Selasa, 24 Agustus 2010

5. Yang Lemah Itu...

Dorongan hasrat kemanusiaan Sahdam sekarang memang sudah tidak bisa di tolerir lagi, tak peduli siang atau malam, badai tornado menerjang dan jemuran tetangga beterbangan…Lho!? Tidak peduli apakah malam sudah sangat larut, tak peduli apakah barusan anak-anak satu tenda menceritakan penampakan-penampakan gaib yang bermunculan di sekitar tempat perkemahan yang ada di tengah hutan ini.

Aku tak peduli, aku tak peduli, aku pemberani, karena aku adalah lelaki sejati! yang penting hasrat ini terpenuhi, setelah itu pergi!! Dan kembali terbuai mimpi.

Semua peserta OSIS Camp  sudah terlelap dalam tidurnya. Dengan langkah terburu-buru Sahdam segera meluncur  ke kamar  mandi.   Na’as Sahdam lupa memakai kacamatanya, sementara   lampu di kamar mandi ini mati. Dia jadi tidak bisa melihat dengan jelas. Bahkan letak daun pintu saja Sahdam tidak  tahu.

“Arrrgghhh…..!!!! “

Sahdam membuka engsel pintu, ternyata pintunya terkunci dari dalam.

Kurang asem! Ada yang mendahuluiku.

Sahdam menggedor-gedor pintu, namun tak ada jawaban. Lalu dia menanyakan siapa gerangan yang sedang menabung di dalam. Tapi masih tak ada jawaban. Sahdam mencoba untuk bersabar, diapun menunggu dalam diam.

Apa daya, tak ada lagi tempat untukku mengadu, selain padamu  kamar kecilku tersayang. Siapakah gerangan di dalam? Sebegitu tegakah kau membuatku menunggu lama, masa sih aku nyumbang di alam terbuka?

Dalam  penantian Sahdam, sayup-sayup telinganya menangkap suara tangisan yang sangat menyayat hati, tangisan lirih yang pilu. Semakin lama telinga Sahdam menangkap dengan jelas kalau itu adalah suara tangis seorang wanita. Tangis yang tertahan seakan tidak ingin terdengar oleh siapapun. Disertai dengan desahan nafasnya yang sangat berat. Dan sumber suaranya berasal dari dalam kamar mandi ini.  Sahdam langsung bergidik, bulu kuduknya berdiri, kedua bola matanya nyaris keluar semua saat engsel pintu kamar mandi bergerak-gerak sendiri, lalu pintunya berderit pelan dan terbuka. Meskipun rasa takut Sahdam lebih besar dari rasa penasarannya, Sahdam tetap ingin mengetahui siapa sebenarnya wanita misterius yang menangis di dalam kamar mandi ini.

“Sahdam…?” ucap sosok wanita itu pelan. Wujudnya tak kelihatan karena menyatu dengan kegelapan di kamar  mandi.

 Dia mengenalku, ha-hantu ini mengenalku? Dia ngefans sama aku? Selama aku camping di sini dia pasti telah mengincarku. Ugh! kalau bukan karena mata bathinku dibuka, pasti aku nggak akan ngelihat setan terus….

 Sahdam berdiri mematung, berulangkali memukul-mukulkan senternya yang tiba-tiba mati. Meski tak melihat dengan  jelas, tapi Sahdam bisa merasakan sosok  gelap itu mendekatinya, dia terus mendekati Sahdam, seakan dia ingin menghimpit lelaki berkacamata itu ke tembok lalu melumatnya bulat-bulat.

“Sahdam…?” panggil sosok itu yang masih terisak. Sahdam langsung terduduk lemas di lantai. Sementara suaranya tercekat di tenggorokan.

“Arrrrrgggghhhhh Tolooooong…..” teriak Sahdam.

“Sahdam ini aku, Sabila!”

***

            Hari sudah hampir pagi, mereka berdua masih duduk di atas batu besar itu. Apa sajakah yang telah mereka lakukan selama berdua dari tadi malam sampai jam tiga dini hari ini? Apa sajakah? Ternyata hanya duduk dan tenggelam dalam kebisuannya masing-masing.

Masih belum tenangkah fikiran  Sabila, masih belum redakah tangisnya. Hmmm…dari awal aku ketemu dia. Dia selalu saja menyendiri. Gak peduli apakah  tempatnya angker atau nggak.

Meski tak minta di temani, tapi Sahdam tak tega membiarkan Sabila duduk sendirian. Meski Sabila berkata sudah terbiasa sendiri di sini, tapi Sahdam takut terjadi apa-apa padanya.

            “Aku kesepian, aku terasing di hadapan mereka semua. Tak dianggap kalau selama ini aku ada di tengah mereka.”

            Hanya kalimat itu, untuk malam  ini hanya kalimat itu yang berhasil Sabila katakan pada Sahdam, tak lebih.

Irrrrrritt sekali!

            “Hanya itu!?”

            “ya, hanya itu. Aku rasa aku gak harus capek-capek ngomong panjang lebar. Bukankah hanya dengan sekali menatap mataku kau bisa langsung tahu segala hal yang ada dalam fikiranku?”

            “Iya sih, tapi bukan berarti setiap aku pengin tahu masalah setiap orang aku harus menatap matanya!”

             “tanpa aku ngomongpun kau sudah tahu masalahku.” Ucap Sabila, dengan tatapan mata yang selalu menatap lurus kedepan. Tanpa menoleh sedikitpun pada Sahdam.

***

            Di malam ketiga OSIS camp ini,  Sahdam kembali memastikan  Sabila tidak menyendiri dan menangis lagi di atas batu besar yang ada di bawah pohon beringin itu.  Tapi  dugaan Sahdam salah.  Dia mendapati Sabila selalu datang lebih dulu.  Entah kenapa, tanpa mereka sepakati, tempat itu telah menjadi tempat terpavorit untuk mereka. Mungkin karena mereka sama-sama menyukai kesunyian dan ketenangan. Bagi Sahdam, saat itulah dia bebas menentukan pemahamannya sendiri, menentukan jalan fikirannya sendiri dan dalam kesunyian itulah Sahdam menemukan dirinya. Yang tidak bisa dia temukan dalam keramaian. 

            “Assalamualaikum, nona berjilbab lagi apa? Hmmm aku panggilnya nona berjilbab ya.  kan kalau Sabila sudah biasa gitu, boleh gak?” Sahdam mengawali pembicaraan.

”nona berjilbab? Panggilan yang aneh, lebih aneh lagi malah anak-anak OSIS pada manggil aku Autis.” Ucap Sabila seraya memamerkan seuntai senyum yang bermain di bibirnya, senyum yang memperlihatkan lesung pipitnya yang tersembunyi itu.

Hmmm manis…

“Kok kamu mau aja dipanggil Autis, itu kan ngena dan nusuk di hati, Bil?” Tanya Sahdam.

“Mungkin, karena aku terlalu lemah, pendiam dan selalu menyendiri. Selain itu kalau  suka sama sesuatu, aku selalu lupa segalanya.”

“Yang lemah itu kalau punya masalah pasti nangis,  yang kekanak-kanakan dan gak dewasa, yang hanya ingin di mengerti tanpa mau mengerti. Yang kalau punya masalah selalu di ceritakan padahal itu gak akan ngebantu dan malah bikin ancur. Yang hanya bisa diam tanpa bisa berbuat, yang hanya bisa bicara di belakang tanpa berani maju kedepan, yang tak mau berusaha tuk bisa hidup sendiri, Ketika ada api dia tidak bisa memadamkannya dan malah membuat api itu membesar, yang hanya bisa diam, bukan karena tak bisa bicara, melainkan tak berani.”

            “Ternyata semua kriteria orang lemah itu ada dalam diriku. Kata-katamu semakin meyakinkan diriku kalau selama ini aku memang sangat lemah.”

            “Aduh, maafin aku ya kalau kamu kesinggung, maaf ya Bil, aku cuma gemes aja kalau ngelihatin ada orang yang lemah. Karena aku jadi ingat masa laluku yang lemah.”

            “ Lalu, kalau sekarang kamu merasa sudah berubah jadi orang yang kuat dan bukan Sahdam yang lemah lagi, apa rahasianya?”

            “Rahasianya pengalaman, Bil.  Aku bilang bahwa yang lemah itu orang yang suka curhat segala macam. Jadi sebenarnya aku paham bahwa kalau curhat tentang setiap masalah, kita gak akan pernah bisa kuat, selain itu juga buka aib, bisa aja teman yang kita percaya jadi ngehianatin kita. Untuk apa juga kita mesti nangis? cuma buang-buang air mata aja. capek tahu Bil nangis terus.”

            Sabila tiba-tiba meringis, Ada rasa sakit yang sangat menyiksa yang mungkin sudah lama di tahannya. Wajahnya pucat pasi. Tubuhnya dingin dan lemas. Kedua tangannya terus memegang kepalanya yang sakit.

            “Sakit…” Sabila menggigit bibirnya menahan rasa sakit.

            “Bil, Sabila kenapa? Sabila? Sabila!??” 

            Sabila kehilangan keseimbangannya dan langsung jatuh tak sadarkan diri.

***

              Malam berikutnya,  Sahdam memperhatikan, Sabila tampak sibuk mengotak-atik kameranya. Sepertinya dia sangat menyayangi kameranya itu. Dari awal Sahdam bertemu dengannya, benda itu tidak pernah lepas dari tangannya. Jiwanya seperti ada dalam kamera itu, hembusan nafas dan denyut nadinya seperti ada dalam setiap objek gambar yang dia ambil. Bisa jadi kamera itu juga adalah pacar keduanya.

            “Sakit magh, kecapean, masuk angin dan demam panas…hmmm jangan telat makan lagi Bil. Udah makan belum?”

            “Belum, aku lagi males.” Ucap Sabila dengan entengnya. Konsentrasinya masih tertuju pada kameranya.

            “Ih, makan dong Bil, bisa sakit lagi. Makan ya Bil. Aku  juga punya magh, jadi aku tahu rasanya, makan ya.”

            “Sendiko dawuh kakang prabu, Titah kakang prabu akan diajeng laksanaken! Puas-puas, tak subhek, suobhek!”

“Alah, kamu kesurupan arwah mbah Tukul Arwana! Ora ngerti aku.” Tawa merekapun pecah.

Sahdam memperhatikan Sabila yang masih tertawa. “Kau semakin meyakinkanku bahwa kau adalah wanita yang hebat. Kau masih bisa tertawa lepas sementara tumor yang menyerang otakmu sudah stadium satu.”

           “Dasar! Gak sopan. Masa aku harus nutup mataku sih. Agar rahasiaku tidak terbaca matamu yang liar itu!”

           “Jangan salahkan mataku. Kemampuan yang kumiliki ini adalah warisan kakekku!”

“Pengakuan, itulah hal yang amat sangat  kuinginkan…” ucap Sabila pelan dan tawa Sahdampun langsung terhenti mendengar perkataan Sabila. Dia langsung memperhatikan Sabila dan menatap wajahnya dengan seksama.

            “Aku gak tahu harus bagaimana, aku sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi tak berhasil. aku adalah orang yang berjabatan di OSIS, tapi tugasku tak lebih dari seekor badut. Tak ada pengakuan.   seolah aku memang sendiri.  Aku tidaklah sebatang kara, tapi terkadang  kurasakan itu dalam keluarga. aku orang yang bersahabat dan ingin di sahabati, tapi semua seolah lenyap. Kuanggap semua sahabat, dan selalu berusaha masuk di dalamnya. Tapi ketika aku masuk, semua keluar dan hanya mensahabatiku ketika butuh. Tapi mereka seolah tak ingin aku sahabati ketika aku butuh. Hmmm…benar-benar tak ada pengakuan.

            Aku ingin berteriak pada mereka, Akuilah aku yang hanya aku yang seperti aku ini. Pandanglah aku sebagai manusia dan jangan memperalatku. Hati ini hanya ada satu. Dan takkan mampu tuk menampung semua rasa pahit ini.” Ucap Sabila lirih.

              Sahdam masih tak melepaskan pandangannya pada Sabila, semua kata-kata yang terucap dari mulut Sabila tak di lewatkan olehnya.

            “Bil, mereka semua bukanlah para peramal yang dapat mengetahui isi hati dan fikiranmu. Namun selama ini, aku sendiri merasa sangat kerdil karena tidak bisa membaca rona wajahmu, sedih saat melihat ada yang tidak beres dalam dirimu. Bil, aku ngerasa sangat bodoh. Tak berguna, tapi aku ini cowok dan bukan cewek yang peka perasaannya. Bil, mereka sama sekali tidak bisa merasakan perubahanmu, mereka seharusnya mengerti. Seharusnya mereka dapat menentukan sikap yang sesuai dengan kondisimu,

            Maafkan aku, terbukalah pada mereka, katakan  pada mereka apa yang kau rasa, katakanlah. Jangan diam saja, katakanlah Sabila…”

            Tatapan mata mereka beradu sebentar, lalu  Sabila langsung menunduk sambil memeluk lututnya erat. Dia membenamkam wajahnya diatas kedua lututnya. Lama sekali kebisuan itu kembali menyelimuti mereka. Hening, saat itu mereka menyatu dengan dinginnya hembusan angin yang menembus kulit jaket mereka. Menyatu dengan nyanyian hewan-hewan malam yang meramaikan hutan ini. Menyatu dengan percikan suara air sungai yang mengalir deras, menyatu dengan batu besar ini dan menyatu dengan alam.

            “Malam ini gelap banget. Bintangpun gak ada…” Sahdam menoleh pada Sabila. Sayup-sayup dia  mendengar suara hembusan nafas Sabila yang teratur  juga dengkuran kecilnya. Sabila tertidur, tidur untuk mengistirahatkan badan dan hatinya yang sudah sangatletih.

            “Pasti karena semua sibuk menjaga ratunya yang sekarang lagi tertidur lelap, yang terbuai dalam mimpi indahnya. God night Bil…”

***

            Malam ini Sabila tidak ada.  Sahdam tidak melihat gadis berjilbab yang kurus itu duduk di batu itu. Menghilang kemanakah pemilik senyum manis berlesung pipit itu? Padahal banyak hal yang sangat ingin Sahdam ceritakan. Semua tentang hal-hal yang dia sukai dan juga yang disukai  Sabila. Tentang koleksi komik terbaru Sahdam. Tentang Doraemon, tentang Naruto, tentang Dragon Ball, tentang main musik. Sahdam juga ingin minta diajarkan menggambar oleh Sabila dan meminta di ajarkan bagaimana mengambil objek gambar yang baik.

            Sahdam harus memastikan kalau Sabila ada di tendanya. Memastikan Sabila tidak menghilang. Sahdampun segera turun dan kembali ke tenda. Saat Sahdam sudah sampai di tempat itu, dia melihat semua  rekan sesama anggota OSIS duduk berkumpul. Keharuan tampak menyelimuti mereka. Mereka menangis bersama. Duduk saling  berdekapan erat satu sama lain. Diantara mereka ada seorang gadis yang seperti kesulitan bernafas saking eratnya dia dipeluk oleh kawan-kawannya. Dia duduk di tengah-tengah mereka.  Dia gadis pemilik senyum manis berlesung pipit itu.

            “Aku cuma ingin tertawa ketika kalian tertawa, karena aku ngerti apa yang kalian tertawakan. Aku cuma ingin menangis saat kalian nangis, karena aku ngerti apa yang kalian tangisi. Maaf kalau aku udah jahat ngeganggu kesibukan kalian dengan hal remeh temeh kayak gini.”

            “Nggak Bil, Justru makasih banget, kamu udah ngasih jalan buat kami untuk berubah dan tahu apa yang mesti kami lakukan sama kamu. Kami kira selama ini kamu tuh cuma pengin waktu buat menyendiri. Maka dari itu kami gak mau ngeganggu kamu.”

            “Makasih kamu udah berbicara tentang apa yang kamu rasa selama ini, makasih banget Bil. Kau bukan orang lain dimata kami, kau sahabat kami, sodara kami, bagian dari jiwa kami. Kamu istimewa Bil, sangat istimewa. Kita semua sayang Sabila, sayang banget…”

             Sabila masih berada dalam dekapan erat mereka. Dekapan erat  para pengurus OSIS.  Sabila tersenyum, Sahdam baru sadar kalau Sabila tersenyum padanya. Kali ini senyumnya lebih manis dan lesung pipitnya terlihat jelas. 

***

            “Bil, aku pengin nanya nih. Kok senyum semua  anak-anak OSIS bisa semanis itu, kayak yang gak ada masalah gitu kelihatannya. Apa ada caranya?” Tanya Sahdam. Kali ini dia menemukan  Sabila sedang sibuk berfoto-foto di sungai. merekapun duduk di sebuah batu besar yang ada di tengah  aliran sungai yang dangkal. Dan membenamkan kakinya dalam airnya yang dingin.

            “Itu karena OSIS udah menyatu dengan jiwa kami. Dalam waktu yang panjang, kita baru menyadari kalau kita nemuin diri kita dan kebahagiaan kita yang sesungguhnya di organisasi. Organisasi ini ikut mewarnai hidup kita dan kita tetap menemukan senyum tulus itu di dalam dan di luar organisasi.”

            “Gitu ya, mungkin aku belum ngerti sepenuhnya. Tapi mungkin nanti ada saatnya aku ngerti. aku juga lagi nyoba untuk terus tersenyum dan berusaha untuk menemukan kebahagiaanku  yang sesungguhnya.”

            “Kebahagiaan itu sebenarnya dapat kita temukan dengan cara kita sendiri, dengan melakukan hal-hal yang sangat kita cintai. Dengan melakukan hal-hal positif yang membuat kita bisa lupa segalanya jika kita melakukannya. Aku menemukan kebahagiaanku dengan foto dan menggambar. Dua hal ini membuatku lupa segalanya.”

            “Gitu ya, aku kira…salah satu aspek yang bikin kamu bahagia itu pacar gitu. Hmmm…kamu udah punya cowok?”

             Sabila terdiam dan wajahnya memerah. Lalu dia berdiri dan mengalihkan konsentrasinya pada kameranya.

            “Gak ada yang mau sama cewek aneh dan lemah kayak aku!”

            “Masa sih Bil? Hmmm…tapi aku suka sama kamu!”

            BYURRR!!!!

            Mendengar perkataan Sahdam barusan, Sabila langsung terpeleset dan terjatuh ke air sungai. Setengah badannya basah kuyup. Beruntung sungainya dangkal dan kamera  Sabila masih bisa terselamatkan.  Sabila tertawa terpingkal-pingkal atas apa yang terjadi padanya. 

            “Dodol! Kamu bikin jantungku copot aja! Emang apa yang kamu suka dariku?”

            “Aku suka sama senyum kamu, buatku kamu tuh cewek yang spesial.” Teriak Sahdam sambil mengikuti Sabila yang dengan hati-hati berdiri lalu berjalan di sungai. Dia seperti menghindar dari Sahdam.

            “Jangan so-soan nyanjung aku deh! Kalau mau bohong, bohong aja. Di anggap cewek autis aja aku gak marah kok.” Teriak Sabila masih belum berhenti berjalan.

            “Kamu kenapa sih? Emang salah ya aku ngomong kayak gitu.  aku suka kamu sebagai …sahabat Bil, aku udah nganggap kamu sahabatku.”

            Langkah Sabila terhenti. Dia membalikan badannya pada Sahdam

“terimakasih deh kamu udah nganggap aku sahabatmu, padahal sampai sekarang aku cuma nganggap kamu sebatas teman sebangku aja.”

“Tapi pas aku ngomong suka, kamu kayak ketakutan gitu?”

Sejenak, Sabila menghela nafasnya pelan dan menajatuhkan pandangannya pada seekor ikan kecil yang berenang diantara kedua kakinya.

            “Aku cuma udah letih aja untuk mengulang cerita yang sama. Cerita yang sama tentang semua cowok yang pernah hadir dalam hidupku. Tapi kerjaannya cuma ngeganggu. Mereka membuat aku terbang melayang setinggi-tingginya ke negeri impian, hingga akhirnya mereka sendiri yang menghempaskan aku jatuh ke bawah. Dan rasanya…rasanya sakit. Apalagi setelah, setelah…”

“Nggak usah kau lanjutkan Bil, aku udah tahu…maaf lagi-lagi aku nggak sopan baca fikiran kamu.” Pinta Sahdam dengan matanya yang terpejam. Kedua tangannya menyentuh keningnya.

“Aku trauma Dam. Mereka ngasih harapan kosong. Lalu pergi begitu saja. Hatiku baru sembuh Dam, hatiku baru aja sembuh. Tapi…di mataku kamu juga spesial kok.”

“Thanks, jangan jadikan hal itu sebagai penghambatmu mewujudkan mimpi-mimpimu Bil.”

             Sabila mengarahkan kameranya pada Sahdam.

            “Aku baru nyadar, ternyata cowok culun kayak kamu bagus juga di jadiin objekan!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar