Selasa, 24 Agustus 2010

7. Panggil Aku Sabila, Bukan Jessica

Para peserta upacara pembukaan LDKS OSIS SMA Negeri 1 Bandung membubarkan diri dari barisannya. Seiring berakhirnya upacara, Sabila yang saat itu bertugas sebagai pemimpin upacara berjalan terhuyung-huyung setelah lebih dari setengah jam berdiri tegap diantara teriknya sinar matahari siang itu. Tapi tidak perlu kawatir, karena Sabila memang sudah terlatih dengan keadaan seperti itu. Yang tidak seberapa bila dibandingkan dengan pengalamannya sebagai anggota Paskibraka tingkat propinsi. Ilmu kepalang merahan yang dikuasainyapun membuat Sabila bisa tetap kuat dan fit setiap menjalankan tugas lapangan. Kecintaannya terhadap organisasi, kebijaksanaannya dalam mengambil keputusan, kecakapannya dalam memimpin dan kemulyaan akhlak yang menghiasi dirinya, membuat dia dipercaya oleh seluruh Siswa SMA Negeri 1 Bandung untuk menjadi ketua OSIS. Tak ada niatan lain dalam  hati Sabila, selain menggunakan jalur organisasi sebagai ladang dakwah, menebar kebaikan dan ibadah kepada Allah SWT .

Sabila tidak merasa bahwa kini dia telah kehilangan sebagian ruang dalam hidupnya sebagai seorang gadis berusia 17 tahun. Yang seharusnya sudah tertarik pada lawan jenis. Yang seharusnya tahu banyak hal tentang hal baru, bukan tenggelam dalam berbagai aktivitas yang menyita waktu.

Dalam  hati Sabila, ada keyakinan yang siapapun tak dapat menggoyahkannya bahkan gemerlap dunia sekalipun. Ikhlas hatinya melakukan semua ini, berorganisasi, melakukan berbagai aktivitas social, menjilbabi rambutnya dan menutupi auratnya. Sabila membiarkan semua orang  memandangnya sebagai wanita yang tidak bersyukur karena tidak mau memperlihatkan keindahan fisik yang telah di berikan sang pencipta. Terserah!! Yang penting Sabila bisa menjadi wanita yang baik menurut Allah. Sabila bisa menjaga diri adalah ujian terberatnya saat ini. Namun Sabila percaya, pasti ada hikmah yang bisa dia petik. Sabila membiarkan dirinya meninggalkan cinta di masa remajanya. membiarkan dirinya tidak merasakan  pengalaman yang di alami oleh teman-teman sebayanya. Tentang kisah cinta di masa remaja mereka, tentang rasa dosa yang  selalu tarasa  manis. Seperti gadis-gadis seusianya yang terus-menerus mengulang cerita yang sama tentang pengalaman pacaran.

Sabila sendiri  sudah lebih dari tahu  bagaimana rasanya pengalaman itu. Tapi sekarang dia sudah tidak mempedulikan hal itu lagi dan meninggalkannya.  Bukan karena  dia begitu fanatik dan punya predikat santri. Semua ini semata-mata  karena dia tidak ingin mengganti cinta Allah dengan cinta  yang lain.

            Sabila duduk berteduh sendirian di bawah pohon bungur. Sambil mendengarkan suara samar-samar  di perutnya yang sudah keroncongan. Sengaja dia tidak mengisi perutnya dengan jajanan warung seperti yang gemar dilakukan oleh teman-temannya yang lain. Karena hari ini, Sabila sedang menjalani puasa Nabi Daud as. Sabila merenungi nasibnya yang tiga tahun ini hampir menjalani kehidupannya sendirian, tanpa keluarga, dan tanpa saudara-saudaranya. Ia memutuskan pergi menjauh dari semua yang pernah dekat dengannya. Karena tak ada yang berpihak padanya. Ya, Sabila telah  menghijrahkan dirinya dengan bermukim di pondok pesantren karena sudah tidak tahan menerima perlakuan semena-mena keluarganya yang tidak menyetujui keislamannya.   Bila diingat kembali, semua terasa menyesakkan dada. Tak ada peluk dan cium penuh kasih sayang di pipi Sabila, menjelang kepergiannya.

            “Astagfirullah hal adziem!” Sabila tersadar dari lamunannya ketika  sebuah tangan menepuk punggungnya.

            “Assalamualaikum” Sapaan salam yang lembut keluar dari lisan seorang pria dewasa  berkaca mata minus yang tiada lain adalah  pak Imron, guru Sabila di pesantren juga guru bahasa Inggrisnya di sekolah.

            “Wa’alaikum salam, Hu-uh bapak bikin aku kaget aja.” Sungut Sabila sambil membetulkan posisi duduknya.

            Pak Imron memperhatikan wajah Sabila yang semakin gelap akibat sengatan sinar matahari. Tatapan mata Sabila yang sayu dan bibirnya yang mengering semakin menambah keprihatinan pak Imron pada muridnya yang satu ini.

            “Bapak sangat kecewa sama kamu Bil, kamu benar-benar pembangkang. Kamu mengacuhkan peringatan bapak, kamu abaikan larangan bapak untuk tidak menjadi pemimpin upacara. Padahal kamu ini kan baru pulang dari rumah sakit, terus sekarang kamu puasa ditambah lagi dengan…”

            “Dengan penyakit Tumor otak yang aku idap, betulkan pak!?”  potong Sabila.

             Sesekali Sabila menyeka butiran hangat yang mengalir di pipinya. Namun tiba-tiba Sabila merasakan rasa sakit yang teramat sangat di kepalanya, gadis  itu mengerang kesakitan di depan pak Imron.

            “ Akhhh…, ya Allah sakkit.”

            “Sabila bapak mohon jangan kau siksa dirimu seperti ini. Bapak tidak kuat melihatnya. Puasanya batalin aja ya Bil!” pinta pak Imron.

            “Enggak mau!!” tolak Sabila.

            “ Sabila…, jangan dipaksain.”

            “Sekali enggak tetap enggak!” Sabila tetap bersikeras.

            “ SABILA!!!” pak Imron terpaksa memperlihatkan ketegasannya pada Sabila yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.

            “ Apakah bapak bisa menebak kapan Allah mencabut nyawa Sabila, Surga atau neraka tempat yang akan Sabila huni di akhrat nanti, timbangan amal Sabila yang baik atau buruk yang mendapat bobot paling berat?” Tanya Sabila. Mendengar pernyataan Sabila, pak Imron hanya bisa menggelengkan kepalanya.

            “ Itu di luar jangkauan bapak. Dan bapak tidak mugkin bisa menjawabnya, hanya Allah yang tahu.”  Mendengar jawaban pak Imron , Sabila berpaling sambil berkata.

            “Kalau begitu silahkan bapak tinggalkan  Sabila. Biarkanlah  Sabila menghadap Allah yang menciptakan  Sabila dalam keadaan lapar yang teramat  sangat ini.”

            Pak Imron terdiam kagum melihat kecerdasan dan keimanan Sabila. Ia hanya bisa memandang Sabila berlalu dari hadapannya. Sungguh gadis yang masih muda belia itu telah memiliki harta yang sangat mahal harganya yaitu tauhid yang kuat. Sakitnya Sabila  sebenarnya sudah terasa dari tadi pagi. Tapi semangatnya tidak pernah mengendur. Ia tetap menjalankan aktifitasnya sebagai ketua OSIS. Tetap memberikan pengarahan dan pengawasan dalan setiap kegiatan. Meski hanya berupa intruksi singkat saja. Karena Pembina OSIS menyuruhnya demikian. Bila tidak, mungkin Saat ini Sabila sudah tergolek tak sadarkan diri di UKS. Rekan- rekan sesama senior OSIS sampai heran melihat kondisi Sabila yang demikian. Padahal sewaktu masih sehat, hari-hari Sabila tidak pernah kosong dari jadwal kegiatan belajar dan organisasi. Sabila tidak pernah merasa capek sedikitpun. Namun didukung oleh rasa sayangnya  kepada sang pemimpin, teman-teman Sabila tetap memberikan perhatian padanya.

            Sabila tampak lunglai, wajahnya pucat pasi. Sampai berdiri saja dia tidak bisa. Dalam hitungan detik rasa sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi. Dunia seakan- akan menjadi gelap. Sampai akhirnya Sabila tidak sadarkan diri.



 ***

            Sabila tersadar dari pingsannya. Lalu teman-teman Sabila tak terkecuali pak Imron, memaksa  Sabila untuk berbuka puasa, tapi tetap saja Sabila menolak karena beralasan belum saatnya berbuka. Semakin dipaksa, Sabila malah semakin keras kepala. Melihat keadaan Sabila yang sangat menghawatirkan itu, pak Imron dengan berat hati terpaksa membohongi Sabila bahwa waktu berbuka telah tiba. Barulah setelah upaya itu dilakukan, Sabila mau makan. Kesehatannyapun bertambah pulih. Sabila mulai bisa bercengkrama dan mengobrolkan banyak hal.

            “ Teman-teman, aku pernah punya salah gak sama kalian?”

            Semuanya terdiam, suasana di ruang UKS menjadi hening. Tak ada seorangpun yang menjawabnya bagi mereka Sabila adalah sosok pemimpin yang nyaris tanpa cela.

            “ Maaf Sabila, terus terang kita bingung harus ngomong  apa. Yang tahu  baik buruk manusia itu kan cuma Allah.” Ucap Sahdam.

            “Hallou… udah dech jangan sampai waktu kalian kebuang sia-sia hanya karena bengong ngeliat keadaanku yang seperti ini. Kalian pengin aku sembuh kan?”  Sabila memecah keheningan.

            “ Eh, I-iya. OK, OK”  Ikbal mengiyakan.

            “Duch, sorry gue udah gangguin istirahat lo Bil” Tere minta maaf. “ Tapi apelnya kayaknya enak tuch!” lanjut  Tere sambil mengelus-elus perutnya yang buncit.

            “ Iya nich, boleh minta gak?” Ikbal tidak mau kalah.

            “ Boleh.”

            “ Gue juga yach!”

            “ Udah-udah kalau  kalian mau ambil aja semua” sungut Winnie. Sementara Sabila hanya bisa tersenyum simpul.

            “ Mikum…”

            “ Wa’alaikum salam.” Jawab Sabila. “ Teman-teman!” Panggilan Sabila membuat  langkah mereka terhenti. “ Kalian jangan terlalu mencemaskan aku. Bentar lagi aku bakal  sehat kok.”

             

***

            Sama halnya dengan Sabila, pak Imron juga sedang melaksanakan puasa Daud. Pak Imron berbuka di sekolah. Karena  ba’da maghrib, Ia akan memberikan materi kepemimpinan  bagi para peserta LDKS OSIS. Setelah adzan maghrib berkumandang, pak Imron segera berbuka puasa. Seperti biasa, ia hanya berbuka dengan meminum segelas air putih, dan sedikit ta’zil.

            “ Bapak lagi buka puasa ya?”

            Pak Imron menunda suapan terakhirnya dan menoleh pada sumber suara. Ternyata seorang gadis bermukena dengan sejadah berwarna hijau terselip di lengannya, tengah berdiri di belakang Imron sedari tadi.

            “ Jadi, bapak udah ngebohongin Sabila ya!?”

            “ Sabila!!”

            Sosok Sabila yang dilihatnya saat ini berbeda dengan Sabila yang di lihatnya tadi siang. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa Sabila  sempat pingsan karena penyakitnya. Pak Imron mendekati Sabila  setengah tidak percaya.

            “Bapak terpaksa melakukanya, karena sesungguhnya Allah menjanjikan kemudahan bukan kesukaran.”

            Sabila memperhatikan lelaki pemilik seulas wajah yang menyenandungkan kesahajaan itu. Dalam masa-masa menuntut ilmu di SMA, Pak Imron telah menyapukan dan memberikan gurat warna dalam kanvas kehidupan Sabila.  Sebagai guru, pak Imron telah memberi cipta rasa edukasi dan membekas hingga ke relung hati.

            Pada dasarnya setiap manusia tidak pernah bisa lepas dari kesalahan. Tapi beliau nyaris tanpa cela di mata Sabila. Begitu berwibawa, sederhana, teduh, optimistis, semangatnya tinggi, perasaannya hidup, dekat dengan murid-muridnya karena karismanya, murah senyum, di cintai dengan segala ketinggian budi pekertinya.

            Dari keningnya, seakan terpancar cahaya yang terang berkilauan, begitu terangnya sampai memancar kuat, menyusup kedalam hati Sabila yang terasa kotor.

Ya Allah mungkin itulah keadaan seorang ahli ibadah.

            Bilamana ada yang memuji, Pak Imron sering menyangkal bahwa dirinya bukanlah seorang ustadz. Ya, beliau memang bukan seorang ustadz. Tapi bagi Sabila beliau adalah seorang manusia biasa berakhlak ulama.

            Mungkin ini adalah salah satu tanda dekatnya kiamat. Dimana orang yang benar dianggap batil. Mengenai hal itu, beliau pernah berkata pada Sabila.

            “ Allah tidak melihat rupamu, tapi langsung ke hatimu. Lebih baik kita di jauhi daripada harus  di cap jahat oleh Allah.”

            Tak terhitung jumlahnya sudah berapa kali butiran hangat mengalir dengan deras di mata Sabila setiap dia mendengar nasihatnya. Dan sekarang Sabila yakin,  sangat yakin, beliaulah sahabatnya, beliaulah sahabat sejatinya yang dia cari-cari dalam hidupnya. Seorang sahabat yang apabila dia dengar perkataannya, maka  bertambahlah ilmunya. Seorang sahabat yang segala tingkah lakunya selalu mengingatkan Sabila akan kehidupan akhirat. Seorang sahabat yang telah mendekatkan kembali  jaraknya yang begitu jauh dengan Allah SWT.



            “Bapak…terimakasih karena bapak udah ngebantu Sabila untuk sekolah di sini. Terimakasih karena bapak udah mau nerima Sabila menuntut ilmu di pesantren yang bapak pimpin. Terimakasih karena bapak udah membuat Sabila kembali berani bermimpi. “

            “Ucapan terimakasih yang terindah itu hanya pantas bermuara pada Allah nak. Sabila, setelah Bila lulus nanti, akan sulit bagi bapak nemuin anak seperti Bila. Kamu rajin bertanya, Senang baca, rajin ibadah, tegar menghadapi masalah, kebiasaan jangan ditinggalkan. Diamanapun kamu berada, tetaplah  menjadi seorang Sabila yang dulu.”

Meleleh, lagi-lagi airmata Sabila kembali meleleh, kali ini air matanya terasa panas di pipinya. Tubuhnya bergetar terbawa oleh  dadanya yang bergemuruh.

            Sekarang…Sabila adalah Sabila. Aku  ingin semua orang mengenalku sebagai Sabila Afiah Jessica. Bukan Jessica Maria Agustin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar