Kamis, 24 November 2011

MASYARAKAT YANG KEHILANGAN IBU

Anak-anak pembunuh. Bagi sebagian besar masyarakat dunia hal itu adalah sebuah mimpi buruk. Tapi  bagi Amerika, anak-anak yang membunuh bukan lagi sebuah mimpi. Telah terjadi beberapa peristiwa tragis di penghujung abad ke-20 lalu. Di Spring Field, Oregon, 10 Juli 1998, seorang anak berumur 15 tahun  menembak mati dua kawan sekelasnya dan melukai 24 orang lainnya.
Lalu, dimanakah orang dewasa bernama orangtua? Dimanakah ibu? Dimanakah Ayah? Hingga membuat anak-anak beranggapan menjadi ”pahlawan jahat” adalah salah satu cara efektif untuk mencari perhatian orangtua, juga orang lain. Perasaan yang paling menyiksa    adalah perasaan terabaikan. Apalagi bagi seorang anak.  Pada saatnya nanti,  mereka akan melakukan sesuatu untuk keluar dari siksaan itu. Atas nama itulah, agar tidak lagi di abaikan, anak-anak melakukan hal apapun demi mencari perhatian orangtua, termasuk membunuh.
Demikianlah sebuah sisi Amerika, demikianlah sebuah dunia yang kehilangan ibu. Mengapa ibu? Karena ibu adalah sumber kasih sayang dan sumber kelemahlembutan. Bila sentuhan ibu sudah tidak lagi menyatu dalam jiwa masyarakat, ketika itulah kekeringan psikologis melanda. Dari ibulah masyarakat belajar tentang kearifan dan makna hidup.
Dalam buku ‘seorang ibu, sebuah dunia berjuta cinta’ Amatullah Shafiyyah menjelaskan, Kehadiran seorang ibu sangatlah dibutuhkan. Tidak hanya oleh keluarga, tetapi oleh masyarakat luas. Kecemasan, kegelisahan dan kehampaan menjadi hal yang akrab ditelinga masyarakat  yang “Kehilangan ibu”. Mereka kehilangan sosok yang memberikan teladan tentang kasih sayang, kelemahlembutan, kearifan dan pengorbanan. Bila ibu dilecehkan, bila perempuan dimarjinalkan, maka peran ibu akan ditinggalkan, hingga masyarakat terpuruk dalam kehampaan.
Menyoroti sosok ibu, pemilik dunia berjuta cinta. Satu sosok yang penuh kelembutan, kasih sayang, kehangatan, kecintaan dan keikhlasan. Ibu…satu kata yang sangat lekat di hati setiap insan. Dari rahimnyalah lahir generasi umat manusia. Ditangannyalah sentuhan awal dari kehidupan setiap insan. Ialah yang banyak mewarnai pembentukan awal pribadi setiap orang. Karena itu, sangat wajarlah jika Rasulullah SAW. memerintahkan kita untuk lebih menghormati ibu dibandingkan ayah.
Dari sekian banyak mentari yang menyinari hidup ini. Hanya ada satu yang dapat memberikan kehangatan pada jiwa. Dialah ibu, jelmaan bidadari yang diturunkan Allah dari surga. Ibu adalah wakil Allah untuk  umat manusia. Mentari yang cahayanya akan selalu menghangatkan jiwa. Tidak pernah ada yang tahu sebenarnya sihir macam apa yang telah ibu  gunakan sehingga bisa membuat anak-anaknya menjadi seperti sekarang.  Anak-anak yang lahir dari seorang ibu yang telah berkuah peluh, berdarah-darah, meregang nyawa setelah masa panjang. Betapa payah, letih dan lelah ibu selama ini takkan pernah terganti. Bahkan  tak ada yang sanggup menakar air mata ibu yang telah berderai. Tapi alangkah indah jika kita bisa menemukan makna setiap bulir bening di kedua pelupuk mata ibu. Tangisan yang terbaik hanyalah tangisan ibu. Tangisan terindah adalah air mata  ibu yang meleleh jatuh karena anaknya.
Apalagi saat ibu tengah mengandung, merupakan kondisi gawat, tidak mengenakan. Mau berjalan mesti tertatih-tatih. Mau tidur harus mengambil posisi terlentang. Miring ke kiri atau miring kekanan terasa sakit. Berbulan-bulan keadaan itu dirasakan oleh sang ibu. Hingga akhirnya ibu kita merasakan rasa sakit yang luar biasa. Rasa sakit yang baginya sangat membahagiakan. Rasa sakit dalam menghadapi pertarungan antara hidup dan mati. Rasa sakit dalam mempertaruhkan dua nyawa. Nyawa ibu dan nyawa kita buah hatinya. Rasa sakit membahagiakan saat mendengar jeritan sang buah hati. Rasa sakit berpahala jihad dan ibadah haji di setiap urat nadi yang terputus saat melahirkan.
Dalam kenyataan sehari-hari seorang ibu nyaris menjadi sebuah sosok yang biasa saja. Di sekitar kita, tetangga-tetangga, teman-teman sekantor, sanak famili selalu kita dapatkan seorang ibu. Ibu ada dimana-mana. Di ibu kota, sehari-hari kita menjumpai ibu ada di pabrik-pabrik, di gedung-gedung tinggi perkantoran, dirumah sakit, digardu tol, di kaki lima, bahkan dikolong jembatan layang. Di daerah lain, kita mendapati ibu-ibu berjalan kaki tak lama setelah fajar subuh sambil menjinjing dan menggendong dagangannya dari rumah ke rumah dan kampung ke kampung . Dia terus  berjalan dan mengarungi kehidupan.
 Ibu tak pernah menganggap dirinya istimewa.  Semua dijalaninya sebagai suatu ketetapan Allah yang diterima dengan penuh ridho. Namun, disitulah nilai lebihnya.  Keridho’annya  dapat menumbuhkan energi pembangkit kehidupan.  Keluasan hatinya selalu menyemaikan harapan. Sepintas semua memang tampak biasa, tapi kedalaman hati ibu  hanya dapat terjangkau  oleh mereka  yang bersedia meluangkan sedikit waktu untuk memahami arti cinta.
Amatullah Shafiyyah kembali menuturkan dalam bukunya, Salah satu  fitrah yang Allah berikan pada seorang wanita adalah naluri keibuan.  Naluri itu akan terus tertanam di lubuk hatinya. Naluri yang membentuknya  menjadi sosok yang penuh kasih sayang, sosok yang mudah memahami orang lain, sosok yang mudah berempati dan jatuh hati. Dengan kekuatan itulah wanita memberi arti  bagi dunia. Sejauh manapun  dan kebelahan manapun ia berkelana, seorang wanita tetaplah seorang ibu. Dia takkan pernah mampu untuk membohongi  nuraninya. Takkan pernah dia mengelak dari panggilan jiwanya untuk menjadi orang yang menumbuhkan benih-benih kehidupan dan menyiraminya dengan cinta dan pengorbanan. Tak heran bila penghormatan dan pemuliaan pada ibu menjadi salah satu ciri kemuliaan akhlak seseorang.
Demikianlah menjadi ibu. Ibu berarti kualitas, ibu berarti dinamika masyarakat, ibu berarti hikmah, ibu adalah kehidupan. Sesuatu yang tak langsung terlihat secara kasat mata, namun cukup mudah dipahami dengan nurani. Menjadi ibu adalah sebuah cita-cita yang agung.
Banyak sosok ibu-ibu teladan sepanjang sejarah yang penuh dengan cerita kasih sayang, keihklasan dan kepahlawanan tanpa ada sedikitpun pamrih atas apa yang telah mereka lakukan.  Hajar r.a, khadijah r.a, Asiah, Fatimah r.a dll. Sejarah bangsa inipun mencatat ibu-ibu sejati yang turut memberi arti dan menyuluh semangat perjuangan meraih  kemerdekaan. Mulai dari Cut Nyak Dien  sang ibu nan perwira dari serambi Mekah, R.A Kartini, Nyai Ahmad Dahlan, Fatmawati dan wanita pejuang lainnya. Mereka tak hanya melahirkan generasi baru, tapi juga melahirkan semangat perjuangan yang tak lekang oleh zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar