Selasa, 24 Agustus 2010

3. Si Miskin Yang Sombong

Saat para penghuni kamar  Rabi’ah al-Adhawiyah sedang terlelap dalam tidurnya, di tengah gelapnya kamar, Sabila malah terjaga dari tidurnya. Dia menatap Tatu yang tertidur lelap di sampingnya. lalu Sabila menyingkapkan selimutnya dan merubah posisi tidurnya menjadi menelungkup. Di lihatnya cahaya bulan purnama yang menyusup melalui celah-celah jendela.

“Teh Bila…belum tidur?”

Sabila menangkap suara Tatu dan berfikir sebentar sebelum menjawab pertanyaan adik angkatnya itu. Apakah Tatu mengigau atau berbicara padanya.

“Ada apa denganmu teh, kau terlihat sangat berbeda sekarang? Jadi lebih banyak ngelamun?”

            “Aku sedang mencari sesuatu.”

            “Ya, dan teteh gak tahu apa yang teteh cari selama ini.” Sambung Tatu

            “Aku mencari hidayah, namun ternyata untuk mendapatkan hidayah yang kuinginkan tak semudah yang sering ku ucapkan dalam setiap doaku. Tak semudah yang kubayangkan ketika aku pertama kali mengucapkan kalimah syahadat.”

            “yang berhak memberi kita hidayah kan hanya Allah teh, kita akan mendapatkannya kalau kita ikhtiyar untuk mencarinya.”

            “diantara santri yang lain, mungkin akulah santri yang paling tidak bermanfaat ilmunya. Bahkan jabatan sebagai murabbi masih terlalu berharga untuk orang sepertiku. Aku  Santri yang paling anti ilmu nahwu dan bahasa Arab karena menganggapnya sangat sulit. Dan malah menomorsatukan pelajaran bahasa Inggris. Lihat saja sekarang, hapalan kitab jurumiahku nggak tamat-tamat. Boro-boro naik ke alfiyah. Sebelum masuk ke pesantren ini, aku masih belum bisa membayangkan dunia yang akan kugeluti ini sebelumnya.”

            “Teteh jangan ngomong kayak gitu. Berprasangka jelek pada diri sendiri sama saja berprasangka jelek pada Allah.”

            “Aku selalu bertanya pada diriku sendiri selama ini. Santrikah aku? Sementara saat Qiyamullail menjelang aku malah tertidur pulas. Ketika adzan subuh bergema aku masih tertidur pulas. Ketika para santri yang lain khusuk melaksanakan shalat subuh berjamaah aku masih tertidur pulas. Ketika pengajian subuh berjamaah aku masih tertidur pulas. Ketika pengajian subuh, aku malah tertidur pulas. Hingga pengajian subuh bubarpun aku masih tertidur pulas. Pulas sekali aku tertidur.

Pulas sekali aku tidur!!

            Santrikah aku?? Sementara saat adzan dzuhur bergema aku sibuk dengerin musik. Hingga datang waktu ashar aku masih tertidur pulas. Yang lain baca ratiban dan sorogan aku malah sibuk mandi. Saat aku turun ke majlis, pengajian ashar sudah bubar!

            Santrikah aku? Sementara saat adzan maghrib bergema, aku masih asyik ngobrol dan telfon-telfonan, saat santri yang lain shalat maghrib berjamaah aku malah sibuk makan. Ketika pengajian malam aku malah ngobrol, ketika melogat kitab kuning, aku malah curhat-curhatan di buku. Ketika guru menerangkan aku malah tertidur. Lalu ketika di suruh baca kitab, aku kelabakan! Karena kitab kuningku tidak ada coretannya. Hu-uh! Santri bukan sih aku ini!?

            Ternyata selalu begitu dan begitu caraku menghabiskan hari-hariku di pesantren! Niatku masuk pesantren apa sih? Status santriku hanya sekedar kerudung, tumpukan kitab-kitab dan kain sarung saja. Gak lebih, gak lebih.

            Sementara akhlakku? Adabku? Masih tak ada bedanya dengan preman pasar!!

Seperti ada yang salah pada diriku saat ini. Tapi apa? Semuanya terasa kering kerontang. Sangat tandus. Tak kutemukan kesejukan itu, belum kudapatkan ketentraman itu. Apa yang aku cari sebenarnya? Apa yang aku kejar selama ini?

            Begitu kering, begitu gersang. Tak ubahnya mayat hidup yang terbujur kaku. Tak ada bedanya dengan zombie yang kehausan darah. Lalu ketika kuambil Al-Qur’an dan kubasahi bibir ini dengan membacanya. Kurasa embun sejuk dari langit seakan membasahi, meresap dan berinfiltrasi kedalam hati yang terasa mati ini…”

***

Hari ini, Sabila tidak masuk sekolah. Aktivitas organisasi dan pesantren yang padat membuatnya kecapekan ditambah lagi semalam dia kurang tidur. Kepala Sabila terasa sangat sakit dan menyengat setiap urat syaraf kepalanya. Kepalanya belum pernah terasa sesakit ini. Sabila tidur sendirian di kamar Rabi’ah Al-Adhawiyah. Lalu dia berusaha bangkit dan berdiri untuk bercermin.

Tatkala Sabila menatap sebuah cermin yang ada di hadapannya. Tiba-tiba tertangkap oleh kornea matanya sesosok hitam di dalam cermin itu. Sabila tersentak kaget dan seakan tersambar petir di buatnya. Hingga Sabila hanya bisa mematung. Mulutnya membentuk bulatan kecil melongo. Senyum sinis penuh kebencian mengembang di bibir sosok hitam itu. Raut wajahnya begitu pilu dan menyedihkan.

            “Siapa kamu!?” Tanya Sabila

            “Masa kamu tidak mengenalku, aku kan sudah akrab sekali denganmu?” sosok hitam itu malah balik bertanya.

            Alis mata Sabila terangkat heran. Sabilapun segera membuka kembali ke dalam halaman-halaman  memori otaknya.

            “Aku adalah kamu!”

            “A-aku!?” Sabila tergagap

            “Kamu yang selalu menghiasi bibirmu dengan dzikir, kemudian kamupun mengotorinya kembali dengan kebohongan, gibah, perkataan keji dan berbagai dosa lisan lainnya. Kamu yang selalu mengosongkan perutmu dengan puasa, lantas mengisinya kembali sampai penuh. Hingga akhirnya kamu tertidur pulas. Engkau yang gerakan shalatnya begitu lamban, namun secepat kilat bayang-bayang dunia melintas dalam pikiranmu sehingga kekhusyukan shalatmupun hilang. Engkau yang selalu sibuk menangisi penderitaanmu daripada menangisi penderitaan saudara-saudaramu juga dosa-dosamu. Engkau yang pandai menutupi auratmu, tapi lebih pandai lagi dalam membuka aurat oranglain dan membeberkan aibnya. Engkau yang mengaku Islam, tapi kebiasaan-kebiasaan jahiliyah masih menghiasi dirimu.

            Isi hatimu benar-benar kotor sekotor daki-daki yang melekat di tubuhmu. Hatimu benar-benar busuk sebusuk kotoran-kotoranmu. Engkau benar-benar seonggok sampah busuk terbungkus.

            Engkau sucikan dirimu dengan taubat, namun kau kotori lagi dirimu dengan dosa-dosa. Engkau yang mengaku sebagai aktivis Islam, tapi kau masih malu menunjukkan identitas keislamanmu. Bahkan seringkali kau abaikan panggilan Allah hingga rela terlambat shalat demi sebuah rapat. Berbagai buku dari berbagai disiplin ilmu telah banyak kau baca. Berbagai isu nasional dan internasional kau tahu, berbicara kau pandai, mempertahankan argumen kau ahlinya dan berdebat kau hebat, tapi mana implementasinya? Mana kenyataannya? Mana pengamalannya!?

            Kau tutupi keindahan ajaran Islam dengan kebodohanmu, dengan keburukan akhlakmu. Kau tahu sendiri bahwa Islam  artinya adalah kepasrahan, kedamaian, dan kebahagiaan. Tapi sudahkah kau memasrahkan dirimu kepada Allah, sudahkah orang-orang merasa damai, bahagia dan tentram bila berada di sampingmu dan bersimpati padamu karena keindahan Islam yang terpatri di hatimu?

            Tak jarang orang-orang di sekitarmu sering mendengar kata-kata kasar keluar dari mulutmu dan tak jarang orang-orang di sekitarmu sering melihat raut muka yang masam terlihat di wajahmu. Padahal kau tahu kalau berkata yang lemah lembut itu adalah sedekah, tersenyum itu adalah sedekah. Kau mengenal sikap rendah hati hanya di depan  orang-orang terhormat dan beruang saja.

            Bila disebut semua kesalahanmu, lisan ini pasti akan kelelahan. Bahkan beribu-ribu batang pena tidak akan cukup untuk menulis daftar dosa-dosamu. Engkau yang bercermin, shalatmu masih belum khusyuk, ibadahmu masih belum ikhlas, amal salehmu masih terlalu sedikit. Kau masih terlalu miskin dalam ilmu. Otakmu masih terlalu tumpul dalam mengargumentasikan persoalan agama.

            Engkau yang bercermin, siapa Tuhanmu? Surga, neraka, hawa nafsu atau dunia. Masihkah engkau dengan sifat takaburmu membangga-banggakan dirimu sendiri di depan orang lain. Sadar diri dong! Kau itu makhluk Allah yang hina dina. Semua yang kau miliki adalah amanat dari Allah ta’ala dan tak ada yang bisa di sombongkan dalam dirimu. Teramat hina sekali bila menyombongkan dirimu sendiri.

            Dimanakah engkau berada manakala panggilan Allah menggema? Diatas sajadah, di forum gosip dan debat, atau di atas kasur yang empuk? Ingat, camkan dan renungkanlah! Masihkah kau mengharapkan surga. Tak usahlah kau menunggu waktu yang tepat dan baik untuk bertaubat. Jangan mengulur-ulur waktu lagi. Seakan kau lebih tahu kapan Allah akan menghentikan nafasmu.

            Engkau yang bercermin, janganlah engkau binasakanku yang tiada lain adalah amalmu. Jangan kau kikis aku dengan dosa-dosamu. Kini aku sudah semakin renta-renta dan renta. Engkau yang bercermin, cerminmu adalah Rasulullah SAW. Sahabatmu adalah orang-orang soleh. Penuntunmu adalah Al-Qur’an dan hadits. Tujuanmu adalah akhirat, tempat persinggahanmu adalah dunia. Bekalmu adalah amal shaleh. Musuhmu adalah syaiton. Dan kekasihmu adalah Allah SWT.”

            Embun sejuk dari langit terasa mengguyur hati Sabila yang  gersang. Saat ini Sabila merasa sedang bermimpi, tapi ternyata tidak. Tak terasa butiran hangat mengalir dengan derasnya dari pelupuk mata Sabila. Saat Sabila mencoba untuk menghapus airmatanya, sosok hitam itupun menghilang dari pandangan Sabila. Hingga akhirnya Sabila mendengar alunan adzan maghrib yang menggema. Hatinya mulai terasa terang dan teduh. Lambat laun suara itu memberinya keindahan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

            Peristiwa tadi seakan menggedor dinding batin Sabila. Keinginan untuk mengamalkan ajaran agama Islam secara kaffah yang tertancap kuat di hatinya benar-benar sedemikian dahsyatnya.

Aku sangat malu pada-Mu ya Allah…Ya Allah selamatkanlah diri hamba…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar