dan air mata yang menyatu di wajahnya. Dia melihat tempat di sekelilingnya. Takut kalau tiba-tiba anak buah papanya yang tidak kenal ampun itu menangkapnya.
“Jessica…kamu Jessica?”
“Tazah Siti?” Jessica terkesiap
“kau kemana saja sayang, ibu nungguin kamu dari tadi. Lho kemana jilbabmu?”
“Lupakan saja bu, aku udah nggak sudi memakai jilbab pemberian Ghisa.”
“Kenapa kau bicara seperti itu?”
“selama ini ternyata dia punya maksud terselubung. Sekarang di mataku dia tak ada bedanya dengan misionaris Kristen!” Geram Jessica.
“Jessica, jaga bicaramu!” tegas ustadzah Siti
“Itu kenyataan bu. Dia membohongiku tentang jati dirinya yang sebenarnya. Dia bukan Ghisa! Sang marbot masjid dan sang guru TPA yang selama ini kita kenal. Tapi Ustadz Abdul Malik Amarullah. Pemimpin pondok pesantren Gontor, lulusan Al-Azhar, Kairo. Dia menganggap aku hanya sebagai objek tanggung jawabnya.”
“Astaghfirullah…mas Ghisa…”
“Lalu dengan wajah memelas dia mengemis-ngemis dan memintaku menjadi istrinya. Dan dia ingin menjadi ayah untuk bayi yang ada dalam kandunganku. Menjadi ayah dari anak Bram keparat itu.” Emosi Jessica memuncak.
“Jess, bisa kau ulangi kata-katamu barusan, kamu…hamil?”
Jessica kelepasan bicara. Tanpa sengaja dia telah membongkar rahasia yang ditutup-tutupinya dari ustadzah Siti.
“Maafkan aku bu…aku…aku…”
“duduklah dulu nak, tenangkan hatimu…sekarang mari bicara dengan kepala dingin.”
“Aku bingung bu…jalan di depanku sekarang tampak gelap. Masa remajaku hancur. Aku sudah tidak bisa melanjutkan mimpi-mimpiku.”
“Sssst…siapa bilang begitu, kebahagiaan adalah hakmu. Kau masih berhak meraih mimpi-mimpimu.”
Ustadzah Siti membenamkan Jessica kedalam pelukannya.
“kau harus tetap bermimpi, karena jika kau tidak bermimpi, bagaimana mimpi itu bisa menjadi kenyataan.”
“tapi berani bermimpi berarti berani kecewa bu…”
“Dan kalau kita berani kecewa, berarti tinggal selangkah lagi mimpi itu terwujud.”
“Maafin aku bu…aku udah banyak merepotkan ibu. Terimakasih karena ibu sudah merawatku seperti anak ibu sendiri.” Jessica terisak.
“Itu karena ibu sayang kamu Jessica…”
“Aku belum pernah merasa sedamai dan setenang ini. Bahkan di peluk oleh mama kandungku sendiri aku tidak pernah merasa sedamai ini. Meski aku dekat dengan mereka, tapi selalu tercipta jarak yang jauh. Semua yang kuputuskan selalu salah. Semua yang kubicarakan selalu salah. Tak ada pengakuan, aku seperti tak dianggap sebagai anak. Setidaknya ada pengakuan. Hingga akhirnya aku mencari kebahagiaanku sendiri. Dengan caraku sendiri. Paginya sekolah pendeta, malamnya aku berkeliaran di kehidupan malam. Saat aku bergabung dengan para pesakitan itu, saat aku berada di jalanan, saat aku menggunakan narkoba dan minuman-minuman, saat itulah aku menemukan diriku yang sebenarnya.
Hingga akhirnya, polisi menggrebek pesta narkoba yang di lakukan oleh genk-ku. Aku berhasil lolos. Tapi polisi masih mengejar-ngejarku. Lalu aku menemukan sebuah masjid. Saat aku mengendap-endap masuk, tiba-tiba seseorang menarik lenganku. Mengetahui kalau aku di kejar-kejar polisi, dia menyuruhku mengenakan mukena, lalu memberiku tasbih dan menyuruhku menutup wajahku pura-pura berdoa.”
“Dia Ghisa?”
“Ya, tapi aku nggak kapok bu. Aku masih menikmati hidupku yang baru, hidupku yang liar dan penuh tantangan. Hingga akhirnya aku punya hobi baru. Setiap habis balapan, aku selalu pergi ke masjid itu. Dan memberikan apapun yang kuanggap bisa membalas jasa kak Ghisa. Tapi dia menolak. Lucunya, anak-anak buahku sampai nyaris mengeroyok dia karena dia bersikukuh tidak mau menerima uang dari mereka.”
“Kamu menyuruh anak-anak genkmu itu.”
“Nggak ada cara lain. Abis aku nggak suka nerima kebaikan secara cuma-cuma. Tapi aku langsung nerima begitu saja ketika kak Ghisa cuma minta aku membersihkan masjid untuknya seharian. Dari sehari, esoknya aku datang lagi, esoknya lagi, begitu dan begitu seterusnya.”
“Untuk sementara kau harus tetap bertahan dan melahirkan anakmu di panti asuhan ini. Di Bandung Ibu punya kakak, dia seorang pengasuh pondok pesantren dan juga guru di sebuah SMA. Ibu menyarankan agar kau hijrah kesana untuk belajar ilmu agama dan melanjutkan sekolah.”
“Lalu anakku?”
“Percayakanlah dia padaku, ibu akan mengasuh dan membesarkannya di sini.”
“Aku selalu percaya padamu bu, Kau adalah ibu sejati bagiku…”
***
Berkali-kali Jessica merubah posisi duduknya saat pengajian. Kakinya sudah sangat pegal. Rasa kantuk sudah tidak bisa ditahannya. Baginya aula tempat mengaji ini masih terlalu sempit untuk menampung ratusan santri. Saat para santri sedang serius mengartikan kitab kuning, Jessica hanya bisa diam melongo.
Jessica datang ke pesantren ini hanya dengan berbekal selembar kertas yang dititipkan oleh ustadzah Siti. Kertas itu di berikan kepada sang pemimpin pondok pesantren, beliau bernama pak Imron, pak Imron langsung mafhum dan menyambut kedatanga Jessica dengan suka cita. Lalu menyuruh seorang santri senior untuk mengajak Jessica masuk ke asrama putri. Awalnya semua santri memandang aneh Jessica karena dia masuk ke area pesantren dengan pakaian yang masih kurang Islami. Terkecuali salah seorang santri bernama Tatu.
“Assalamualaikum, nama teteh siapa?”
“Wa’alaikumsalam…aku? Namaku…namaku Sabila Afiah.”
Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar