Selasa, 15 November 2011

Sang Umi

senyum itu...senyum indah tanpa kepalsuan  itu terus tersungging dibibirnya. dia duduk memangku anaknya yang masih kecil. aku hanya bisa ikut merasakan kesedihan yang disembunyikannya dalam tetes air matanya. kuhela nafas panjang. tak harus jauh aku belajar tawakal, sabar, ikhlas dan syukur. sementara disini, wanita yang berada didekatku adalah guru dari semua itu. tak perlu mengawang terbang ke surga untuk bertemu bidadari. sementara disini, dalam rumah sederhana berjihadlah seorang ibu. mengepaklah sayap cinta seorang bidadari, menebar kasih sayang kepada anak-anaknya. juga kepada mendiang suaminya.
Umi..
begitu sederhananya  wanita itu. tak terpasung banyak ambisi sepertiku. tak banyak yang umi inginkan. yang terpenting dia bisa merawat dan membesarkan kelima anak-anaknya dengan baik. dan gurat-gurat kesedihan, rasa letih dan ketuaan itu...ketegaran umi meruntuhkan keangkuhanku. meluruhkan kerasnya hatiku.
ujian cinta yang kualami, masih tak sebanding dari pada beratnya masa-masa panjang ditinggal pergi suami tercinta. dengan tanggungan lima anak yang masih membutuhkan ayoman dan nafkah sang ayah.
dia...sang umi.
walau terasa singkat aku bertemu. tapi cahaya ketegaran, cinta dan kasih sayang terus terpancar dari kedua bolamatanya.
Umi..walau kau hanya hidup dalam angan dan ingatanku. sosokmu bisa membuatku lebih tegar dan bersyukur kalau aku lebih beruntung. kau ingatkan aku kalau jalan didepanku masih panjang. sekarang saatnya berjuang. nanti ada waktunya untuk menuai. kau adalah mentari baginya, juga bagiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar